Cari Blog Ini

Bidvertiser

Jumat, 01 November 2013

Memutus Mata Rantai Korupsi (Masdar Hilmy)

Oleh: Masdar Hilmy

Segenap energi telah dikerahkan untuk menghentikan laju korupsi (kecuali hukuman mati!). Namun, tetap saja korupsi belum lenyap dari negeri ini. Korupsi seakan menjadi nemesis bagi republik ini: musuh abadi yang sulit dikalahkan.

Satu demi satu figur dan institusi penting berguguran, terjerembap oleh ganasnya kibasan korupsi. Kini saatnya kita mengais-ngais kembali apa yang tersisa dalam pemberantasan korupsi. Cukup adalah cukup untuk korupsi. Di tengah komitmen dan integritas KPK yang sejauh ini telah teruji, terkadang tebersit pesimisme: dapatkah korupsi benar-benar bisa enyah dari negeri ini? Pesimisme ini begitu mengganggu ketika kita melihat kecenderungan "mati satu tumbuh seribu" dalam pemberantasan korupsi. Korupsi seakan tak pernah kehilangan serdadu. Bagaimana mungkin kasus korupsi bisa menimpa figur atau institusi yang seharusnya jadi tulang punggung penegakan hukum dan pemberantasan korupsi?

Anarki struktur
Namun, itulah realitasnya. Korupsi menyapu siapa pun yang berdiri mengadang di depannya. Ia juga menyapu sekumpulan orang-orang "saleh" dari partai "suci" yang selama ini menjadi benteng terakhir pemberantasan korupsi. Kita pun akhirnya tersadar: ternyata argumentasi moral belum mampu memutus mata rantai korupsi.

Tampaknya ada sesuatu yang lain di luar argumentasi moral yang perlu didalami lebih fokus dan serius: argumentasi struktural. Jika argumentasi moral bertumpu pada narasi kebajikan (virtue), norma dan nilai sebagai faktor otonom yang merepresentasikan antitesis korupsi, maka argumentasi struktural lebih mengaksentuasi kekuatan struktur dalam menjelaskan korupsi. Oleh sebab itu, ada baiknya kita tidak berputar-putar pada argumentasi moral semata. Hal ini karena korupsi merupakan realitas yang begitu kompleks, rumit, dan tak sesederhana yang dibayangkan banyak orang.

Argumentasi struktural pertama-tama menempatkan struktur sebagai entitas anarkistis. Argumentasi struktural juga mengandaikan korupsi sebagai kejahatan korporat yang terstruktur-sistemik (bedakan dengan kejahatan korporasi atau korupsi berjemaah yang bersifat sporadis). Dalam kejahatan semacam ini, kekuatan struktur jauh lebih koersif, dominan, dan hegemonik yang menenggelamkan kekuatan aktor atau agen dalam melakukan sebuah perlawanan.

Dengan kata lain, korupsi bukan semata soal kultur, melainkan juga struktur. Argumentasi struktural menempatkan korupsi sebagai efek domino dari anarki struktur dimaksud. Dalam dialektika struktur-agen-tindakan, kekuatan moral boleh jadi berperan sebagai faktor pemampu (enabling factor) dalam memberikan kapasitas individu untuk mengatasi dominasi struktur. Namun, gempuran struktur yang bertubi-tubi bisa saja melemahkan daya tahan moral seseorang dalam melawan struktur yang korup itu. Dalam kondisi semacam ini seseorang secara sadar telah menyediakan dirinya jadi bagian dari jejaring struktur korup dengan imbalan sejumlah kenyamanan.

Dalam teori struktur kesempatan (opportunity structure), terdapat hubungan resiprokal antara kesempatan dan tindakan atau perilaku politik; kesempatan membuka cara bagi munculnya tindakan, tetapi tindakan juga menciptakan kesempatan (Gamson dan Meyer, 1996: 276). Dalam konteks korupsi, kesempatan dapat menyebabkan seseorang melakukan korupsi dan korupsi juga menciptakan kesempatan. Siklus kesempatan-korupsi-kesempatan (bukan korupsi-kesempatan-korupsi) hanya dapat dihentikan oleh agen dengan kapasitas yang memampukan dirinya bertindak demikian.

Dalam hal kekuatan struktur lebih dominan ketimbang kekuatan agen, koruptor sering kali menempati peran instrumentalis dalam mata rantai korupsi. Dia melakukan korupsi bukan semata-mata karena secara moral
rapuh, melainkan dia tak punya kapasitas yang dapat memampukan dirinya menghentikan
anarki struktur korupsi. Dia tak berdaya berhadapan dengan dominasi struktur yang "memaksanya" bertindak demikian. Dalam situasi semacam ini, sang koruptor sebenarnya tengah menihilkan diri, menyediakan dirinya sebagai salah satu agen dari mata rantai korupsi yang saling tali-temali.

Dalam struktur politik semacam ini, hubungan antara politisi yang jadi pejabat publik dengan parpol bersifat patron-client. Pada titik inilah segala bentuk moral hazards terjadi. Lembaga-lembaga negara—legislatif, eksekutif, maupun yudikatif—diperlakukan sebagai lumbung penyangga keberlangsungan parpol, terutama aspek pendanaannya. Harus diakui, inilah salah satu "lubang hitam" demokrasi yang bisa jadi pintu masuk menguatnya struktur korupsi di republik ini. "Lubang hitam" ini pula yang telah membuat anak-anak bangsa yang cerdas dan bersih berubah jadi kerdil dan dekil ketika mereka memasuki realitas politik kekuasaan.

Menutup "lubang hitam"
Pertanyaannya, apakah operasi tangkap tangan KPK terhadap sejumlah tokoh penting dapat memutus mata rantai korupsi? Jawabnya: tidak, sepanjang "lubang hitam" dibiarkan menganga tanpa ada upaya menutupnya. Meminjam ungkapan seorang tokoh islamis, "lubang-lubang" inilah yang telah menjadikan medan politik dan demokrasi sebagai "kuburan massal" bagi orang-orang saleh. Sebab, tidak ada jaminan kesucian dan kesalehan dapat mengatasi struktur yang korup itu.

Hal paling mendesak dalam rangka menutup "lubang hitam" itu adalah dengan cara menetralisasi konflik kepentingan dalam setiap pemilihan dan atau penunjukan pejabat publik dan menggantinya dengan prinsip- prinsip meritokrasi. Konsekuensinya, penunjukan menteri
yang selama ini berbasis pada prinsip "bagi-bagi kue kekuasaan" harus diganti dengan asas kompetensi dan penyelesaian masalah. Model pelelangan jabatan sebagaimana dipraktikkan oleh Jokowi di DKI dapat dipertimbangkan sebagai salah satu alternatif solusinya.

Yang tak kalah penting adalah memaksimalkan pengawasan publik (public surveillance) sebagai mekanisme pencegahan sekaligus penindakan korupsi. Pola pengawasan semacam ini menempatkan setiap orang—baik yang saleh maupun tidak—pada posisi yang sama: sama-sama memiliki peluang dan kerentanan untuk melakukan korupsi. Terpenting dari itu semua, argumentasi struktural hendak menguatkan, bukan melemahkan, argumentasi moral-kultural yang selama ini banyak dikembangkan melalui institusi pendidikan dan keagamaan. Semoga!

(Masdar Hilmy, Dosen IAIN Sunan Ampel)

Sumber: http://print.kompas.com/KOMPAS_ART0000000000000000002788307
Powered by Telkomsel BlackBerry®

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Powered By Blogger