Cari Blog Ini

Bidvertiser

Jumat, 31 Mei 2013

Ende, Flores, dan Pemulihan Soekarno (Daniel Dhakidae)

Daniel Dhakidae

Tanggal 1 Juni besok, situs Bung Karno di Ende akan diresmikan secara besar-besaran oleh Wakil Presiden Boediono, dengan taman dan penataan lanskap di lokasi ditempatkannya patung Soekarno. Patung karya pematung Hanafi tersebut berbeda dari patung Soekarno mana pun di Indonesia. Patung-patung lain menggambarkan Soekarno beraksi, tangan teracung. Di Ende, Soekarno seorang pemikir reflektif, tenang, dan duduk. Koor gabungan 1.000 siswa SMA Ende akan mengumandangkan lagu polifonik "Io Vivat Nostrorum Sanitas" (sehat walafiatlah sobat-sobat kita) yang diajarkan Bung Karno untuk klub teaternya di Ende.

Kontribusi Ende

Soekarno dengan gagah perkasa menjalani hukuman penjara pertama, 1930, tetapi mengalami kehancuran mental, ketidakpastian sosial, dan disorientasi politik pada pemenjaraan kedua, 1933, sampai-sampai meminta belas kasihan pemerintah kolonial. Dalam keadaan begitu, Soekarno menjejakkan kakinya di dermaga Pelabuhan Ende, Februari 1934.

Soekarno yang datang ke Ende adalah Soekarno yang "secara politik mati", kata Hatta. Namun, di Ende, perlahan Soekarno membangun kembali kekuatan dirinya tahap demi tahap.

Pertama, Soekarno menjadi seorang bapak keluarga tanpa gangguan kegiatan politik seperti di Bandung. Soekarno menanam sayur-mayur, memetiknya untuk dimasak di rumah kontrakannya demi lima anggota keluarganya. Sebagai bapak keluarga, Soekarno juga menjadi seorang Muslim yang taat—shalat sehari lima waktu dan setiap Jumat ke masjid.

Kedua, dari menjadi bapak keluarga, Soekarno perlahan-lahan menghidupkan kembali kegiatan intelektualnya dan menjadikan dirinya seorang ahli Islam. Di Jawa, keasyik-masyukannya dengan marxisme menenggelamkan perhatiannya terhadap Islam. Meskipun demikian, tulisan Nasionalisme, Islamisme, dan Marxisme, 1926, adalah manifesto politik Soekarno muda yang brilian, 25 tahun—tidak kalah dari Marx (30) dan Engels (28); ketiganya berada dalam kurun umur sama.

Di Jawa, Soekarno melihat Islam dari luar, dari kacamata marxisme yang menuntut simpati Islam terhadap marxisme karena Islam pada dasarnya adalah sosialis, demikian Soekarno. Di Ende, Soekarno banyak menulis dan melihat Islam dari dalam.

Ketiga, Soekarno dijauhi golongan atas di Ende dan ditakuti golongan bawah karena propaganda kolonial: dia dianggap komunis. Soekarno mengeluh bahwa tidak ada orang yang mendengarnya di Ende: "Orang di sini yang mengerti tidak bicara dan yang bicara tidak mengerti."

Karena itu, "aku akan membentuk masyarakatku sendiri" dan mempersetankan "orang pintar yang tolol itu". Dia mendirikan "Kelimoetoe Toneel Club", dengan dukungan tukang jahit, sopir, nelayan; beranggaran dasar dan Soekarno sendiri direkturnya. Dia menulis dan mementaskan 13 drama dalam tempo empat tahun! Rata-rata setiap triwulan satu drama. Dengan anggota antara 56 dan 90 orang dia membentuk "massa kecil", kemudian jadi "kampus" tempat diskusi. Soekarno menanam kesadaran akan kemerdekaan meski semuanya dalam bahasa simbolik teater karena lima polisi kolonial selalu mengawasinya.

Keempat, perlahan Soekarno mengalihkan diri menjadi cendekiawan sejati dengan keluar melangkah ke suatu kelompok berbeda, dengan para pastor/misionaris. Diskusi dalam bahasa Belanda secara rutin dijalankan dengan mereka di Ende, yang rata-rata seumur dengannya, 35-40 tahun, saat pemuda Soekarno berumur 33 tahun.

Di sana dipelajari agama mondial dalam diskusi dengan dukungan buku di perpustakaan pribadi para pastor itu. Sosialisme Soekarno dibandingkan langsung dengan sosialisme gereja yang dipelajarinya di sana.

Kelima, berbekal hasil diskusi itulah, renungan di bawah pohon sukun yang begitu membuai Soekarno menjadi puncak dari semua yang diperoleh di Ende, yaitu menggali dan merenung tentang Pancasila yang dilukiskan Soekarno dengan begitu puitik.

Ende dan Sang Ideolog

Soekarno memang lebih menekankan renungan di bawah pohon sukun. Namun, menurut penulis, Soekarno mengabaikan dua hal lainnya, karena gabungan ketiganya—diskusi, aksi teater, dan refleksi—secara gemilang mengantarnya menuju kesatuan mistik di bawah pohon sukun untuk menemukan sesuatu yang tujuh tahun kelak, pada 1 Juni 1945, disebutnya sebagai Pancasila. Maka, lahirlah seorang ideolog negara, state ideologist, di Ende.

Dengan demikian, Ende jadi penting bagi Soekarno. Jika Ende penting bagi Soekarno, dan Soekarno penting bagi Indonesia, dengan sendirinya Ende harus penting bagi Indonesia. Sebab, apa pun yang penting bagi Soekarno, penting bagi bangsa ini.

Penulis adalah Pemimpin Redaksi Prisma, Jakarta; Tulisan Ini Disarikan dari Edisi Khusus Prisma, "Soekarno"

(Kompas cetak, 31 Mei 2013)
Powered by Telkomsel BlackBerry®

Dicari Pemimpin Mau Urus Rakyat (Kompas)

Rakyat mendambakan kehadiran sosok pemimpin yang bersih, tegas, dan berintegritas. Selain itu, sosok tersebut diharapkan juga pluralis, berani mengambil risiko, serta dekat dan mampu menggerakkan rakyat.

Pemimpin yang benar-benar mau mengurus rakyat sangat diperlukan, mengingat Indonesia memiliki seabrek masalah dan tantangan.

Oleh karena itu, calon presiden periode 2014-2019 harus fokus pada tugasnya untuk benar-benar mengurusi negara dan rakyat, bukan disibukkan dengan urusan partai, keluarga, atau golongan. "Sebaiknya capres masa depan mempunyai kemampuan leadership yang baik, mempunyai kemampuan untuk menjalankan manajemen pemerintahan secara optimal," ujar pengusaha Hariyadi Sukamdani yang juga kader Partai Golkar, Kamis (30/5).

Dalam konsep sosok yang bersih, Hariyadi berpandangan, capres diharapkan lahir sebagai sosok yang tidak mempunyai dosa politik dan tidak tersangkut korupsi. Pemimpin harus bisa menjadi panutan masyarakat, dapat memotivasi rakyat untuk memiliki etos kerja tinggi, dan dapat meningkatkan daya saing bangsa.

"Secara konsisten dan sistematis dapat melenyapkan budaya korupsi. Rakyat mengharapkan presiden yang amanah dan punya kompetensi pemimpin yang unggul," katanya.

Menurut Rektor Universitas Paramadina Anies Baswedan, diperlukan pemimpin berintegritas. Penegakan hukum di Indonesia saat ini lemah karena banyak kepentingan yang tidak bisa dihindari akibat tak adanya integritas. "Integritas mutlak karena ketegasan tidak akan bermakna tanpa integritas. Integritas penting karena, saat mengambil keputusan, ia tidak khawatir meski banyak kepentingan yang masuk," tutur Anies saat penandatanganan kerja sama antara Kompas Gramedia dan Indonesia Mengajar di Jakarta, kemarin.

Karakter pemimpin yang sanggup menggerakkan orang lain untuk mau turun tangan juga sangat penting. "Kehadirannya sebagai pemimpin bukan untuk menyelesaikan semua masalah, melainkan dia harus bisa menggerakkan orang lain untuk mau terlibat," ujarnya.

Pendiri Rumah Perubahan, Rhenald Kasali, menyampaikan hal senada. Indonesia membutuhkan pemimpin yang mau berimplementasi. "Ini yang menjadi kelemahan pemimpin kita sekarang. Mereka lebih banyak berwacana, tetapi tidak melakukan implementasi," kata Rhenald.

Ia menambahkan, pemimpin yang punya kejujuran dan ketulusan orisinal dalam menjalankan kepemimpinannya juga dirindukan. "Sekarang kita berada di peradaban kamera, di mana semua orang suka berpura-pura. Mereka menunjukkan dirinya lebih pintar dari biasanya, memarahi orang lain di depan kamera, padahal sehari-harinya lembek. Sayangnya, masyarakat sudah pintar untuk mengetahui kebohongan itu," ungkapnya.

Mulyono (34), petugas keamanan di sebuah kantor, mengaku tertarik dengan calon alternatif. Ia lebih memilih pemimpin muda dengan gaya kepemimpinan baru, terutama yang selalu dekat dengan masyarakat. "Saya memilih Pak Jokowi. Dia bersahabat dengan semua orang dan sering turun ke rakyatnya. Saya percaya dia akan membawa perubahan," ujar Mulyono.

Saat ini, kata Anies, pemimpin berintegritas dan mampu menggerakkan orang lain sulit ditemukan. Parpol tidak membuka peluang karena lebih mengutamakan siapa yang bisa memfasilitasi mereka secara finansial.

Menurut Rhenald, parpol tidak menyeleksi kadernya karena dibajak berbagai kepentingan.

Ketua Umum Pimpinan Pusat Pemuda Muhammadiyah Saleh P Daulay menilai, rakyat merindukan sosok pemimpin yang bisa menjawab persoalan fundamental, seperti kemiskinan, kebodohan, ketidakadilan, dan kesenjangan. Pemimpin alternatif harus memiliki integritas moral serta multi-kecerdasan, yaitu intelektual, spiritual, dan emosional.

Karena itu, pengajar Ilmu Politik Universitas Airlangga, Surabaya, Haryadi, dan peneliti LIPI, Siti Zuhro, menyatakan, sosok capres alternatif bisa dimunculkan apabila Indonesia memiliki sosok yang memiliki jiwa kenegarawanan untuk membangun negara dan mampu mengatasi segala permasalahan. Pemimpin Indonesia ke depan, kata Haryadi, harus berani ambil risiko.

Seorang pemimpin nasional, ujar pengusaha ritel Tutum Rahanta, harus berjiwa nothing to lose dalam melayani rakyat dan berani melawan preman-preman politik demi membela rakyat.

Kalangan pelaku pasar di pasar modal menyatakan Indonesia sangat butuh orang yang paham ekonomi. Tidak sekadar paham, menurut mereka negeri ini membutuhkan sosok yang peka terhadap krisis di bidang ekonomi, khususnya saat dibutuhkan.

"Karena situasi ekonomi global saat ini bukan dalam situasi business as usual (seperti biasa adanya). Hal itu antara lain terlihat dari melonjaknya yield (imbal hasil) obligasi pemerintah di tingkat global dan pelemahan rupiah," kata Wakil Presiden Samuel Sekuritas Indonesia Muhammad Alfatih.

Ketua Harian Partai Demokrat Sjarifuddin Hasan mengatakan, Partai Demokrat menyadari betul tingginya harapan rakyat terhadap calon legislatif ataupun capres. Faktor kedekatan dan dikenal rakyat menjadi prasyarat seorang pemimpin.

(Kompas cetak, 31 Mei 2013)
Powered by Telkomsel BlackBerry®

Mencari Pemimpin Baru (Tajuk Rencana Kompas)

Diskusi soal kepemimpinan nasional tahun 2014-2019 mulai ramai. Partai politik pun mulai sibuk mencari kandidat presiden 2014.

Kegairahan masyarakat sipil mencari pemimpin nasional adalah wajar mengingat jabatan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono akan berakhir pada Oktober 2014. Konstitusi membatasi masa jabatan presiden hanya untuk dua periode atau sepuluh tahun.

Secara formal prosedural, kandidat presiden baru akan muncul setelah pemilu legislatif 9 April 2014. Partai atau gabungan partai yang memiliki 20 persen suara berhak mengusulkan calon presiden. Namun, kita memandang diskursus ataupun gerakan masyarakat mencari pemimpin masa depan setahun sebelum pemilu adalah fenomena positif.

Dengan waktu yang cukup lama, calon presiden bisa memasarkan gagasannya untuk membangun masa depan Indonesia berdasarkan Pancasila dan UUD 1945. Gagasan dan tahapan untuk merealisasikan ide menjadi penting dibandingkan dengan hanya mengandalkan popularitas dan elektabilitas. Program untuk membangun Indonesia yang lebih baik harus menjadi sebuah gerakan nasional yang melibatkan seluruh komponen bangsa. Seorang pemimpin harus mampu menggerakkan semua potensi itu.

Bagaimana merajut tenun kebangsaan Indonesia yang majemuk, bagaimana meningkatkan kesejahteraan rakyat dan mengurangi kesenjangan sosial, serta bagaimana mewujudkan keadilan sosial sebagaimana dinyatakan dalam pembukaan konstitusi haruslah menjadi agenda pimpinan masa depan. Popularitas dan elektabilitas penting, tetapi akan jauh lebih bermakna jika para calon itu punya agenda untuk membawa Indonesia ke situasi yang lebih baik.

Tahun 2013 dan tahun 2014 akan menjadi tahun penuh dengan politik. Namun, kami mau ingatkan, Januari 2015, pasar Indonesia akan terbuka. Kawasan Ekonomi ASEAN dimulai pada Januari 2015. Sudahkah ada persiapan Indonesia atau calon pemimpin untuk menuju Kawasan Ekonomi ASEAN pada 2015? Sejak presiden baru dilantik pada 20 Oktober 2014, dia hanya memiliki waktu tiga bulan untuk memasuki Kawasan Ekonomi ASEAN.

Sejumlah hasil survei mengindikasikan adanya kekecewaan rakyat terhadap reformasi. Orde Baru yang jatuh karena isu korupsi tidak membuat kita belajar dari perilaku buruk tersebut. Pasca-Orde Baru, pada saat demokrasi prosedural mencapai puncaknya, korupsi justru kian merajalela. Dari pusat sampai daerah, bukan hanya eksekutif, melainkan juga legislatif dan yudikatif. Korupsi tetap menjadi pekerjaan rumah yang belum selesai.

Kembali ke ide pokok mencari pemimpin, mencari pemimpin nasional haruslah didasarkan pada kemampuan calon presiden mengidentifikasi tantangan Indonesia di kancah global serta di dalam negeri dan bagaimana pemimpin menjawab tantangan itu. Jawaban atas masalah bangsa harus menjadi agenda pemimpin guna menemukan narasi besar untuk menuju Indonesia yang lebih baik.

***
(Tajuk Rencana Kompas, 31 Mei 2013)
Powered by Telkomsel BlackBerry®

Mewaspadai Tren Pasar Surat Utang (Hasan Zein Mahmud)

Hasan Zein Mahmud

Ada dua gejala menonjol dalam pasar surat utang global saat ini. Pertama, gelombang penurunan peringkat surat utang, dari peringkat utang negara, obligasi korporasi, sampai obligasi pemerintah daerah. Kedua, ekonomi dunia dengan tingkat bunga sangat rendah sehingga hanya berpeluang naik!

Peringkat utang negara-nega- ra zona euro berguguran sejak dua tahun lalu. Tidak terbatas pada negara yang mengalami krisis keuangan nyata seperti Yunani, Portugal, Italia, dan Spanyol, tetapi juga negara berkekuatan ekonomi seperti Jerman dan Perancis. Baru-baru ini, Fitch juga memangkas peringkat utang Inggris dari AAA ke AA+ dengan alasan ekonomi memburuk.

Peringkat perekonomian Amerika Serikat (AS) ternyata juga rontok. Pada 5 Agustus 2011, untuk pertama kali dalam sejarah, peringkat surat utang pemerintah Federal AS diturunkan oleh Standard & Poor's dari AAA menjadi AA+.

Domino kejatuhan peringkat juga sampai ke Indonesia. Peringkat utang negara Indonesia versi S&P turun pangkat dari positif ke stabil walau masih di peringkat sama: BB. Dalam jangka pendek, ini menghapus peluang Indonesia naik pangkat menjadi negara layak investasi yang telah diprediksi banyak pakar lebih dari dua tahun.

Menyusul S&P, Moody's juga menurunkan outlook Indonesia dari stabil ke negatif walau masih di jajaran layak investasi. Bergerak satu derajat lagi lebih rendah, Moody's akan kembali membenamkan Indonesia ke lingkaran peringkat spekulatif yang telah dihuni Indonesia selama 14 tahun sejak krisis 1997.

Penurunan outlook oleh S&P dan Moody's memang tak menaikkan imbal hasil obligasi Indonesia secara signifikan. Yang lebih perlu diantisipasi yakni perbaikan kondisi makroekonomi, termasuk kebijakan lebih hati- hati sehingga penurunan tak berlanjut ke tingkat lebih buruk.

Terpuruknya kembali peringkat Indonesia ke area spekulatif akan membuat investor portofolio menarik kembali dananya, dan laju penanaman modal langsung akan menurun tajam, memaksa otoritas moneter menaikkan tingkat bunga dan imbal hasil obligasi ke langit tinggi.

Tingkat bunga

Tingkat bunga global saat ini berada di palung terendah. Federal Fund Rate yang sekian tahun bertengger di angka 0,25 persen praktis tak bisa diturunkan lagi. Itu sebabnya, otoritas moneter AS harus menggunakan alat lain, seperti mencetak uang baru untuk membeli kembali obligasi pemerintah (quantitative easing), guna memacu pertumbuhan ekonomi yang lamban.

Awal Mei, Bank Sentral Eropa juga menurunkan tingkat bunga acuannya 25 basis poin menjadi 0,5 persen untuk membantu perekonomian zona euro yang terpuruk di tengah penurunan inflasi di bawah target angka inflasi dan meningkatnya pengangguran. Ini pemotongan tingkat bunga pertama sejak 10 bulan.

BI Rate 5,75 persen adalah terendah sepanjang sejarah. Itu telah dipertahankan dalam 15 kali pertemuan Dewan Gubernur BI. Saya menangkap semacam hasrat dari otoritas moneter menurunkan lagi tingkat bunga acuan. Namun, dengan perkiraan inflasi lebih tinggi dari 2012 dan di tengah pelemahan rupiah, penurunan BI Rate lebih jauh akan kontraproduktif. Pembalikan tren tingkat bunga global, apalagi dibarengi penurunan peringkat banyak negara, akan menghancurkan pasar obligasi global. Semoga tak terjadi!

Pertumbuhan ekonomi memang tak selalu ditandai dengan naiknya tingkat bunga walaupun empiris membuktikan ekspansi ekonomi umumnya akan mengerek tingkat bunga ke atas. Yang boleh jadi luput dari pertimbangan analis adalah penurunan peringkat surat utang berkepanjangan akan menaikkan imbal hasil, yang pada gilirannya akan "memaksa" institusi keuangan menaikkan tingkat bunga.

Kecenderungan itu yang perlu diwaspadai. Naiknya tingkat bunga bersamaan turunnya peringkat surat utang akan mengakibatkan harga obligasi turun tajam. Penurunan tajam harga obligasi akan memukul lebih banyak investor ritel ketimbang penurunan harga saham. Di AS, misalnya, 75 persen obligasi pemda–dengan nilai pasar sekitar 3,7 triliun dollar AS–dimiliki investor individual. Di Indonesia obligasi selain ORI memang dimiliki mayoritas oleh institusi. Namun, jangan lupa investor institusional dummy dari pemilik sebenarnya, yaitu investor ritel.

Penurunan nilai portofolio pada dana pensiun akan menurunkan kekayaan para calon pensiunan. Penurunan portofolio asuransi menurunkan kekayaan pemegang unit link. Demikian juga penurunan nilai portofolio reksa dana memangkas nilai aktiva bersih pemegang unit.

Saya bukan penganut ajaran Warren Buffett yang menyarankan Anda takut pada saat orang lain tamak dan menyarankan Anda tamak pada saat publik takut. Namun, sedia payung paling baik dilakukan sebelum hujan, apalagi di pasar keuangan.

Hasan Zein Mahmud Tim Ekselensi Learning Center & Advisory dan Pengajar pada Kwik Kian Gie School of Business

(Kompas cetak, 31 Mei 2013)
Powered by Telkomsel BlackBerry®

Merawat Keberagaman ( Hendardi)

Hendardi

Selama enam tahun terakhir, Setara Institute dan organisasi lain melaporkan bahwa kondisi kebebasan beragama/berkeyakinan di Indonesia memprihatinkan. Negara belum sepenuhnya mampu menjalankan mandat konstitusi: merawat keberagaman dan menjamin kebebasan beragama/berkeyakinan.

Ketidakmampuan menjamin kebebasan dasar ini yang kemudian melahirkan diskriminasi dan kekerasan lanjutan, termasuk perluasan spektrum pelanggaran hak konstitusional warga. Sebutlah seperti hak atas rasa aman, hak atas kemerdekaan pikiran, hak atas pendidikan, hak atas anak, dan hak untuk diperlakukan setara di hadapan hukum. Kondisi ini telah mengundang keprihatinan internasional. Hal itu disampaikan Human Rights Watch dalam laporan terbarunya (Februari 2013) ataupun para pemimpin dunia lewat berbagai forum internasional.

Laporan Indonesia

Pada 23 Mei 2012, Pemerintah Indonesia melaporkan perkembangan situasi HAM di Indonesia selama empat tahun terakhir (2008-2012) pada Sidang Working Group Universal Periodic Review (UPR) Dewan HAM PBB. UPR adalah mekanisme pelaporan empat tahun sekali di Dewan HAM PBB oleh 192 negara anggota PBB. Pada UPR kali ini, 74 negara berpartisipasi dalam diskusi, 27 anggota Dewan HAM PBB, dan 47 pengamat.

Salah satu isu penegakan HAM di Indonesia yang menjadi sorotan dan perhatian dunia adalah kebebasan beragama/berkeyakinan. Setidaknya 23 negara dalam sidang UPR telah memberikan respons, tinjauan, dan rekomendasi atas pemajuan HAM, khususnya kebebasan beragama/berkeyakinan di Indonesia. Sejumlah rekomendasi hingga kini tidak dijalankan pemerintah, salah satunya soal revisi UU No 1/PNPS/1965 tentang Penyalahgunaan/Penodaan Agama dan mengundang Pelapor Khusus PBB untuk Kebebasan Beragama/Berkeyakinan.

Fakta lain yang jadi indikator kegagalan negara dalam menjamin kebebasan beragama/berkeyakinan adalah pembiaran pengungsi Ahmadiyah Transito Mataram, pengungsi Sampang-Madura, pembangkangan hukum dalam kasus GKI Taman Yasmin, kekerasan terhadap jemaat Ahmadiyah yang terus meluas, penyegelan dan atau pelarangan pendirian gereja-gereja HKBP di Bekasi, dan impunitas pelaku kekerasan atas nama agama.

Laporan-laporan itu sejatinya bukan untuk disangkal negara. Penyangkalan tanpa argumen akademis dan fakta lapangan yang dilakukan otoritas negara hanya menunjukkan betapa pemerintah tidak peduli dengan kondisi kebebasan beragama/berkeyakinan. Politik penyangkalan tidak akan memberikan benefit politik apa pun, kecuali memupuk apatisme dan ketidakpercayaan publik. Kondisi ini jelas akan merugikan prestasi pemerintah pada sektor lain.

Ironi citra

Dengan menyimak berbagai data dan fakta peristiwa dan tindakan pelanggaran kebebasan beragama/berkeyakinan, bisa dimengerti mengapa muncul polemik terhadap pemberian penghargaan kelas dunia semacam World Statesman Award. Inilah ironi industri politik pencitraan. Citra telah menjadi dewa yang dituju dan dipuja meskipun tidak diimbangi dengan kinerja.

Tidak ada yang membantah bahwa deretan penghargaan internasional adalah buah dari kepemimpinan Presiden SBY dalam banyak bidang. Namun, dalam hal kebebasan beragama/berkeyakinan, masih banyak yang harus dibenahi. Termasuk bagaimana mengefektifkan kepemimpinan politik untuk menegur seorang wali kota yang telah mengabaikan keputusan Mahkamah Agung. Juga belum tampak instruksi dan tindakan nyata dalam mengatasi kekerasan dan diskriminasi agama/keyakinan.

Indonesia disegani karena kepatuhan tanpa reserve dalam bidang liberalisasi ekonomi. Untuk soal pelanggaran HAM, klaim tersebut menyesatkan. Selama sembilan tahun terakhir, impunitas atas pelaku kejahatan kemanusiaan semakin menebal.

Kasus penculikan orang secara paksa, yang telah direkomendasikan DPR untuk diperiksa di pengadilan HAM, tidak berlanjut. Prestasi penegakan HAM tidak melulu diukur dengan peristiwa pelanggaran HAM berat semata, tetapi juga seberapa kuat usaha memutus impunitas sehingga ada efek jera dan pembelajaran akan kebenaran, keadilan, dan pemulihan korban dan publik.

Sebagai pelopor perdamaian, Indonesia memang pantas diapresiasi, tetapi tidak untuk mengejar Nobel Perdamaian. Demikian juga posisi Indonesia, yang katanya, tindakan Indonesia dihitung dan suara Indonesia didengar. Karena posisinya yang makin strategis, semestinya pemberian penghargaan menjadi cambuk untuk menuntaskan fakta dan kondisi sebenarnya yang justru bertolak belakang.

Sebetulnya, memang Indonesia akan lebih mulia di mata dunia apabila menolak penghargaan itu. Namun, keputusan sudah diambil. Kita berharap muncul kesadaran bahwa ada masalah serius dengan kebebasan beragama dan bersungguh-sungguh akan menyelesaikannya.

HENDARDI Ketua Setara Institute

(Kompas cetak, 31 Mei 2013)
Powered by Telkomsel BlackBerry®

Defisit Kemodernan Politik (M Alfan Alfian)

M Alfan Alfian

Harian Kompas edisi 20 Mei 2013 merangkum pandangan bahwa setelah 15 tahun reformasi, partai politik gagal memberikan perubahan substansial kepada rakyat.

Parpol yang memiliki peran strategis dan penting dalam demokrasi justru terus berkutat dalam urusan pertarungan kekuasaan dan jabatan demi keuntungan segelintir elite. Pandangan ini segera diamini berbagai pihak, termasuk sebagai otokritik elite parpol sendiri. Pertanyaannya, mengapa sampai demikian?

Jawaban akademisnya: karena parpol abai membangun dan memperkuat kelembagaannya. Institusionalisasi politik jalan di tempat, kalau bukan malah tekor. Wajah politik kita, akibatnya, tidak hadir dari pancaran organisasi politik modern yang memiliki disiplin kesisteman yang baik. Sebaliknya, dinamika digerakkan oleh "dawuh para gusti" alias kehendak konsentrasi elite berkuasa. Praktik "presidensialisme parpol", ironisnya, terpotret sedemikian itu.

Modernisasi politik yang ditandai dengan penguatan kelembagaan partai justru di era reformasi ini tak sepenuhnya dijadikan orientasi. Tradisionalitas patron-klien atau patronase politik yang meminggirkan logika kemodernan tampak lebih dominan. Disiplin kesisteman tergeser pemusatan kekuasaan dengan segala derivasi perilaku elite oligarki partai. Fungsi kepemimpinan politik bergeser sekadar merebut dan mempertahankan kekuasaan faksional, sesaat, dan kurang kontributif dalam menyokong perubahan substansial.

Para elite politik saat ini seharusnya belajar kembali pada pengalaman elite-elite pelopor kebangsaan tempo dulu. Salah satu pelajaran berharga dari Kebangkitan Nasional adalah pilihan pergerakan dengan pendekatan organisasi modern. Berdirinya Boedi Oetomo tahun 1908—sering dipakai sebagai titik yang menandai perubahan strategi perjuangan—oleh sejarawan Anhar Gonggong disebutnya dari fisik ke visi. Strategi fisik yang sebelumnya merujuk pendekatan tradisional bertransformasi ke strategi visi melalui kehadiran sejumlah organisasi modern.

Modernitas organisasi kemudian menjadi ciri menonjol tiap pergerakan. Visi sosial-politik diterjemahkan secara lebih tertata. Militansi terawat oleh disiplin anggota yang patuh pada sistem. Meskipun organisasi-organisasi tersebut diawasi ketat pemerintah kolonial, tingkat pelembagaan politiknya tinggi. Konsistensi para aktivis yang bergerak melalui organisasi modern tampak dari kerapian susunan pengurus, berjalannya kongres-kongres, dan ragam gebrakan yang terasakan oleh rakyat.

Berpolitik secara modern mengemuka. Para elite menyembul ke permukaan dengan peran kepemimpinan masing-masing. Mereka sangat memperhatikan pengaderan sehingga organisasi adalah basis kader. Di tengah kondisi rakyat yang sangat terbatas tingkat pendidikan dan kesejahteraannya, sikap dan kebijakan organisasi demikian nyata. Para elite tidak elitis. Politik tidak hanya bermakna mengupayakan kemerdekaan, tetapi juga mencerdaskan dan memajukan kesejahteraan rakyat.

Deinstitusionalisasi politik

Para elite tampil sebagai pemimpin-pemimpin politik yang jelas. Modernitas organisasi yang dilengkapi sikap kepemimpinan para elitenya klop dengan sambutan rakyat yang penuh harap. Yang tercipta adalah kebersamaan. Karena itu, meskipun ditindas penguasa kolonial, gairah perjuangan yang telah memperoleh bentuk baru kemodernan politik jauh lebih efektif.

Wajah kemodernan politik kita dewasa ini tampak tereduksi arus kuat deinstitusionalisasi partai-partai politik. Ini gejala gawat karena dinamika didominasi sekadar oleh "tinju-tinju politik" yang tanpa seni. Konsepsi pelembagaan politik, yang sudah menjadi klasik, misalnya, dikemukakan Huntington dengan empat kriteria, yakni adaptabilitas, kompleksitas, otonomi, dan koherensi.

Bagaimanapun, menekankan stabilitas dan soliditas organisasi, versi Huntington itu, sering dikritik seolah membenarkan juga jalan nondemokrasi. Berangkat dari kritik itu, wacana pelembagaan politik dewasa ini nyaris selalu dilekatkan dengan demokrasi. Dengan demikian, Pelembagaan politik mempersyaratkan keberadaan partai-partai politik yang demokratis pula. Tantangan utamanya tentu bagaimana stabilitas dan soliditas politik tercipta secara demokratis.

Ukuran utamanya adalah terjaminnya proses pengambilan keputusan secara otonom dan demokratis. Kalau hal itu diabaikan, kemodernan partai diterapkan setengah hati. Pengambilan keputusan dan kesisteman, selain aspek nilai, merupakan hal-hal yang mendasar dalam pelembagaan partai. Meskipun semua partai berharap memperoleh citra yang baik di mata publik, kerangka institusionalisasi tidak merekomendasikan langkah-langkah yang instan.

Pemusatan kekuasaan dan langkah-langkah instan pencitraan tidak saja berbahaya bagi partai bersangkutan, tetapi juga masa depan demokrasi. Dan, sayangnya, hal seperti itu yang kita rasakan hari-hari ini.

M ALFAN ALFIAN Dosen Pascasarjana Ilmu Politik Universitas Nasional

(Kompas cetak, 31 Mei 2013)
Powered by Telkomsel BlackBerry®

Antara Benci dan Cinta (HERRY TJAHJONO)

HERRY TJAHJONO

Sebagai rakyat, tentu kita punya hak untuk menonton sekaligus berpendapat— bahkan untuk nyinyir sekalipun— terhadap pemerintah ataupun para pemimpin kita. Sebab, bagi rakyat, begitu menjatuhkan pilihan terhadap kepemimpinan nasional baik itu eksekutif, legislatif, maupun yudikatif, artinya telah menanamkan investasi yang teramat mahal untuk dipertaruhkan begitu saja.

Secara sederhana, kepemimpinan bergerak di antara dua kutub: dibenci atau dicintai. Jika sebuah kepemimpinan bergerak dari dibenci menuju dicintai, hal itu disebut sebagai kepemimpinan yang terbit (sunrise leadership). Namun, jika yang terjadi adalah sebaliknya, kepemimpinan bergerak dari dicintai menjadi dibenci, itu disebut kepemimpinan yang tenggelam (sunset leadership).

Untuk memotret apakah sebuah kepemimpinan dicintai atau dibenci, parameter yang terpenting adalah apa yang disebut dengan respons kepemimpinan. Respons ini diukur dari jenis respons pengikutnya (follower's response). Setidaknya ada dua respons pengikut yang layak diangkat dalam konteks kepemimpinan nasional di negeri tercinta ini.

Sikap dan hati

Respons pertama berupa sikap (attitude response ), khususnya sikap respek terhadap kepemimpinan yang ada. Rasa respek pengikut—dalam hal ini rakyat—untuk pemimpin yang dicintai bisa dijelaskan dengan sederhana. Pertama, dilihat dari kritik terhadap kepemimpinan. Kritik terhadap pemimpin yang dicintai akan bersifat membangun, konstruktif. Bahkan, untuk kritik paling keras sekalipun, misalnya dalam bentuk unjuk rasa, tetap bersifat membangun karena dilakukan dengan santun dan normatif. Kritik konstruktif karena ada respek.

Selain kritik konstruktif, sikap respek juga berhubungan dengan perilaku segan (bukan takut) terhadap pemimpin yang dicintai. Dinamika ini lahir dari otoritas ke-(pribadi)-an yang kuat, tegas, adil, bijaksana, dan altruis. Bukan otoritas kursi, jabatan, pangkat, SK, yang sekadar mengandalkan legitimasi formal. Dari kondisi disegani inilah lahir wibawa kepemimpinan yang kuat, yang bahkan tidak memerlukan kehadiran fisik sang pemimpin sekalipun. Jadi, meski sosok pemimpin tidak hadir secara fisik, pengikut atau rakyat tetap hormat dan berlaku sopan.

Respons kedua berupa respons hati (heart response). Respons hati terhadap kepemimpinan ini biasanya muncul dalam bentuk ungkapan, ekspresi perasaan berupa cerita sejarah, dongeng atau sebaliknya; dari cerita parodi sampai cerita guyonan atau lawak soal kepemimpinan yang ada. Untuk pemimpin yang dicintai, respons hati akan mengejawantah dalam bentuk cerita sejarah yang positif tentang para pemimpin yang dicintai itu. Bahkan, sering diwujudkan dalam bentuk dongeng yang dipermanis dan diperindah, lebih manis dan lebih indah dari sejarah itu sendiri.

Indonesia pernah mempunyai pemimpin yang dicintai seperti itu, misalnya Bung Hatta, Jenderal Sudirman, dan beberapa lainnya. Bung Karno sesungguhnya termasuk golongan pemimpin yang sangat dicintai karena ada beberapa catatan khusus seperti adanya "rekayasa sejarah dan politik" sehingga menjadi "dibenci". Selain itu, memang ada juga beberapa kelemahan terutama pada akhir masa kepemimpinannya sehingga dia sempat "dibenci". Namun, pada dasarnya Bung Karno termasuk pemimpin yang dicintai, terbukti sejarah mulai "mengoreksi" kisah tentang Bung Karno. Orang masih menyebut dengan hormat meski dia dan para pemimpin lainnya telah wafat.

Respons destruktif

Adapun ke-(pemimpin)- an yang dibenci mempunyai dua respons (sikap respek dan hati) pengikut yang sebaliknya. Pertama, kritik terhadap kepemimpinan yang ada dilakukan tanpa respek, bahkan bersifat merusak, destruktif. Secara psikologis, hal ini wajar karena para pengikut memang ingin merusak kepemimpinan yang ada, menjatuhkannya, merontokkannya. Kritik paling keras dalam bentuk unjuk rasa pun destruktif dan bahkan anarkis.

Pada saat yang sama, tidak ada perilaku segan terhadap para pemimpin nasional yang ada. Baik mereka hadir secara fisik maupun tidak. Para pengikut atau bawahan berani untuk tidak menjalankan arahan dan perintah atasan yang dibenci. Tak jarang kita melihat peserta rapat atau pengarahan—bahkan dalam suatu sidang yang melibatkan para menteri—yang dengan santainya terkantuk-kantuk, bahkan ngorok sekalian. Tidak ada segan karena memang tidak ada wibawa kepemimpinan sama sekali. Karena para pemimpin itu tidak bisa menghargai diri sendiri dan kepemimpinannya, rakyat juga tak menghargai mereka.

Respons hati bukan muncul dalam bentuk sejarah atau dongeng yang indah, positif, dan manis, tetapi memprihatinkan: berupa cerita guyonan atau lawak yang sinisme dan melecehkan. Berikut contoh cerita guyonan atau lawak yang memprihatinkan tersebut.

Terkait dengan DPR, misalnya, di masyarakat beredar guyonan tentang seorang anggota wakil rakyat yang meninggal dan masuk neraka (mungkin karena korupsi dan sama sekali tidak bekerja mewakili rakyat). Ketika sampai di neraka, ia kaget melihat seorang temannya yang meninggal lebih dulu dan berada di surga. Ia bertanya kepada penjaga neraka, kenapa temannya itu ada di surga, padahal kelakuannya sama-sama bejat. Dengan santai penjaga neraka menjawab, "Oh, itu cuma studi banding aja kok, sebentar lagi juga balik ke sini!"

Masih demikian banyak cerita guyonan yang bersifat sinisme dan melecehkan, baik terhadap polisi, hakim, menteri, bahkan Presiden SBY sekalipun. Pendeknya, hampir setiap hari lahir cerita guyonan yang sinis dan melecehkan terhadap segenap dimensi kepemimpinan nasional, dan bukan cerita sejarah atau dongeng yang indah dan manis.

Melihat respons sikap pengikut dan rakyat yang mengarah pada titik tanpa respek, kritik destruktif, serta cerita guyonan yang getir dan melecehkan, tampaknya kepemimpinan nasional yang ada sekarang memang sedang tenggelam. Semoga era kepemimpinan mendatang bisa menorehkan sejarah kepemimpinan nasional yang indah dan manis.

HERRY TJAHJONO Terapis Budaya Perusahaan dan Motivator Budaya, Jakarta

(Kompas cetak, 31 Mei 2013)
Powered by Telkomsel BlackBerry®

Kamis, 30 Mei 2013

Merosotnya Kepercayaan Publik (Tajuk Rencana Kompas)

Terungkapnya aliran uang Rp 4 miliar ke politisi DPR dalam kasus dugaan korupsi pengadaan simulator menambah faktor terus merosotnya kepercayaan masyarakat.

Daftar ketidakpuasan itu semakin panjang. Semakin banyak pula anomali, teka-teki atas berbagai masalah dan cara menyelesaikannya. Semua masalah dianggap selesai dengan janji dan pernyataan, selesai dengan politik "dagang sapi".

Kalau ketidakpercayaan dibiarkan, krisis pemerintahan akan terjadi, yang berujung pada krisis rezim. Potensi negara gagal yang ditakutkan berawal dari merosotnya kepercayaan publik (public trust). Akan lebih baik apabila ketidakpercayaan itu memperoleh outlet, lewat unjuk rasa, protes, atau konflik; sebaliknya, lebih berbahaya yang diam apatis.

Sekitar 70 persen atau 291 kepala daerah terlibat kasus korupsi dalam kurun 2004-2013. Komisi Pemberantasan Korupsi menangani 41 orang, 9 di antaranya gubernur, contoh bibit ketidakpercayaan. Otonomi daerah, selain menghasilkan pemimpin daerah yang inovatif, juga melahirkan koruptor, pemerataan korupsi, dan sosok-sosok yang seolah-olah tak tersentuh hukum.

Selain contoh besarnya persentase kepala daerah yang terlibat korupsi—tidak seluruhnya korup, sebagian karena kesalahan manajemen—masih banyak contoh lain. Jabatan publik, dalam artian kedudukan dan eksistensinya dari rakyat dan untuk rakyat, ternodai. Efektivitas dan efisiensi praksis pemerintahannya mandul.

Ketika perilaku wakil rakyat—tidak seluruhnya memang—tidak pantas jadi teladan, eksistensi mereka tidak lebih dari "togok" dalam kisah pewayangan. Anggap saja banyolan. Ketika ketidakpastian selalu dijadikan wacana keputusan-keputusan politik, tanpa sengaja perilaku itu mempersubur ketidakpercayaan publik.

Perpolitikan memang tak hitam putih, tidak dua tambah dua sama dengan empat. Akan tetapi, ketika semua diskenariokan sebagai pencitraan sekaligus menafikan realitasnya—padahal kurang mudarat, negara dan bangsa ini menuju kebangkrutan.

Dalam sisa waktu setahun pemerintahan (nasional) SBY, ada baiknya dilihat kembali janji-janji yang pernah disampaikan. Sudah saatnya mulai dibangun kepercayaan, demi warisan nama baik, bukan hanya pujian, awards, dan penghargaan, melainkan sejauh mungkin diusahakan restorasi dan perbaikan bagi kepentingan publik/masyarakat.

Dengan demikian, terkikis pelan anomali politik dan ketidakpercayaan, sekaligus merajut terkoyaknya luka ketidakpercayaan rakyat, yakni menegakkan demokratisasi, tatanan hukum, dan keadilan bagi kepentingan rakyat banyak. Kalau tidak, kondisi pra-Reformasi menjadi candu, sekaligus terpupuk merosotnya kepercayaan publik. Habis sudah kita!

***
(Tajuk Rencana, Kompas, 30 Mei 2013)
Powered by Telkomsel BlackBerry®

"Reimunisasi" Birokrasi (IKHSAN DARMAWAN)

IKHSAN DARMAWAN

Abhijit Banerjee (1997) dalam papernya "A Theory of Misgovernance" mengemukakan bahwa birokrasi sebuah pemerintahan sering diasosiasikan dengan beberapa karakteristik (yang negatif), seperti red tape (memiliki serangkaian prosedur yang rumit dan kompleks), korup, dan kekurangan insentif.

Ditambahkan oleh Banerjee bahwa perilaku korup birokrat dan kekurangan insentif itu saling bertalian erat. Oleh karena itu, salah satu jalan keluar untuk mengurangi kemungkinan seorang birokrat melakukan korupsi adalah dengan memberikan insentif yang memadai.

Sebagai contoh kebijakan pemberian insentif adalah di Swedia. Pada abad ke-17 dan 18, Swedia merupakan salah satu negara terkorup di Eropa. Namun, sejak tahun 1970-an, Swedia termasuk ranking teratas negara tidak terkorup di dunia. Kebijakan penambahan remunerasi bagi pegawai negeri di Swedia yang dikombinasikan dengan deregulasi menjadi dasar kemunculan pegawai negeri yang jujur dan kompeten di Swedia akhir abad ke-19 (Lindbeck, 1975).

Remunerasi jadi obat

Lebih kurang logika dari pemikiran Banerjee adalah logika yang mendasari kebijakan remunerasi untuk pegawai negeri sipil (PNS) di Indonesia. Remunerasi pegawai dinilai sebagai "imuni - sa s i " alias obat yang dapat membuat pegawai kebal dari godaan suap, korupsi, dan penyelewengan jabatan lainnya.

Seperti diketahui bersama, sejumlah kementerian telah menerapkan kebijakan remunerasi pegawai. Beberapa kementerian yang menerapkan kebijakan itu selama beberapa tahun antara lain Kementerian Keuangan, Mahkamah Agung, dan BPK.

Yang membuat miris adalah Kementerian Keuangan yang telah dan lebih dulu mengimplementasikan kebijakan remunerasi ternyata pegawainya justru acapkali tersangkut kasus penyalahgunaan wewenang, seperti suap dan korupsi.

Kasus terakhir adalah tertangkap tangannya dua pegawai Direktorat Jenderal Pajak, yakni Muhammad Dian Irwan Nuqishira dan Eko Darmayanto oleh KPK saat "b e r t r a n sa k s i " suap dengan wakil dari perusahaan The Master Steel di Bandara Soekarno- Hatta.

Penangkapan itu menambah panjang daftar pegawai Dirjen Pajak yang berurusan dengan kasus hukum. Sebelumnya sudah ada nama-nama seperti Gayus Tambunan, Bahasyim Assiffie, Dhana Widyatmika, Tommy Hindratno, dan Pargono Riyadi yang menjadi tangkapan KPK sepanjang 2010-April 2013.

Padahal, data menunjukkan, gaji pegawai Dirjen Pajak termasuk yang terbesar di antara PNS. Berdasarkan penelusuran Kompas.com (3/5), gaji pegawai pajak berkisar Rp 5 juta hingga Rp 30 juta per bulan.

Pegawai level menengah memperoleh gaji Rp 15 juta-Rp 25 juta per bulan, sementara pegawai yang masuk kategori eselon II atau Kakanwil Pajak memperoleh Rp 25 juta-Rp 30 juta per bulan. Jumlah yang diterima oleh pegawai Dirjen Pajak jauh lebih besar ketimbang pendapatan PNS di 20 kementerian/lembaga lain (Rp 2,82 juta-Rp 23,96 juta per bulan) dan pendapatan PNS biasa (Rp 1,26 juta-Rp 4,6 juta per bulan).

Pertanyaannya kemudian, mengapa para abdi masyarakat di bidang pajak itu masih juga tergoda dengan uang tidak sah? Apakah kebijakan remunerasi keliru? Ataukah ada faktor lain yang luput dari perhatian pembuat kebijakan?

Proteksi birokrasi

Hemat penulis, remunerasi tetap menjadi dasar penting untuk memproteksi birokrasi dari mencari penghasilan di luar gaji yang didapat dari negara. Akan tetapi, policy remunerasi harus didukung faktor-faktor lain.

Pertama, penegak hukum yang kredibel dan penegakan hukum yang berefek jera. Jakob Svensson (2005: 33), ekonom senior Development Research Group di bawah Bank Dunia, pernah mengutarakan bahwa remunerasi bisa mengurangi suap dan korupsi, tetapi hanya di bawah kondisi tertentu. Strategi remunerasi memerlukan aparat penegakan (hukum) yang berfungsi baik. Di banyak negara di mana korupsi bersifat kelembagaan, persyaratan penegak dan penegakan hukum mutlak perlu.

Kedua, berkaitan dengan faktor pertama, yaitu adanya punishment and rewards yang efektif dan berhasil guna. Untuk sanksi atau hukuman sebetulnya Dirjen Pajak telah dengan tegas memberhentikan anak buahnya yang "bandel" dari jabatan dan statusnya sebagai PNS. Juga untuk reward s , ada Peraturan Dirjen Pajak Nomor 22 Tahun 2010 yang mengatur soal penghargaan, berupa pemberian sembilan kali gaji apabila bisa membongkar penyimpang pajak oleh sesama rekan di Dirjen Pajak. Selain berupa uang, ada juga kesempatan memperoleh promosi jabatan hingga pelatihan di luar negeri.

Belum jera

Akan tetapi, kelihatannya hu - kuman ini masih belum membuat jera korps pegawai pajak karena mereka masih berpikir untung-untungan. Siapa tahu tidak tertangkap, barangkali itu yang ada di benak mereka. Untuk reward s , pada praktiknya juga tidak mudah karena berkaitan dengan nasib rekan mereka.

Ketiga, pembenahan faktor mental individu birokrat. Sebagus apa pun aturan main, kalau mental dari birokrat masih "se - lalu tidak puas" dengan pendapatan yang didapat, maka aturan itu akan diperlakukan sebagai perangkap yang harus disiasati.

Oleh karena itu, pemerintah dan DPR perlu memikirkan secara serius adanya "r e i m u n i sa s i " alias imunisasi ulang agar para birokrat jadi bermental pelayan masyarakat dan kebal dari godaan birokrasi yang patologis. Dengan demikian, reformasi birokrasi tidak hanya sekadar menjadi slogan dan jargon semata.

IKHSAN DARMAWAN Dosen Departemen Ilmu Politik FISIP UI

(Kompas cetak, 30 Mei 2013)
Powered by Telkomsel BlackBerry®

Reevaluasi Kontrak Karya (Marulak Pardede)

Marulak Pardede

Sejak tahun 1967, pemerintah Orde Baru melihat investasi asing sebagai jalan keluar untuk mempercepat pertumbuhan ekonomi.

Kebijakan ini tampak dalam Undang-Undang Penanaman Modal Asing Nomor 1 Tahun 1967 yang memberikan jalan bagi masuknya investasi asing di pertambangan (Pasal 8 UU No 11/1967). Tak lama berselang muncul UU No 11/1967 tentang Pertambangan, yang makin memuluskan investasi asing.

Implikasinya adalah dimulainya sistem kontrak dalam eksploitasi mineral. Sistem kontrak mengakibatkan Indonesia dan perusahaan berkedudukan sejajar. Negara pun kehilangan kekuasaan administratif mengatur perusahaan tambang yang beroperasi di Indonesia.

Tidak cermat

Pada generasi awal, ketidakcermatan membuat kontrak menyebabkan pemerintah memberikan begitu saja wilayah yang mencakup tiga provinsi di Sulawesi kepada PT Inco. Begitu pula untuk PT Freeport Indonesia (FI) di Papua Barat. Selain mendapatkan wilayah yang luas, salah satu klausul kontrak juga menyebutkan bahwa FI berhak memindahkan penduduk di areal kontrak karya (KK) mereka. Suatu kontrak yang jelas melanggar hak asasi penduduk Papua Barat.

Kalaupun kemudian ada perbaikan KK, itu hanyalah pembatasan wilayah KK seluas 62.500 hektar dalam KK Generasi 6 dan perbaikan pendapatan Indonesia dari royalti sebesar 4 persen sejak KK generasi 4.

Sampai kini, model KK tak pernah diuji keandalannya dari sudut pandang ekonomi, apalagi dari aspek sosial budaya, hak adat, dan lainnya. Padahal, tanah penduduk di sekitar pertambangan banyak diambil perusahaan dan sumber-sumber kehidupan mereka dihancurkan. Hal ini akibat tak adanya perlindungan dari pemerintah. Sistem KK yang berlaku saat ini sangat merugikan negara dan memberikan hak mutlak kepada perusahaan tambang asing untuk mengeruk kekayaan alam kita.

Di tengah kondisi kritis hutan Indonesia—dengan deforestasi lebih dari 3,5 juta hektar per tahun—pemerintah pada zaman Presiden Megawati bahkan mengeluarkan perpu yang bertentangan dengan prinsip pembangunan berkelanjutan. Perpu tersebut seolah-olah memberikan justifikasi terhadap beroperasinya 150 perusahaan pertambangan di kawasan hutan lindung.

Hasil analisis dari sejumlah dokumen investasi pertambangan dan perjanjian internasional, terdapat tiga instrumen legal yang memberikan hak terbatas kepada operator pertambangan asing untuk mengajukan arbitrase kepada Pemerintah Indonesia. Yakni, klausa arbitrase dalam KK mereka, UU Penanaman Modal, dan pasal-pasal arbitrase yang terkandung dalam Bilateral Investment Treaties (BITs) dan/atau Multilateral Investment Treaties (MITs) yang dibuat Pemerintah Indonesia dengan negara "asal" masing-masing operator pertambangan asing.

Meski demikian, operator pertambangan asing tidak dapat menuntut berdasarkan ketiga argumen di atas karena operator tambang asing tidak dapat menuntut arbitrase berdasarkan klausa arbitrase di KK atas adanya aturan hukum di luar kontrak karya yang bersangkutan. Arbitrase hanya dapat dilakukan jika terdapat pelanggaran terhadap pasal-pasal dalam KK yang bersangkutan.

Selain itu, setiap KK yang ditandatangani sejak 1974 memuat pernyataan yang persis atau serupa dengan pernyataan di bawah ini yang ditujukan kepada operator pertambangan: "Operasi-operasi (yang dilakukan operator pertambangan) harus sesuai dengan hukum dan peraturan perundangan mengenai perlindungan lingkungan hidup." Pasal ini diterima oleh operator pertambangan asing di mana mereka diwajibkan secara terus-menerus agar operasinya memenuhi semua hukum dan peraturan perundangan mengenai lingkungan hidup.

Jaminan kompensasi

Semua BIT dan MIT di mana Indonesia menjadi pihaknya menjamin agar Pemerintah Indonesia memberikan kompensasi kepada investor asing jika Pemerintah Indonesia mengambil tindakan "setara dengan", "berbobot sama dengan", atau "memberikan dampak yang sama dengan" penghilangan hak.

Operator tambang asing tidak akan berhasil mengklaim berdasarkan BIT atau MIT, yang menjamin adanya kompensasi bagi penghilangan hak secara tidak langsung karena pelarangan penambangan terbuka di hutan lindung tidak dapat dianggap sebagai penghilangan secara tidak langsung hak investasi mereka.

Dalam banyak kasus, hak-hak operator tambang asing untuk beroperasi akan selalu kena aturan lingkungan dan sosial yang diberlakukan Pemerintah Indonesia demi kepentingan publik, termasuk larangan penambangan terbuka di hutan lindung. Operator tambang asing tak dapat mengklaim mereka terkena efek negatif ketika pemerintah memberlakukan pelarangan pertambangan terbuka di hutan lindung.

Sebagaimana dibahas di atas, setiap KK yang ditandatangani sejak pertengahan 1970-an memuat pasal-pasal yang mengharuskan operator tambang asing mengoperasikan tambangnya sesuai hukum dan peraturan lingkungan yang berlaku. Ini berarti, KK mewajibkan operator tambang asing menambang dengan cara-cara yang sesuai dengan hukum dan peraturan di Indonesia. Karen itu, ketika DPR memberlakukan Pasal 38 Ayat (4) UU Kehutanan, DPR tidak menghilangkan hak-hak yang telah diberikan kepada operator tambang asing berdasarkan KK.

Wewenang pemerintah

Dalam Pasal 38 Ayat (4) UU Kehutanan, operator tambang asing juga tak dapat mengajukan arbitrase dengan klaim bahwa Pemerintah Indonesia melanggar BIT dan/atau MIT yang menjamin adanya perlakuan sama dan setara karena pelarangan tersebut dalam lingkup wewenang Pemerintah Indonesia.

Dikeluarkannya Perpu No 1/2004 yang akan ditindaklanjuti dengan keppres yang memberikan izin kepada 13 perusahaan untuk menambang (secara terbuka) di hutan lindung justru akan membuka peluang bagi tuntutan arbitrase terhadap pemerintah karena pemerintah tidak memberikan perlakuan yang sama kepada perusahaan tambang lain (total ada 158 perusahaan menuntut penambangan terbuka di hutan lindung). Akan timbul pertanyaan mengapa hanya 13 saja yang diizinkan.

Dikeluarkannya Perpu No 1/2004 adalah akibat ancaman operator pertambangan asing yang didukung penuh pemerintah mereka. Sungguh sangat tidak patut: suatu bangsa berdaulat mau begitu saja tunduk pada ancaman entitas asing yang mau ikut campur urusan domestik suatu negara, apalagi menyangkut hajat hidup orang banyak.

Pemerintah Indonesia seharusnya tak membiarkan ketidakpatutan operator tambang asing memengaruhi kebijakan domestik Pemerintah Indonesia melalui ancaman arbitrase, apalagi mereka tak berhak mengajukan.

Mereka tidak memiliki hak khusus yang membolehkan mereka begitu saja mengancam untuk membangkrutkan Pemerintah Indonesia jika kepentingan mereka tidak diutamakan. Fakta bahwa operator tambang asing tidak juga mengajukan gugatan walaupun sudah hampir lima tahun larangan penambangan terbuka di hutan lindung diberlakukan menunjukkan bahwa sebenarnya mereka sangat paham bahwa mereka tidak berpeluang berhasil di arbitrase.

Indonesia rugi

Kontrak karya Indonesia dengan Freeport hanya memberikan keuntungan 2 persen. Dampak sejak berlangsungnya kegiatan eksplorasi Freeport di Papua, antara lain telah mengakibatkan kerusakan lingkungan dan marjinalisasi hak-hak rakyat Papua, termasuk kesewenang-wenangan angkatan bersenjata yang disewa perusahaan raksasa itu terhadap rakyat.

Menurut pengamat pertambangan Kurtubi, kontrak karya menjadi batu sandungan utama mengingat model tersebut menjadikan negara dalam posisi lebih lemah dibanding korporat. Model ini di dunia perminyakan juga sudah tidak dipakai lagi sejak 1960-an. Model kontrak karya berkonsekuensi kekayaan alam hilang dan royalti yang diperoleh negara hanya 2 persen. Karena itu, Kurtubi mengusulkan kontrak karya dicabut.

Beberapa kalangan berpendapat, ketidakberanian pemerintah menyetop model kontrak karya akan membuat Indonesia semakin miskin. Belum lagi dampak sosial ekonomi, termasuk munculnya berbagai penyakit di masyarakat di lingkungan pertambangan. Kekayaan alam yang dieksplorasi pun sering kali tidak diketahui persisnya karena kontrol yang lemah. Pemerintah sering percaya dengan apa yang dilaporkan perusahaan.

Dalam kaitan tersebut, sementara kalangan berpendapat bahwa diperlukan keberanian para pemimpin negara untuk menghentikan model kontrak karya. Kontrak karya bukanlah sesuatu yang suci dan tak dapat diubah lagi sehingga dalam kaitan ini presiden sebagai kepala negara dan pemerintahan bisa mengevaluasi kembali semua kontrak karya di Indonesia. Semoga.

Marulak Pardede Ahli Peneliti Utama Bidang Hukum pada BPHN Kementerian Hukum dan HAM RI; Ketua Umum Ikatan Peneliti Hukum Indonesia

(Kompas cetak, 30 Mei 2013)
Powered by Telkomsel BlackBerry®

BBM Lagi (Jusuf Kalla)

M Jusuf Kalla

Awal April 2013, saya ke Turki melihat kemajuan ekonomi dan sosial negara itu. Dalam pertemuan dengan para pengusaha dan beberapa menteri, saya bertanya harga bensin di sana dan terkejut mengetahui harganya, TL 4,2 atau Rp 23.000 per liter.

Saat mengetahui harga bensin di Indonesia hanya Rp 4.500 per liter, mereka balik terkejut: seperlima harga bensin di Turki. Jadi, di Turki bensin dipajaki, di Indonesia disubsidi berat. Turki tetap maju dan tumbuh ekonominya, terbaik di Timur Tengah dan Eropa.

Harga BBM di dunia amat bervariasi. Yang termurah di Venezuela dan negara pengekspor BBM dengan penduduk sedikit, seperti Kuwait, Arab Saudi, dan Qatar. Yang mahal di Eropa. Indonesia, kita tahu, tak lagi pengekspor, tetapi pengimpor yang kian membesar. Jadi, harga BBM akan selalu memengaruhi besar-kecil APBN bagi pembangunan. Kebijakan harga BBM bertahun-tahun selalu jadi perhatian dan debat terbuka di Tanah Air. Ia dianggap sangat peka secara ekonomi dan sosial, bahkan bisa mengganggu keamanan.

Seperti kita maklumi, kebijakan harga sekarang untuk premium dan solar Rp 4.500 per liter sehingga energi (BBM dan listrik) harus disubsidi pada 2013 lebih dari Rp 300 triliun, sekitar 20 persen dari APBN, lebih besar dari total anggaran infrastruktur yang sangat penting. Paham yang diajarkan sejak SMA, ekonomi adalah bagaimana memilih sumber daya dan dana yang terbatas untuk kebutuhan yang hampir tak terbatas. Harga BBM dinaikkan atau tidak, bukan itu masalahnya. Masalahnya adalah apakah dana negara Rp 300 triliun itu tetap dipakai untuk menyubsidi sebagian besar warga yang punya mobil dan rumah besar dengan AC, atau dipakai untuk membangun dan memperbaiki jalan, jembatan, dan pertanian sehingga kita bisa mengurangi impor, serta perbaikan fasilitas kesehatan dan lain-lain untuk mengurangi kemiskinan.

Dewasa ini, subsidi BBM sudah melebih kuota anggaran. Artinya, subsidi menyebabkan defisit, dan defisit dibiayai dengan utang. Relakah kita subsidi untuk mobil dibayar dengan utang yang nanti dibayar anak cucu?

Jika pilihannya tetap menyubsidi orang mampu dibandingkan dengan meningkatkan pembangunan, harga BBM tetap seperti sekarang. Namun, jika kita memilih memperbaiki prasarana masyarakat, membantu mereka meningkatkan kesejahteraan dan pertumbuhan ekonomi nasional, serta mengurangi utang, dana subsidi Rp 300 triliun itu harus dikurangi dan dialihkan untuk biaya pembangunan nasional yang lebih bermanfaat. Cara mengurangi adalah menaikkan harga, melaksanakan penghematan biaya rutin, dan membasmi korupsi yang membebani pembangunan ekonomi.

Yang bermanfaat

Memang, dalam pilihan kebijakan BBM, tidak ada yang enak. Semua berisiko. Namun, pemerintah harus memilih yang manfaatnya lebih besar daripada mudaratnya. Kalau harga BBM tidak naik seperti sekarang ini, pemerintah tidak punya banyak kemampuan untuk meningkatkan pembangunan atau membantu warga miskin sehingga di mana-mana jalan dan fasilitas umum, seperti pengairan, sulit diperbaiki dan dibangun. Akibatnya, di mana-mana macet, pertanian menurun, dan angka kemiskinan turun lambat.

Pertumbuhan kita yang di atas 6 persen akan turun tanpa pembangunan infrastruktur dan pertanian yang baik. Ini terlihat dari pertumbuhan ekonomi triwulan I-2013—sesuai dengan laporan BPS. Pada bulan-bulan terakhir ini, kita melihat pula antrean panjang karena pasokan BBM subsidi dibatasi di banyak daerah, khususnya di daerah yang memberi sumbangan pada pertumbuhan ekonomi (Kalimantan dan daerah industri di Jawa). Artinya, akan terjadi penurunan produktivitas ekonomi kita secara keseluruhan dan melambannya sistem logistik nasional.

Semua itu akan meningkatkan biaya dan ongkos produksi barang-barang. Akhirnya inflasi. Jadi, kalau ada alasan tak menaikkan harga BBM karena khawatir inflasi, justru dengan membatasi pasokan untuk pengendalian kuota, inflasi naik tanpa manfaat.

Kalau terjadi kenaikan harga BBM, pasti ada akibat juga: kenaikan berbagai biaya, seperti biaya angkutan yang lanjutannya pada harga lain. Ini semua bergantung pada besaran kenaikan.

Kenaikan harga BBM pada tahun 2005 sebesar 160 persen yang dilakukan dua kali merupakan yang terbesar dalam sejarah (akibat kenaikan harga minyak dunia 75 dollar AS per barrel) dan memang menyebabkan naiknya inflasi dan menambah kemiskinan 1 persen pada 2006. Hal itu antara lain disebabkan kenaikan harga minyak tanah 180 persen, dari Rp 700 ke Rp 2.000 per liter. Karena diimbangi bantuan langsung tunai (BLT) Rp 100.000 per keluarga per bulan, tingkat kemiskinan dan inflasi kembali turun pada 2007. Jadi, inflasi yang terjadi karena obat untuk menyehatkan ekonomi tidak sia-sia.

Kenaikan harga sebesar itu akibat perbuatan pemerintah karena sebelumnya menahan harga BBM rendah sehingga subsidi mendekati 30 persen dari APBN yang baru sekitar Rp 600 triliun. Tanpa kenaikan harga BBM pada 2005, pemerintah tak bisa berbuat apa-apa untuk pembangunan.

BLT

Kalau pemerintah sekarang membiarkan subsidi seperti sekarang, akibatnya akan ditanggung pemerintah yang akan datang. Siapa pun pemerintah nanti harus menaikkan harga demi mengurangi subsidi supaya ada dana untuk pembangunan dan kesejahteraan rakyat. Kalau tidak, terpaksa berutang lagi.

Bila pemerintah mengurangi subsidi sekarang dengan menaikkan harga 30-35 persen atau Rp 1.500, efeknya akan jauh lebih kecil dibandingkan dengan tahun 2005 dan 2008. Di samping persentasenya kecil, hanya seperenam, juga karena minyak tanah yang selalu menjadi kebutuhan masyarakat miskin tidak dipakai lagi karena telah dikonversi ke gas. Jadi, kenaikan hanya pada premium dan solar untuk angkutan. Solar dan premium dapat dihemat—kalau harga naik—dengan mengurangi perjalanan mobil. Minyak tanah untuk memasak tentu tidak dapat dikurangi.

Pengurangan risiko dengan memberi BLT kepada rakyat tetap pilihan yang baik meski dianggap menguntungkan partai pemerintah. Namun, kita harus memahami, penerima adalah rakyat kita, rakyat semua partai.

M Jusuf Kalla Wakil Presiden RI 2004-2009

(Kompas cetak, 30 Mei 2013)
Powered by Telkomsel BlackBerry®

Paradigma Baru Legislasi (Saldi Isra)

Saldi Isra

Dengan suara bulat alias tanpa dissenting opinion, hakim konstitusi mengabulkan sebagian (besar) permohonan uji materi Dewan Perwakilan Daerah terhadap sejumlah pasal dalam UU No 27/2009 dan UU No 12/2011.

Dengan dikabulkannya permohonan tersebut, perjuangan panjang yang telah berlangsung lebih dari delapan tahun untuk meneguhkan peran dan fungsi legislasi senator Senayan mulai mendapatkan titik terang. Bila dibaca secara tepat semangat dan substansi putusan Mahkamah Konstitusi (MK), hampir dapat dipastikan, para senator di DPD memiliki kesempatan luas mengoptimalkan peran mereka sebagai representasi kepentingan daerah dalam proses pembentukan UU.

Paling tidak, optimalisasi fungsi legislasi DPD terkait wewenang dalam Pasal 22D Ayat (1) dan (2) UUD 1945. Tidak hanya sebatas meneguhkan peranan DPD dalam proses legislasi, putusan MK juga mendudukkan kembali bagaimana fungsi legislasi sesungguhnya berlangsung sesuai kehendak UUD 1945 setelah perubahan. Secara sederhana, sekiranya putusan MK dimaknai secara benar, fungsi legislasi akan hadir dan berlangsung dalam paradigma baru: relasi DPR-DPD-Presiden akan berlangsung secara efektif.

Namun, melihat resistensi sejumlah pihak di DPR, paradigma baru fungsi legislasi ini potensial menjadi macan kertas. Boleh jadi, melihat perkembangan yang ada, segala macam upaya akan dilakukan untuk menegasikan putusan MK. Padahal, sebagai putusan yang bersifat final, mengabaikan putusan MK akan menimbulkan implikasi hukum yang tak sederhana terhadap UU yang dihasilkan.

Monumen kegagalan

Sebetulnya, masalah terbatasnya fungsi legislasi DPD bukan perdebatan yang hanya muncul saat ini. Sejak semula, begitu kewenangan DPD disepakati dalam perubahan ketiga UUD 1945 (2001), sudah bermunculan banyak kritik bahwa lembaga ini tidak akan mampu memosisikan dirinya merepresentasikan kepentingan daerah. Alasannya, konstitusi hanya menyediakan ruang amat sempit bagi DPD dalam proses pembentukan UU.

Sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 22D Ayat (1) dan (2) UUD 1945, fungsi legislasi DPD terbatas dengan frasa "dapat mengajukan" dan "ikut membahas" RUU yang berkaitan dengan hubungan pusat dan daerah. Seperti hendak menempatkan DPD sebagai subordinasi, pengajuan tersebut disampaikan ke DPR. Lebih jauh, dalam RUU APBN dan yang berkaitan dengan pajak, pendidikan dan agama, DPD sekadar memberi pertimbangan.

Perkembangan selanjutnya, kewenangan "dapat mengajukan" dan "ikut membahas" seperti mengalami pembonsaian secara sistemik. Misalnya, dalam "dapat mengajukan", sejumlah pasal dalam UU No 27/2009 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD mempersamakan RUU dari DPD dengan usul RUU yang berasal dari anggota DPR. Padahal, UUD 1945 secara jelas membedakan antara RUU dan usul RUU. Celakanya, upaya mereduksi kewenangan DPD dalam "ikut mengajukan" ini diperkuat pula dalam UU No 12/2011 tentang Tata Cara Pembentukan Peraturan Perundang-undangan.

Begitu juga soal "ikut membahas", sejumlah pasal dalam UU No 27/2009 dan UU No 12/2011 makin mempersempit kewenangan DPD untuk ikut membahas RUU yang berkaitan dengan hubungan pusat dan daerah. Misalnya, secara jelas diatur DPD hanya dapat terlibat dalam pembahasan tingkat pertama. Tidak hanya itu, diatur pula daftar inventarisasi masalah (DIM) hanya dapat diajukan oleh presiden dan DPR. Dengan menggunakan cara berpikir a contrario, aturan demikian tidak memberikan ruang kepada DPD untuk mengajukan DIM. Padahal, sejatinya DIM merupakan "mahkota" dalam membahas RUU. Upaya pembonsaian dalam desain besar fungsi legislasi dapat pula dilacak dengan menisbikan peran DPD dalam penyusunan program legislasi nasional (prolegnas). Dalam posisi sebagai instrumen perencana, menihilkan peran DPD dalam Program Legislasi Nasional dapat dibaca sebagai bentuk pengingkaran Pasal 22D UUD 1945. Bahkan, seperti batu jatuh ke lubuk, dalam praktik, hampir semua usul DPD menjadi santapan rayap. Ujung dari semua itu, RUU dari DPD menjadi monumen kegagalan fungsi legislasi.

Pola bipartit

Sebagai penafsir konstitusi, MK telah mengembalikan makna hakiki fungsi legislasi dalam UUD 1945. Tentu saja, kalangan yang tidak menerima putusan ini akan dengan mudah menilai bahwa MK kebablasan dalam mengabulkan permohonan DPD. Namun, dari sudut pandang teoretik, MK dapat memberikan tafsir terhadap kewenangan legislasi DPD. Dalam hal ini, KC Wheare, dalam Modern Constitutions (1975), menyebutkan perubahan konstitusi dilakukan melalui penafsiran kuasa judisial (judicial interpretation). Dengan cara ini, teks konstitusi tidak mengalami perubahan, tetapi hakim memberikan tafsir baru.

Dikaitkan dengan putusan, penafsiran MK hanya memperjelas fungsi legislasi DPD pada frasa "dapat mengajukan" dan "ikut membahas". Tak hanya menjernihkan, putusan MK juga mengembalikan fungsi legislasi sebagaimana dimaksud Pasal 22D UUD 1945. Karena akan mengubah pola yang berlangsung selama ini, banyak pihak berpendapat, putusan MK akan menghadirkan paradigma baru, yaitu keterlibatan/ketersambungan tiga institusi, yaitu DPR, DPD, dan Presiden. Dengan demikian, pelaksanaan fungsi legislasi akan menghadirkan praktik tripartit.

Di dalam batas kewenangan legislasi Pasal 22D UUD 1945, praktik tripartit dimulai dengan meniscayakan peran DPD sejak penyusunan prolegnas. Selama tidak diberi peran sama dengan DPR dan presiden, sulit bagi DPD untuk mengoptimalkan peran mengusulkan RUU yang terkait dengan hubungan pusat dan daerah. Bagaimanapun, prolegnas akan memengaruhi inisiatif pengajuan RUU. Mengabaikan peran DPD menyusun prolegnas sama saja mempersempit kesempatan DPD memperjuangkan aspirasi daerah dalam proses pembentukan UU.

Namun, upaya mengembalikan kepada makna pembentukan UU sesuai maksud UUD 1945 dapat dilacak dari relasi DPR-DPD-presiden dalam pembahasan RUU. Dalam putusan MK, mekanisme legislasi baru dalam pembahasan RUU dilakukan ketiga lembaga itu. Sejauh kewenangan dalam Pasal 22D, pembahasan yang dilakukan DPR-DPD-presiden baru dapat dimulai jika RUU telah selesai di internal masing-masing lembaga. Dalam posisi demikian, pembahasan semua RUU yang terkait wewenang DPD dalam Pasal 22D tidak akan ada lagi pembahasan antara DPD dan presiden dengan fraksi-fraksi DPR. Dengan putusan MK, pembahasan yang masih melibatkan fraksi-fraksi DPR akan menjadi sebuah proses yang inkonstitusional. Artinya, menggunakan pola ini, pembahasan RUU di luar Pasal 22D yang hanya dalam wewenang DPR dan presiden mestinya dimulai dengan paradigma baru pula: pola bipartit.

Lebih efektif

Secara konstitusional, dengan pola baru yang ditawarkan, putusan MK tidak hanya sebatas memperjelas fungsi legislasi DPD, tetapi juga mengembalikan makna pembahasan bersama yang diatur konstitusi. Dikatakan demikian karena UUD 1945 secara eksplisit menyatakan, pembahasan dilakukan antar-institusi (DPR-DPD-presiden atau DPR-presiden) dan bukan antara fraksi-fraksi DPR dan institusi DPD-presiden. Berdasarkan penjelasan ini, putusan MK mengubah secara fundamental pola pembahasan yang dilakukan selama ini, yaitu dengan memosisikan sama antara fraksi-fraksi DPR dengan presiden dan/atau DPD. Padahal, pandangan fraksi tidak mencerminkan pendapat DPR sebagai institusi. Apalagi, sebagai perpanjangan tangan partai politik, fraksi bukan alat kelengkapan DPR.

Saya percaya, sekiranya pembentuk UU (terutama DPR dan presiden) melaksanakan putusan MK, proses legislasi akan berlangsung jauh lebih efektif dan efisien. Saat ada pembahasan bersama sebuah RUU, sesama anggota DPR tak perlu saling berhadapan. Begitu pula pemerintah, tak lagi menghadapi fraksi-fraksi karena DPR akan datang dalam pembahasan bersama dengan DIM institusi. Bagi anggota DPR, mereka tak perlu merasa fraksi jadi kehilangan peran dalam proses pembentukan UU. Pada batas-batas tertentu, yang terjadi justru sebaliknya, peran fraksi jadi jauh lebih fokus. Jika sebelumnya fraksi kelihatan dalam pembahasan bersama dengan pemerintah, pasca-putusan MK perannya terjadi saat pembahasan antarfraksi di internal DPR. Dengan peranan yang jauh lebih fokus, kinerja masing-masing fraksi DPR dapat dinilai fair dan terbuka.

Tak hanya itu, ketika fraksi memperdebatkan substansi RUU, masyarakat pun lebih mudah menilai kecenderungan dan kinerja setiap fraksi. Artinya, bila selama ini terjadi masalah dengan substansi UU, acap kali DPR yang menjadi sasaran tudingan. Namun, pascaputusan MK, sasaran utama akan berpindah ke fraksi. Dengan demikian, pembahasan RUU tak hanya lebih efektif saat pembahasan bersama antara DPR-pemerintah (dan DPD), tetapi juga saat pembahasan di internal DPR.

Cacat formal

Sebagaimana disebut di awal, sesudah lebih dari dua bulan putusan MK dibacakan (27/3), perjuangan untuk melaksanakan paradigma baru fungsi legislasi masih jauh dari selesai. Salah satu bukti, sejak dibacakan, belum terlihat tanda-tanda pemerintah dan DPR melaksanakan putusan MK. Sejauh ini, proses legislasi yang berkaitan dengan wewenang DPD dalam Pasal 22D UUD 1945 masih berlangsung seperti sebelum putusan MK. Sebagai putusan yang bersifat final dan berlaku sejak dibacakan, seharusnya DPR dan pemerintah menyesuaikan proses pengajuan dan pembahasan RUU dengan semangat dan amanat putusan MK. Bahkan, semua pembahasan, sepanjang terkait wewenang DPD, yang sedang dilakukan di DPR semestinya dihentikan lebih dahulu. Bagaimanapun, melanjutkan pembahasan dapat dikatakan sebagai bentuk pembangkangan nyata atas putusan MK.

Betapa pun, DPR dan pemerintah tidak bisa menggunakan dalih, pelaksanaan putusan MK harus menunggu perubahan UU No 27/2009 dan UU No 12/2011. Begitu pula, DPR tidak pula dapat menggunakan alasan tidak dapat melaksanakan putusan MK karena peraturan tata tertib DPR belum diubah. Secara hukum, jika putusan MK tidak dijalankan, proses pembentukan UU adalah cacat formal. Pihak yang dirugikan oleh proses yang cacat secara formal akan mudah membangun alas hak (legal standing) untuk hukum mengajukan permohonan uji formal ke MK. Karena itu, DPR dan pemerintah harus menyimak baik pernyataan Ketua MK HM Akil Mochtar bahwa lembaga yang dipimpinnya akan membatalkan semua UU yang dibuat jika bertentangan dengan putusan MK. Perlu dicatat, sekiranya uji formal dikabulkan, yang dibatalkan tidak hanya pasal-pasal atau bagian tertentu saja dari UU, tetapi juga akan merontokkan UU secara keseluruhan. Lalu, haruskah menunggu sebuah UU dibatalkan terlebih dahulu melalui uji formal sebelum melaksanakan putusan MK?

Saldi Isra Guru Besar Hukum Tata Negara dan Direktur Pusat Studi Konstitusi Fakultas Hukum Universitas Andalas, Padang

(Kompas cetak, 30 Mei 2013)
Powered by Telkomsel BlackBerry®

Rabu, 29 Mei 2013

Nilai Tukar sebagai Stimulus (Tajuk Rencana Kompas)

Meskipun tekanan terhadap rupiah diyakini bersifat sementara, pelemahan nilai tukar harus menjadi perhatian serius pemerintah.

Gubernur Bank Indonesia Agus Martowardojo, di hadapan Komisi XI DPR Senin lalu, mengatakan, prospek neraca pembayaran Indonesia yang lebih baik akan membuat nilai tukar rupiah terjaga.

Melemahnya nilai tukar mata uang suatu negara bukan hal tabu. Kita masih ingat bagaimana China dituduh sengaja membuat mata uangnya lemah demi meningkatkan daya saing produk ekspornya. Jepang juga melakukan hal yang sama.

Dengan kata lain, pelemahan mata uang suatu negara dapat menjadi modal untuk mendorong pertumbuhan ekonomi suatu negara. Pemerintahan Orde Baru beberapa kali menggunakan pelemahan rupiah yang saat itu disebut devaluasi rupiah untuk mendorong daya saing produk ekspor Indonesia di pasar internasional.

Yang menjadi persoalan apakah penguatan atau pelemahan nilai tukar tersebut berada dalam kontrol pemerintah atau tidak. Seharusnya, pelemahan nilai tukar rupiah terjadi karena merupakan bagian dari suatu strategi pembangunan, misalnya, untuk mendorong ekspor dan menumbuhkan industri di dalam negeri.

Akan menjadi beban bagi perekonomian apabila pelemahan nilai tukar adalah konsekuensi yang tidak direncanakan dari suatu pilihan kebijakan ekonomi. Apalagi, jika akibatnya nilai tukar bergejolak sehingga pelaku usaha sulit membuat perencanaan bisnis.

Kita seyogianya tidak terjebak pada keadaan kendali nilai tukar rupiah bukan di tangan pemerintah. Seperti yang terjadi saat ini, terkesan kuat pelemahan nilai tukar rupiah bukan merupakan rancangan kebijakan untuk tujuan itu. Indikasinya, salah satu penyebab tertekannya nilai tukar rupiah adalah impor bahan bakar minyak yang terus meningkat volume dan nilainya. Subsidi BBM juga terlalu besar dibandingkan dengan harga keekonomian sehingga konsumsi cenderung membengkak.

Menteri Keuangan Chatib Basri dan Gubernur Bank Indonesia yang menduduki jabatannya belum lama ini diharapkan menjaga Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara tetap sehat, mendorong investasi di sektor riil, serta mengendalikan kestabilan nilai tukar rupiah dan inflasi.

Masyarakat mengharapkan bukan hanya pertumbuhan ekonomi yang tinggi, tetapi juga terjadi pemerataan kemakmuran agar pertumbuhan ekonomi berkelanjutan dan tidak terjebak menjadi negara berpendapatan menengah.

Seiring munculnya tanda-tanda perbaikan ekonomi global tahun depan, Indonesia harus dapat mengambil manfaat dari situasi itu. Hal ini dapat terjadi bila menteri keuangan dan menteri-menteri lain di kabinet bersama Gubernur BI merancang kebijakan untuk jangka panjang dan tidak membatasi diri pada masa kerja kabinet sekarang demi masa depan Indonesia.

***
(Tajuk Rencana Kompas, 29 Mei 2013)
Powered by Telkomsel BlackBerry®

Kota Santun Lansia (Nirwono Joga)

Nirwono Joga

Setiap tahun seluruh masyarakat dunia memperingati Hari Lanjut Usia.

Hari Lansia Dunia ditetapkan PBB setiap 1 Oktober berdasarkan Resolusi Nomor 45 Tahun 106 tertanggal 14 Desember 1990 dan Resolusi No 46/1991, kelanjutan dari Vienna International Plan of Action on Aging (Vienna Plan) di Wina dan Resolusi No 37/1982. PBB mengajak negara-negara di dunia bersama atau sendiri mengembangkan dan menerapkan kebijakan meningkatkan kesejahteraan kehidupan lansia. Juga mengkaji dampak menuanya penduduk terhadap pembangunan, dan sebaliknya dengan mengembangkan potensi lansia. Prinsipnya: kemandirian, partisipasi, pelayanan, pemenuhan diri, dan martabat.

Di Indonesia, Hari Lansia Nasional dicanangkan Presiden Soeharto di Semarang pada 29 Mei 1996 sebagai bentuk penghormatan kepada Dr KRT Radjiman Wediodiningrat, yang di usia lanjut memimpin sidang pertama Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI, 1945). Sejak itu, Hari Lansia Nasional diperingati setiap 29 Mei sebagai wujud kepedulian dan penghargaan kepada para orang lansia.

Delapan atribut

Berdasarkan UU No 13/1998 tentang Kesejahteraan Lansia, penduduk yang masuk kategori lansia adalah warga yang berusia 60 tahun ke atas. Namun, dengan meningkatnya jaminan kesehatan dan harapan hidup masyarakat Indonesia, ada baiknya kategori lansia ditingkatkan menjadi 65 tahun (Singapura, Australia) atau 70 tahun (Eropa, AS).

Berdasarkan data Kementerian Kesehatan, ada tiga golongan lansia, yaitu lansia dini (55-64 tahun)—kelompok umur yang sebagian masih aktif produktif hingga persiapan menjelang pensiun; lansia (65 tahun ke atas); dan lansia berisiko tinggi (70 tahun ke atas)—kelompok umur yang semakin rentan terhadap masalah degeneratif kesehatan. Jumlah orang lansia di Indonesia dari tahun ke tahun cenderung meningkat. Jika pada 2000 tercatat 14,4 juta jiwa, pada 2012 mencapai 23 juta jiwa, dan diperkirakan meningkat menjadi 28,9 juta jiwa pada 2020.

Pemerintah harus memahami masalah dan implikasi menuanya penduduk dan dampak terhadap masyarakat. Pemerintah juga perlu mempersiapkan penduduk menghadapi proses penuaan dengan produktif dan memuaskan, mengembangkan infrastruktur dan lingkungan, serta meningkatkan pelayanan untuk memenuhi kebutuhan lansia. Salah satunya adalah mengembangkan Kota Santun Lansia (KSL).

Sesuai standar Badan Kesehatan Dunia, ada delapan atribut KSL. Pertama, peruntukan lahan dan tata ruang bertujuan menciptakan ruang yang aman, nyaman, produktif, dan berkelanjutan. Kedua, rencana pengembangan ruang terbuka hijau sebagai taman rekreasi, refleksi, dan relaksasi. Ketiga, pengembangan transportasi ramah lingkungan dan ramah lansia. Keempat, penerapan bangunan hijau yang sesuai kebutuhan orang lansia. Kelima, peran serta masyarakat untuk peduli terhadap orang lansia. Keenam, pemanfaatan dan pengembangan energi ramah lingkungan. Ketujuh, pengelolaan sampah ramah lingkungan. Kedelapan, pengelolaan air yang berkelanjutan.

KSL merupakan penghormatan dan penghargaan dari lingkungan sosial dan masyarakat dalam bentuk kota ramah lansia, seperti kemudahan dalam berbagai kegiatan dan mendapat dukungan. Mereka tak perlu antre dengan pengembangan layanan on-line melalui telepon genggam atau komputer tablet (di mana dan kapan saja). Untuk menjalin komunikasi dan informasi, mereka dapat bertemu dalam pertemuan publik di pusat komunitas, menerima dan mengakses informasi yang diperlukan. Komunikasi disampaikan dalam bahasa sederhana, jelas, dan praktis.

Partisipasi masyarakat dengan menyediakan tempat berkumpul para lansia untuk berinteraksi, seperti taman-taman untuk senam lansia, konsultasi kesehatan atau psikologis, sekaligus tempat berbagi pengetahuan dan pengumuman di jejaring komunitas lansia. Di lingkungan perumahan ada ruang terbuka antarbangunan, dengan lingkungan bersih, menyenangkan dan tidak bising. Ada jalur pejalan kaki yang nyaman dan aman, toilet umum, serta kemudahan aksesibilitas ke dan dari bangunan.

Di bidang transportasi, pemerintah menetapkan jadwal angkutan tepat waktu, ada prioritas tempat duduk nyaman untuk lansia, kendaraan dengan tangga rendah, sopir yang sopan, sabar dan berhenti di tempat yang telah ditentukan. Stasiun dan halte nyaman, informasi jelas, tempat parkir khusus dekat bangunan.

Bangunan rumah perlu dirancang menyenangkan dan menyehatkan, serta kemudahan untuk kebutuhan primer. Desain ramah lingkungan disesuaikan kebutuhan lansia, seperti ada pegangan tangan di kamar mandi, beda tinggi antara lantai, tangga, serta teras landai dan tidak licin.

Prospek ke depan

Semua orang pasti akan tua. Secara alami, proses penuaan mengakibatkan lansia mengalami penurunan kemampuan fisik dan kognitif. Kemampuan panca indera terhadap daya tangkap visual, memori, kepekaan pendengaran, dan ketajaman penciuman menurun secara gradual. Namun, pernahkah kita merenung sejenak, bagaimana kelak nasib kita di hari tua nanti, ketika kota-kota kita tak pernah direncanakan bagi kaum lansia?

Kota harus memberikan kemudahan dan kebutuhan fasilitas warga lansia sebagai bukti bakti dan penghormatan kepada warga senior kota. Badan Kesehatan Dunia mendorong pemberian layanan khusus dan posisi terhormat kepada lansia sebagai warga kota—seperti insentif pajak, kartu diskon, tiket transportasi seumur hidup, layanan kesehatan gratis—sebagai salah satu syarat kota santun lansia.

Kedekatan fasilitas publik harus jadi perhatian utama di kota santun lansia. Misalnya, ada bank dan kantor pos untuk pengurusan gaji pensiunan dan klaim asuransi. Juga sistem pelayanan kesehatan terpadu dan mudah dijangkau para lansia untuk sekadar mengecek kesehatan, berobat jalan, hingga rawat inap.

Tempat ibadah sebagai tempat berinteraksi mengisi kehidupan religius, kegiatan pengajian, kebaktian, atau ibadah lainnya perlu disediakan. Begitupun taman- taman terapi yang merupakan surga relaksasi, refleksi, dan pemulihan kesehatan lansia.

Pengembangan kota santun lansia merupakan pembangkit yang akan mengarahkan pertumbuhan ekonomi yang lebih ramah lansia dan lingkungan. Kota yang santun lansia akan menjaga keselarasan dengan alam sekitar sekaligus memberikan harapan kualitas hidup yang lebih baik bagi lansia di masa depan.

NIRWONO JOGA Koordinator Gerakan Indonesia MengHijau

(Kompas cetak, 29 Mei 2013)
Powered by Telkomsel BlackBerry®

Guru Bukan Profesi Sampah (Rumongso)

Rumongso

Mahkamah Konstitusi menolak permohonan Uji Materi UU Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen, yaitu terkait Pasal 9 yang berbunyi, "Kualifikasi akademik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 diperoleh melalui pendidikan tinggi program sarjana atau program diploma empat" (Kompas, 30/3).

Pemohon memberikan alasan bahwa pasal itu memberikan ketidakpastian pada profesi guru yang bersifat khusus bagi pemegang gelar sarjana pendidikan yang dihasilkan oleh Lembaga Pendidikan Tenaga Kependidikan (LPTK). Dengan keputusan MK ini, sarjana apa pun saat ini bisa jadi seorang guru. Tragis.

Ingatan saya melayang jauh saat saya menempuh pendidikan calon guru di Sekolah Pendidikan Guru (SPG) yang sudah dibubarkan dan kuliah di Institut Keguruan Ilmu Pendidikan (IKIP) yang sekarang berubah menjadi universitas. Bersekolah di SPG memerlukan ketabahan hati yang luar biasa. Profesi guru yang saat itu masih dipandang rendah menjadikan kami, murid-murid SPG, menerima pelecehan. Jika berpapasan dengan anak SMA, mereka memberi salam, "Selamat pagi Pak Guru!" dengan nada mengejek. Kami mendapat sebutan sebagai Oemar Bakri, sosok guru yang digambarkan dalam lagu oleh Iwan Fals.

Anak laki-laki susah mendapatkan pacar karena tidak ada yang sudi berpacaran dengan calon guru. Namun, kami menjalani dengan tabah dan senang hati sebab profesi guru profesi luhur.

Di IKIP juga demikian. Mahasiswa IKIP ibarat golongan mahasiswa kelas III setelah mahasiswa universitas umum dan universitas swasta favorit. Kami menutupi identitas sebagai mahasiswa IKIP. Di tempat kuliah kerja nyata, mahasiswa IKIP tidak menerima sambutan yang layak dari pejabat pemerintah. Berbeda dengan mahasiswa dari universitas umum yang berasal dari kalangan kaya. Gelar Doktorandus (Drs) diplesetkan menjadi Doktorambles. Yang sekolah di SPG umumnya anak-anak keluarga miskin.

Masuk IKIP atau Fakultas Keguruan Ilmu Pendidikan (FKIP) umumnya pilihan kedua atau ketiga daripada tidak kuliah. Tamat dari SPG atau IKIP jarang ada yang membaktikan ilmunya sebagai guru. Mereka memilih pekerjaan lain selain guru sebab lebih menjanjikan dari segi ekonomi.

Tamat dari SPG/IKIP, saya menggigit perasaan sendiri. Gaji yang saya terima sangat jauh dari gaji buruh pabrik. Untuk menutupi kekurangan, saya terpaksa menerima mengajar les privat. Berangkat kerja jalan kaki. Agar tidak berkeringat saat sampai sekolah, kami memakai kaus oblong. Seragam guru model baju safari menjadi bahan candaan atau olok-olok para pelawak.

Dalam film sosok guru digambarkan sebagai sosok bijak bestari, tetapi juga konyol dan sasaran jahil anak-anak orang kaya. Saudagar yang kaya raya mengancam anak gadisnya yang tidak menurut orangtua untuk menikah dengan sesama anak saudagar akan dinikahkan dengan guru. Penggambaran yang sangat stereotip nestapa itulah yang menyebabkan siapa pun tidak akan memilih profesi guru.

Era baru guru

Kini keadaan sudah berubah. Profesi guru menjadi rebutan. FKIP menjadi rebutan calon mahasiswa. Untuk program S-1 PGSD/PAUD, rasio mahasiswa yang diterima dengan jumlah pendaftar mencapai 1:140. Mahasiswa FKIP berani berjalan tegak. Kegiatan kampus yang diprakarsai mahasiswa FKIP berjalan penuh gairah. Mereka berani menunjukkan jati diri sebagai calon guru pendidik tunas-tunas muda. Bahkan, mahasiswa S-1 PGSD/PAUD berani tampil beda dengan seragam kuliah baju putih celana hitam dengan sepatu pantofel hitam. Saya trenyuh dan bangga melihat mereka. Saya yakin dunia pendidikan akan lebih baik lagi sebab dijalankan oleh mereka yang benar-benar memilih profesi guru sejak dini.

Mengapa? Sebab profesi ini menjanjikan secara ekonomi. Pemberian tunjangan profesi bagi guru yang sudah bersertifikasi menyebabkan banyak guru mampu membeli mobil, memiliki rumah layak, menyekolahkan anak hingga pendidikan tinggi, dan berkiprah dalam kehidupan sosial kemasyarakatan. Guru jadi profesi idaman. Anak FKIP unjuk gigi dengan membuat kaus atau jaket yang menandakan bahwa mereka calon guru.

Saat tahu MK menolak gugatan, hati saya marah sebab siapa pun kini bisa jadi guru asalkan dia berpendidikan sarjana atau diploma empat dari jurusan apa pun, fakultas apa pun. Saya bergumam, guru sudah jadi profesi sampah.

Mereka yang tak memperoleh pekerjaan sesuai bidang pendidikannya menyerbu profesi ini dan menggusur para sarjana pendidikan yang sedari awal sudah mewakafkan diri sebagai guru. Di beberapa sekolah, latar belakang pendidikan tenaga pendidik kini berbagai macam. Ada yang SE, SH, ST, SP. Mereka jadi guru karena kepepet tidak diterima bekerja sesuai dengan bidang yang ditempuh saat kuliah.

Memang Pasal 9 UU No 14/2005 tentang Guru dan Dosen tak bertentangan dengan UUD 1945. Namun, andaikata hakim MK menanyakan kepada sarjana non-kependidikan mengapa mereka bekerja sebagai guru yang semestinya dikhususkan kepada sarjana pendidikan, jawabannya kemungkinan adalah kepepet, ketimbang demi kemajuan dunia pendidikan itu sendiri. Akibat kondisi ini, lulusan FKIP akan terdesak dan dirugikan. Mereka kuliah di FKIP/LPTK karena niat sejak awal ingin menjadi guru, bekerja sesuai bidang keilmuannya.

Saya ingin menggugat, bolehkah profesi khusus seperti dokter, pengacara, hakim, dan notaris diisi lulusan pendidikan tinggi apa pun? Jika boleh, maka saya orang pertama yang akan menjadi hakim supaya wajah hukum negeri ini tidak buram. Saya akan menjadi pengacara agar bisa memberikan bantuan hukum gratis di pengadilan. Pasti saya akan diprotes lulusan Fakultas Hukum sebab ladang pekerjaannya saya rebut.

Profesi guru itu juga profesi khusus sehingga pendidikan yang diperolehnya pun berisi materi pembelajaran yang khusus pula. Saat saya sekolah di SPG, pelajaran yang saya terima berbeda jauh dengan pelajaran anak SMA. Ada pelajaran Psikologi Pendidikan, Psikologi Anak, Ilmu Pendidikan, Materi dan Metode Penilaian untuk semua pelajaran umum di SD, Simulasi Mengajar, Kurikulum, dan lain-lain sehingga saat tamat SPG dan mengajar saya tak mengalami kendala dalam mengajar dan menghadapi anak didik.

Banyak ilmu yang diberikan saat kuliah di FKIP dan digunakan sebagai bekal untuk mendidik anak yang berasal dari berbagai latar belakang sosial ekonomi.

Palu hakim MK memang sudah diketuk dan bersifat final. Namun, sebagai sumbang saran, sudah sewajarnya sekolah-sekolah tetap menyeleksi calon guru yang akan mengajar sehingga seyogianya guru memiliki latar belakang pendidikan guru.

Rumongso Pendidik Tinggal di Sala, Jawa Tengah

(Kompas cetak, 29 Mei 2013)
Powered by Telkomsel BlackBerry®

Perjuangan Masyarakat Adat (Noer Fauzi Rachman)

Noer Fauzi Rachman

Kita akan menyaksikan babak baru perjuangan tanah-air masyarakat adat di Indonesia.

Sejak 16 Mei 2013, hutan adat bukan lagi bagian dari kawasan hutan negara yang berada di bawah penguasaan Kementerian Kehutanan, tetapi hutan adat adalah hutan yang berada dalam wilayah masyarakat hukum adat. Mahkamah Konstitusi (MK) memutuskan demikian dalam perkara Nomor 35/PUU-X/2012 berkenaan dengan gugatan Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) bersama dua anggotanya, yakni Kesatuan Masyarakat Hukum Adat Kenegerian Kuntu dan Kesatuan Masyarakat Hukum Adat Kasepuhan Cisitu.

Mereka memohon pengujian Pasal 1 Ayat (6)—dan beberapa pasal lain—dalam UU Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan. Dengan demikian, MK telah menjalankan tugas dalam menanggapi secara positif perjuangan tanah-air masyarakat adat.

Kita belum sanggup memberi tempat memadai pada pesan utama Mr Muhammad Yamin untuk menjaga "... kesanggupan dan kecakapan bangsa Indonesia dalam mengurus tata negara dan hak atas tanah sudah muncul beribu-ribu tahun lalu, dapat diperhatikan pada susunan persekutuan hukum seperti 21.000 desa di Jawa, 700 nagari di Minangkabau, susunan Negeri Sembilan di Malaya, begitu pula di Borneo, di tanah Bugis, Ambon, Minahasa, dan sebagainya." Pandangan Yamin tersebut ikut menginspirasi rumusan Pasal 18 UUD 1945 sebelum diamandemen (Hedar Laujeng, 2012).

Kenyataan pahitlah yang dialami masyarakat adat Indonesia di bawah rezim Orde Baru. Negara hadir dan berpengaruh pada kehidupan rakyat di pelosok dan wilayah-wilayah pedesaan, pedalaman, dan pesisir melalui paksaan dan rekayasa sosial. Termasuk dengan menghadirkan konsesi tanah, pertambangan, perkebunan, dan kehutanan yang dikuasai perusahaan-perusahaan raksasa. Juga taman-taman nasional. Bentuk-bentuk lain yang menyertai semua itu adalah penggusuran dari wilayah hidup mereka dengan proyek-proyek permukiman kembali.

Masyarakat adat memiliki karakteristik khusus sebagai empunya wilayah adat dengan beragam karakteristiknya. Mulai dari yang menempati wilayah pedesaan, pedalaman, hingga pesisir; baik di dataran rendah maupun dataran tinggi; dalam lanskap hutan belantara hingga padang rumput savana.

Keragaman wilayah itu juga memengaruhi penghidupan mereka, mulai dari berburu dan mengumpulkan hasil hutan, bertani dan berladang, hingga bertani menetap dengan mengerjakan sawah. Tidak adanya pengakuan hak atas wilayah adat ini merupakan masalah kronis meskipun sejak masa Reformasi sudah ada penegasan hak itu dalam UUD 1945 Pasal 18b Ayat (2).

Perjuangan keadilan

AMAN mengartikulasikan secara jelas tuntutan tersebut dalam motonya terdahulu, "Kalau negara tidak mengakui kami, kami pun tidak mengakui negara".

Tidaklah sulit untuk memahami, perjuangan yang diusung AMAN merupakan perjuangan keadilan sosial. Perjuangan keadilan sosial ini bukan cuma satu wajah, kita perlu pula mempertimbangkan bentuk-bentuk perjuangan sehubungan perbedaan kelas di dalam masyarakat adat.

Di AMAN saat ini ada perjuangan kelompok-kelompok perempuan adat untuk mengedepankan keadilan jender. Mereka percaya perjuangan keadilan sosial masyarakat adat itu berwajah aneka ragam dan berjenis kelamin dan tidak hanya wajah laki-laki. Mama Aleta Baum dari wilayah Molo, Kabupaten Timur Tengah Selatan, NTT—yang baru-baru ini meraih penghargaan Goldman Environmental Prize 2013—telah menunjukkan jalan bagaimana perempuan pemimpin adat secara konkret memperjuangan keadilan sosial itu.

Selain mengusung perjuangan untuk keadilan sosial, AMAN juga mengusung perjuangan kewarganegaraan masyarakat adat dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia, yakni pengakuan nyata atas eksistensi masyarakat adat dan hak atas wilayah adat akan membuatnya dapat menikmati hak-hak lain.

Sesungguhnya, tantangan terbesar saat ini adalah meralat kebijakan-kebijakan penyangkalan atas eksistensi masyarakat adat beserta hak atas wilayah adatnya. MK telah memulai ralat itu. Agenda berikutnya adalah bagaimana badan-badan pemerintah pusat dan DPR melanjutkan keputusan MK itu. Adakah kesediaan kita, terutama para pejabat pemerintah dan DPR/DPRD, untuk menyadari kekeliruan dan mengaudit kebijakan dan praktik kelembagaan yang keliru itu?

Syarat keberhasilan dari ralat tersebut adalah kesediaan penyelenggara pemerintahan untuk secara penuh membuat ruang partisipasi sekaligus membuat proses belajar dalam meralat kebijakan penyangkalan menjadi kebijakan pengakuan dan pemulihan yang memadai. Dalam konteks ini, akankah Presiden Susilo Bambang Yudhoyono membuat pernyataan permintaan maaf sebagaimana diharapkan Abdon Nababan selaku Sekretaris Jenderal AMAN?

Noer Fauzi Rachman Direktur Sajogyo Institute; Dewan Pakar Konsorsium Pembaruan Agraria

(Kompas cetak, 29 Mei 2013)
Powered by Telkomsel BlackBerry®

Rupiah (A Tony Prasetiantono)

A Tony Prasetiantono

Rupiah beberapa hari ini dalam posisi tertekan hingga menembus kurs tengah Rp 9.800-an per dollar Amerika Serikat. Timbul kekhawatiran, jika tidak dikelola dengan baik, rupiah akan terus terkulai menembus batas psikologis Rp 10.000 per dollar AS.

Bila batas tersebut terlampaui, bisa timbul situasi tidak terkontrol: rupiah melemah semakin dalam. Faktor apa saja yang menyebabkan rupiah melemah?

Faktor eksternal

Pertama, dari faktor eksternal, pelemahan rupiah, atau dari sisi lain penguatan dollar AS, antara lain dipicu kebijakan Bank Sentral Eropa (European Central Bank/ECB) yang memangkas suku bunga acuannya ke level terendah 0,5 persen yang mulai efektif sejak 8 Mei 2013. Keberanian Presiden ECB Mario Draghi untuk menurunkan suku bunga nyaris nol persen tersebut terutama disebabkan inflasi zona euro yang turun hingga 1,2 persen (The New York Times, 2/5).

Rendahnya inflasi dijadikan momentum untuk menurunkan suku bunga agar bisa mendorong perekonomian. Saat ini, zona euro masih mengalami kontraksi berupa pertumbuhan ekonomi negatif 0,1 persen dengan pengangguran 12,1 persen. Negara yang paling sakit, Yunani, penganggurannya 27 persen. Spanyol juga parah, penganggurannya hampir sama tingginya, yakni 26,7 persen. Di zona euro, Jerman yang perekonomiannya terbaik di kawasan ini juga mengalami kontraksi ekonomi 0,3 persen; Perancis berkontraksi 0,4 persen; Italia minus 2,3 persen; dan yang paling parah Yunani dengan minus 5,3 persen. Praktis hampir semua negara pengguna euro pertumbuhan ekonominya negatif (The Economist, 25-31/5).

Ide kontroversial dikemukakan Mario Draghi. Dia ingin lebih agresif mendorong perekonomian dengan menerapkan "suku bunga negatif", yakni bank-bank komersial harus membayar bunga kepada ECB jika mereka menempatkan dananya di bank sentral itu. Kebijakan ini dimaksudkan untuk mendorong bank-bank komersial agar lebih giat menyalurkan dananya ke sektor riil daripada sekadar "memarkir" dananya di bank sentral.

Draghi ingin memacu ekspansi kredit oleh bank komersial sehingga mendorong pertumbuhan ekonomi. Ide kontroversial ini tentu saja memicu perdebatan. Para ekonom penentangnya berargumentasi, rezim kebijakan moneter longgar sudah mencapai batas akhirnya dengan suku bunga 0,5 persen. Kebijakan suku bunga negatif tidaklah relevan dan kontraproduktif (The Wall Street Journal, 27/5).

Rendahnya suku bunga di Eropa inilah yang memicu penguatan kurs dollar AS terhadap semua mata uang di dunia, termasuk mata uang Asia. Di antara negara-negara Asia, rupiah mengalami depresiasi paling tajam, di luar Jepang. Kurs yen menurun dari posisi 80 yen per dollar AS pada setahun lalu menjadi 104 yen per dollar AS saat ini.

Faktor internal

Kedua, dari faktor internal, harus diakui Bank Indonesia termasuk terlambat menaikkan suku bunga acuan BI Rate, yang kini dipertahankan 5,75 persen. Saya termasuk yang mendukung BI agar tetap menahan BI Rate 5,75 persen. Namun, dengan catatan, bila respons pasar negatif, kebijakan ini harus segera dievaluasi. Bagaimana dampak suku bunga acuan ini terhadap volatilitas rupiah dan harga obligasi pemerintah?

Pada awalnya, pasar uang tidak terlalu merespons kebijakan BI Rate tetap 5,75 persen. Itu terjadi hingga pertengahan Mei 2013. Namun, setelah itu, rupiah berangsur-angsur terkulai dan berpotensi menembus Rp 10.000 per dollar AS. Sementara itu, di sisi lain, Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) terus mengalami rally hingga menembus batas psikologis baru 5.200. Adapun di industri perbankan, penghimpunan dana pihak ketiga (DPK) mulai seret sejak awal 2013.

Dari kombinasi antara pelemahan rupiah, kenaikan harga saham, dan perlambatan DPK, bisa ditarik benang merah, para pemilik dana mulai melakukan migrasi dananya dari sektor perbankan ke sektor pasar modal, serta mulai "menubruk" valuta asing. Ini merupakan tanda-tanda yang kian jelas bahwa rezim kebijakan suku bunga rendah yang dilakukan BI sudah mencapai limitnya.

Ketiga, keseimbangan eksternal kita masih terus tertekan. Sepanjang tahun 2012, kita mengalami defisit perdagangan 1,6 miliar dollar AS. Tren ini masih berlanjut pada triwulan I-2013. Meskipun mulai membukukan surplus perdagangan pada Maret 2013, dalam tiga bulan pertama 2013 tetap terjadi defisit perdagangan tipis 200 juta dollar AS. Defisit ini menyebabkan cadangan devisa yang pernah mencapai rekor 124,7 miliar dollar AS pada Juli 2011 kini turun menjadi 107,3 miliar dollar AS per April 2013 (Kompas, 28/5). Penurunan cadangan devisa ini menyebabkan kemampuan BI untuk mengawal kurs rupiah juga mengendur.

Menurunnya kepercayaan

Keempat, terjadi penurunan kepercayaan kepada pemerintah. Kegagalan pemerintah untuk menyehatkan APBN melalui pemangkasan subsidi energi (BBM dan listrik) menimbulkan persepsi negatif bagi para pelaku ekonomi. Momentum pemerintah menaikkan harga BBM seharusnya terjadi saat inflasi rendah, misalnya inflasi 4,3 persen pada tahun lalu. Kini, inflasi sudah melejit ke 5,7 persen. Jika harga BBM dinaikkan, inflasi akan menjadi 7,2 persen (versi pemerintah) atau bahkan 7,76 persen (versi BI).

Upaya pemerintah untuk membahas dengan DPR skema kenaikan harga BBM yang disertai dengan pemberian bantuan tunai langsung kepada masyarakat malah menimbulkan kesan pemerintah ingin "berbagi risiko" dengan parlemen. Hal tersebut menambah persepsi negatif bahwa pemerintah tidak memiliki karakter kepemimpinan yang kuat. Ujung-ujungnya, para pemilik dana pun kemudian memindah portofolionya dari memegang rupiah ke valas, terutama dollar AS.

Dari sejumlah analisis tersebut, yang bisa dilakukan adalah menaikkan suku bunga acuan. Rezim suku bunga rendah sulit diteruskan. Keinginan BI untuk terus menurunkan suku bunga—meskipun merupakan ide yang baik untuk mendorong ekspansi kredit perbankan—harus disadari tidak realistis lagi. Semua ada batasnya. Bukan cuma di Indonesia, bahkan di zona euro pun penurunan suku bunga sudah mulai menyentuh level terbawah sehingga tidak bisa ditabrak lebih jauh.

Meskipun sebenarnya kita juga memerlukan rupiah yang melemah untuk membantu daya saing produk-produk ekspor kita, rupiah yang melemah terlalu cepat juga berbahaya. Seperti dikatakan Joseph Stiglitz (2002), sebuah mata uang harus dijaga ekuilibriumnya sehingga memenuhi kebutuhan kredibilitas (kurs menguat), tetapi juga tetap dapat membantu daya saing ekspor (kurs menguat).

Saya memperkirakan, kurs rupiah mestinya dijaga pada level Rp 9.700-Rp 9.800 per dollar AS untuk memenuhi dua kebutuhan ini. Jika saat ini kurs rupiah sudah menabrak Rp 9.800 dan mulai bergerak ke Rp 10.000, dua hal utama bisa dilakukan BI: (1) intervensi dengan melepas cadangan devisanya secara bertahap dan berhati-hati; (2) menaikkan BI Rate secara bertahap. Pada tahap ini, BI Rate dinaikkan menjadi 6 persen. Rapat Dewan Gubernur BI berikutnya baru akan dilakukan awal atau pekan kedua Juni 2013. Namun, apabila dirasakan mendesak, mestinya rapat bisa dimajukan dan disesuaikan dengan urgensi. Repotnya, jika rapat dimajukan, pasar bisa menangkapnya sebagai sentimen negatif sehingga memicu kepanikan di pasar uang.

Karena itu, semoga kebijakan intervensi BI sudah cukup memadai untuk sedikit meredam pelemahan rupiah sambil menunggu momentum rapat untuk menaikkan BI Rate. Apa boleh buat, rezim suku bunga rendah untuk sementara ini belum bisa dilanjutkan. Semoga rehatnya tidak terlalu lama.

A Tony Prasetiantono Kepala Pusat Studi Ekonomi dan Kebijakan Publik UGM

(Kompas cetak, 29 Mei 2013)
Powered by Telkomsel BlackBerry®

Selasa, 28 Mei 2013

SBY, DPR, MK, dan Biaya Politik (EFFENDI GAZALI)

EFFENDI GAZALI

Berapa biaya politik untuk menjadi calon legislator? Jawaban umum: antara Rp 1 miliar dan Rp 1,5 miliar. Banyak yang menyebutkan di atas batas atas itu. Hanya beberapa yang bilang ratusan juta rupiah.

Bagaimana dengan biaya poli- tik pilkada? Di Jawa Timur, menurut Menteri Dalam Negeri, dana total seluruh kandidat mencapai Rp 1 triliun. Biaya politik pilpres? Pasti tak ada yang percaya pada angka laporan tim sukses. Jika untuk satu provinsi habis Rp 1 triliun, berapa jumlah untuk 33 provinsi?

Tragis

Dengan ancar-ancar itu, calon pejabat publik umumnya akan berutang kepada sejumlah cukong. Lanjutannya, politik balas budi. Bisa berbentuk kemudahan izin, pemenangan tender, sampai pembiaran pelanggaran terjadi. Pun uang dari kantong sendiri, tetap ada usaha balik modal.

Secara paralel, parpol pun terpaksa menjalankan modus yang mirip, baik untuk biaya operasi- onal harian, kongres, ataupun strategi pemenangan di aneka tingkat. Selama ini modus utama- nya adalah permainan terpadu di Badan Anggaran DPR, fungsi anggaran DPRD, kementerian, dan lembaga: diberi dalam rangka koalisi kabinet mutualistis. Bisa saja pengusaha menggelontorkan dana pada beberapa kongres dan kegiatan parpol. Lazimnya mereka datang dengan pamrih kedekatan kekuasaan.

Walau tak seluruh parpol persis begitu, kisah tragis terdengar berputar-putar di lingkaran setan biaya politik ini. Sebutlah kisah kuota daging sapi, energi cahaya, kompleks olahraga, anggaran daerah tertinggal, laboratorium/ perpustakaan, kitab suci, sampai tanah makam. Yang dikambinghitamkan oknum atau makelar.

Sementara parpol menolak terlibat secara institusional (bisa dituntut dibubarkan), semua pihak berteriak soal biaya politik. Anggota DPR, peneliti, wartawan, hakim konstitusi, menteri, sampai Presiden SBY ikut berteriak. Di lapangan belum terli- hat langkah sistematis menyederhanakan biaya politik! Padahal, aksilah yang dibutuhkan, bukan sekadar berteriak. Ini sejalan dengan gagasan Saldi Isra dalam Diskusi Lingkar Muda Indonesia, Rabu (15/5), "Kepemimpinan yang Berkeutamaan": kita perlu pendekatan baru memperbaiki partai dan sistem politik.

Salah satu gagasan penulis: mendorong SBY membuat suatu potensi warisan kepemimpinannya. Kita tahu Menkominfo di bawah SBY sudah mengiklankan: "Ayo kita sambut era TV Digital!" di mana-mana. Memang tak terlalu jelas siapa "kita" yang diajak terlibat. Apakah lagi-lagi para pemodal untuk saling bertender demi sekadar industri hiburan?

Di banyak negara maju setiap sistem televisi diwajibkan membuka tiga saluran: P (Pemerinta- han), M (Masyarakat), E (Eduka- si). Jika disesuaikan dengan kebutuhan kita terkait penyederhanaan biaya politik, tiga saluran ini layak didahulukan. Berbagai infrastruktur digitalnya dipermu- dah. Rakyat pun bisa membuat kotak penerima dengan aneka teknologi dan pemasok.

Saluran P di setiap provinsi enam bulan sebelum pemilu dibagi rata jam tayangnya untuk 12 parpol dan calon perseorangan DPD. Setiap parpol bisa mengiklankan calon legislator, capres potensial, dan program unggulan. Diasumsikan biaya dapat dipangkas di atas 50 persen beban biaya politik.

Sebagai pengimbang, saluran M dibuka seluas-luasnya untuk akademisi, LSM, KPU, KPI, Dewan Pers, dan lain-lain guna deli- berasi gagasan baru beserta pendidikan pemilih. Misalnya, di saluran inilah terobosan konvensi parpol bisa didiskusikan, didukung, dan ditumbuhkan kepercayaan publiknya. Begitu pula aneka advokasi soal rekam jejak caleg dan pengusulan capres alternatif. Termasuk juga soal konstitusi dan opini publik yang riil.

Terobosan DPR dan MK

Kabar lumayan baik yang relevan datang dari DPR. Komisi/Panja yang menangani revisi UU terkait pilkada sedang serius menuju pilkada serentak. Tinggal formulanya yang masih bisa dipertajam. Ada 279 kabupaten/ kota yang kepala daerahnya selesai tahun 2014; ini bisa melaksanakan pilkada serentak 2015. Adapun 244 kepala daerah yang selesai 2016 berpilkada serentak di 2018. Jadi, bisa diangkat penjabat 1-2 tahun.

Formula alternatif: menggunakan periode 2,5 tahun atau se- tengah masa pemilu. Jadi, pada 2016 akhir akan terjadi pilkada serentak pertama (satu atau dua kotak). Lalu, pilkada 2019 bersamaan dengan pemilu serentak DPR/DPRD, DPD, dan presiden (tujuh kotak). Pemilu serentak DPR/DPRD, DPD, dan presiden seharusnya sudah bisa dilakukan pada 2014. Banyak pihak di DPR menyetujuinya. Hanya segelintir elite yang menekan proses ini demi mempertahankan, bahkan memperbesar, ambang pencapresan. Di sini dibutuhkan terobosan MK!

Seluruh risalah perubahan UUD di bidang pemilu dengan terang menyebutkan "pemilu serentak", bahkan spesifik "pemilu lima kotak". Pelaku sejarah peru- bahan UUD harus mengakui yang sedang terjadi saat ini (pemilu DPR/D dan DPD mendahului pilpres) berlawanan dengan kehendak asli UUD.

Tambahan lagi, menjelang pe- rubahan UUD dulu, seluruh fraksi menyepakati harus memperkuat pemerintahan presidensial. Karena itu, pilpres harus menjadi pemilu mayor dan pemilu lainnya adalah minor.

Asumsi UU No 42/2008 tentang pilpres, pemerintahan presidensial yang stabil membutuhkan dukungan kuat di DPR telah gugur secara empiris dan teoretis/legalistis. Pemerintahan saat ini amat kuat dengan sekitar 75 persen dukungan Setgab di DPR. Namun, SBY sering mengeluh soal perilaku menterinya dan Setgab sering bercerai saat mengambil putusan substansial di DPR.

Teoretis legalistis, koalisi dalam pemerintahan presidensial dapat dengan mudah dibangun sebelum atau sesudah pemilu DPR dan presiden serentak! Untuk memprediksi aneka realita koalisi parpol sebelum pemilu serentak, telah tersedia peranti survei ilmiah yang akurat.

Yang tak bisa disediakan pemi- lu DPR dan presiden serentak adalah politik transaksional. Karena setiap parpol peserta pemilu bisa mengajukan tokoh baik untuk jadi capres, maka punahlah harapan parpol yang berniat menjual sekian persen suara legislatifnya untuk memenuhi ambang pencapresan. Sekaligus hancur pula harapan mereka menyandera presiden terpilih dengan meminta-minta menteri: biasanya diisi elite partai yang belum ketahuan kebolehannya.

Terdapat usul menggunakan dana negara dalam mendukung biaya politik. Beberapa negara melakukannya dengan versi tertentu. Untuk Indonesia, secara terukur kita perlu mencobanya. Tak perlu minta tambahan dari APBN. Dalam perhitungan awal beberapa peneliti dengan Komisaris KPU Ferry Kurnia: jika pemilu DPR/DPRD, DPD, presiden dilaksanakan serentak, kita bisa hemat Rp 8 triliun-Rp 10 triliun. Jika pilkada diserentakkan, bisa menghemat Rp 20 triliun.

Beberapa kolega menggagas dukungan negara untuk biaya politik seluruh partai dapat dicoba pada angka Rp 5 triliun. Jadi, tanpa mengganggu APBN, parpol didukung berkonsentrasi untuk bersih dan transparan. Tentu masih ada biaya politik lain yang dapat diperoleh dari iuran dan simpatisan dalam jumlah terbatas. Ini saat memperbaiki.

Effendi Gazali Peneliti Komunikasi Politik

(Kompas cetak, 28 Mei 2013)
Powered by Telkomsel BlackBerry®

Powered By Blogger