Cari Blog Ini

Bidvertiser

Kamis, 27 November 2014

BUMN dan ”Jokowinomics” (Fachry Ali)

DALAM tulisan sebelumnya, "Jokowinomics dan BI-OJK" (Kompas, 14/10/ 2014), saya sampaikan bahwa karena kebutuhan memenuhi janji-janji "ideal"-nya, Jokowinomics berkecenderungan menjadi program belanja yang masif dan ekspansif (massive and expansive spending program).
Pandangan ini sejalan dengan yang dirumuskan ekonom Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan, Arif Budimanta. Dalam tulisannya, "The Concept of Jokowinomics" (The Jakarta Post, 14/10/2014), Budimanta menekankan bahwa—di samping penekanan terhadap kedaulatan pangan dan modernisasi energi—Jokowinomics adalah pembangunan yang dimulai dari wilayah terlemah dalam konteks geografis ataupun sumber daya manusianya untuk menguatkan akses ekonomi dan meningkatkan harapan bagi rakyat. Ringkasnya, building from the periphery (membangun dari pinggiran). Ini sejalan dengan pencandraan Budiman Sudjatmiko tentang Jokowinomics yang memasukkan pembangunan desa sebagai bagian penting di dalamnya (Kompas, 21/10/2014).

Inilah yang menyebabkan Jokowinomics niscaya ditandai program pembelanjaan atau pengeluaran besar-besaran dan ekspansif. Bukankah membangun wilayah pinggiran hampir identik memulai sesuatu dari titik nol? Bukankah membangkitkan harapan kalangan terlemah (terutama karena lebih besar dalam jumlah) memerlukan energi lebih besar daripada yang relatif sudah kuat?

Jalan politik-ekonomi
Dari segi teknikal, ini problematik karena bahkan ketika subsidi bahan bakar minyak telah direduksi sedemikian rupa, kendala fiskal masih berpotensi kuat memengaruhi terjaminnya percepatan terlaksananya program-program raksasa itu. Namun, pada saat yang sama, pelaksanaan Jokowinomics ini secara struktural niscaya terkendala oleh berkinerjanya "sistem ekonomi pasar" di bawah kontrol kaum oligark kapitalis. Gabungan "ekonomi pasar" dan kontrol kuat kaum oligark kapitalis inilah yang menjadi setting struktural pelaksanaan Jokowinomics dewasa ini. Adakah jalan keluar dari dilema ini?

Salah satu pemecahannya adalah dengan menempuh jalan politik-ekonomi, yaitu memanfaatkan kewenangan politik-konstitusional negara atas sumber daya dan aktor-aktor ekonomi yang berada di bawah kontrolnya. Ini berarti Jokowinomics mengejawantahkan diri menjadi constitutional-based economics (ekonomi didasarkan konstitusi). Frasa ini pernah diperkenalkan Prof Jimly Asshiddiqie dalam Konstitusi Ekonomi (2010). Sambil menunjuk isi Pasal 33 dan perubahan judul Bab XIV hasil amandemen dari "Kesejahteraan Sosial" menjadi "Perekonomian Nasional dan Kesejahteraan Sosial" dalam Konstitusi kita, Prof Jimly menyatakan, "...tak dapat disangkal lagi bahwa UUD 1945 adalah Konstitusi Ekonomi."

Akan tetapi, saya lebih melihat tema constitutional-based economics pada antropo-sosiologis dan struktural, yaitu mengacu kepada embedded economy Karl Polanyi dalam The Great Transformation: The Political and Economic Origins of Our Time (1944). Di sini Polanyi menyatakan bahwa market economy, yaitu aktivitas produksi dan sistem pertukaran bertujuan untuk keuntungan yang (kemudian) memengaruhi bentuk kelembagaan dan tata hukum masyarakat, bersifat artifisial, dan politically created (diciptakan secara politik). Dalam konteks sejarah, bahkan ketika The Wealth of Nations (karya Adam Smith, yang menjadi acuan adanya gejala ekonomi pasar) terbit pada 1776, sistem ekonomi pasar belum berkembang dengan sempurna. Satu abad kemudian, saat terjadi Bourgeois Revolution dan Industrial Revolution, yakni ketika kaum borjuis dan industrialis mampu memengaruhi kebijakan negara, barulah market economy dikukuhkan secara politik, demi keuntungan kelas-kelas penguasa ekonomi ini.

Yang dimaksud dengan embedded economy adalah bahwa sistem ekonomi hanya salah satu "anggota" dari sistem-sistem sosial-budaya dan politik lainnya di dalam organisasi sosial. Sistem ekonomi, dengan demikian, tidak berdiri sendiri dan tidak memengaruhi wujud dan kinerja sistem-sistem lainnya. Dalam kalimat Polanyi, konsep ini berbunyi: "The economic system is merely function of social organization" (sistem ekonomi hanyalah fungsi organisasi sosial). Sebagai bagian fungsi organisasi sosial, pasar bukan menjadi persemaian semangat individualisme, melainkan bertugas menjalin hubungan sosial. Mencegah penyalahgunaan fungsi ekonomi, disiplin pasar bukan saja harus ditegakkan lebih ketat (stricter), melainkan juga dimurnikan (purified) untuk memperoleh pertobatan (expiation) ketika penyelewengan dan pertumpahan darah terjadi di dalamnya. Jadi, kinerja pasar (dalam arti aktivitas ekonomi) dijaga demi keutuhan organisasi sosial.

Saya kira, semangat embedded economy ini ditangkap perumus Pasal 33 Konstitusi kita, yaitu: (1) Perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasar atas asas kekeluargaan; (2) Cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh negara; (3) Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat. Yang terlihat di sini bukan saja gagasan bahwa kinerja sistem ekonomi tidak bisa direduksi hanya menjadi mekanisme pasar, melainkan sumber-sumber daya ekonomi strategis harus dikuasai oleh extra-market actor (aktor luar pasar): negara. Dalam arti kata lain, sumber daya ekonomi secara konstitusional diperlakukan melampaui logika material.

Di atas logika Pasal 33 inilah badan usaha milik negara (BUMN) berada. Dalam arti bahwa BUMN adalah korporatisasi kontrol negara atas kekayaan itu dan dengan demikian bertindak sebagai wakil negara dalam ekonomi. Konsekuensinya, BUMN bukan saja bagian integral embedded economy, melainkan juga proyeksi subyektif negara di dalam dunia material. Apa arti struktural penegasan pandangan ini dalam konteks "peran politik" BUMN dalam Jokowinomics?

Dalam karya mereka, "Ekonomi-Politik Oligarki dan Perorganisasian Kembali Kekuasaan di Indonesia" (Prisma, Volume 33, 2014), Richard Robison dan Vedi Hadiz menekankan, pada dasarnya perspektif ekonomi politik melihat perubahan sebagai hasil pertentangan atau persaingan berbagai kekuatan politik-ekonomi di dalam masyarakat. Dalam situasi ketika negara semakin lemah, kaum oligark kapitalis hasil reproduksi rezim Orde Baru bukan saja dengan mudah menyesuaikan diri ke dalam "sistem ekonomi pasar" pasca Presiden Soeharto, melainkan juga berhasil mengambil posisi menguntungkan dalam aneka alur produk legislasi negara. Sebagaimana telah saya ungkap sebelumnya, kaum oligark kapitalis inilah yang bermigrasi ke dalam dunia politik demi—menggunakan frasa Michele Ford dan Thomas Pepinsky dalam Prisma edisi sama—wealth defence (pertahanan kekayaan). Kontrol atas pasar dan dunia politik ini kian mempermudah mereka melancarkan the politics of wealth defence.

Maka, bahkan jauh sebelum kelahiran Jokowinomics, negara pasca Soeharto telah berhadapan dengan kaum oligark kapitalis. Haruskah negara berhadapan dengan mereka? Berdasarkan Konstitusi 1945, negara bukanlah "aktor pasar", melainkan aktor sosial-budaya dan politik serta ekonomi yang kebijakan-kebijakannya harus melampaui kepentingan-kepentingan kelompok-kelompok masyarakat.

Maka di sini berlaku apa yang disampaikan Joseph Stiglitz dalam tulisannya yang dimuat dalam Government and Markets: Toward A New Theory of Regulation (2010), tentang sifat "personalitas negara" dan impersonalitas ekonomi pasar. Yakni, ketika aktor-aktor yang berkinerja di dalam "ekonomi pasar" menghasilkan barang dan jasa tanpa asumsi socially just (adil secara sosial), kebijakan negara harus bersifat distributive justice (keadilan yang terbagi). Pada hemat saya, pada titik distributive justice inilah berada "subyektivisme" negara. Sesuai Pasal 33 Konstitusi, "subyektivisme" ini bersifat konstitusional karena tujuan keberadaan negara melampaui logika ekonomi.

"Jokowinomics" dan kontrol oligark
Gagasan-gagasan dan rencana-rencana ideal yang terkandung dalam Jokowinomics, dengan demikian, dapat dilihat sebagai refleksi "subyektivisme negara". Sebab, gagasan dan rencana tersebut menolak tunduk pada realisme struktural yang dipaksakan oleh logika ekonomi. Pertanyaannya: apakah Jokowinomics dapat terlaksana di dalam sistem ekonomi pasar di bawah kontrol kaum oligark kapitalis?

Dalam konteks etika dan moral politik, pelaksanaan Jokowinomics dimungkinkan melalui demonstrasi ketulusan dan citra pemerintahan bersih. Citra bersih mengandung daya bujuk politik besar dan merupakan kekuatan riil dalam menggerakkan dukungan dalam dan luar negeri untuk perubahan reformatif. Namun, dalam konteks teknikal, Jokowinomics punya "kaki" di dalam dunia ekonomi: BUMN.

Mengapa ini dimungkinkan? Pertama, karena dalam kalkulasi internal Kementerian BUMN yang dilakukan pada 2010, nilai kekayaan aset semua BUMN pada 2014 akan mencapai Rp 11.000 triliun, yang berarti lebih dari lima kali APBN 2014-2015. Kedua, sumber daya manusia yang direproduksikan BUMN selama ini relatif kompetitif dibandingkan dengan yang dimiliki perusahaan-perusahaan raksasa di bawah kontrol kaum oligark-kapitalis. Ketiga, walau mengalami perkembangan dan kekuatan modal yang tidak merata, jumlah keseluruhannya mencapai 140 BUMN.

Keempat, dan yang terpenting, cakupan bidang usaha BUMN meliputi sektor-sektor strategis ekonomi nasional. Ini terlihat mulai dari perminyakan, pertambangan, kelistrikan, gas, transportasi, pelabuhan, perkebunan, kimia, pupuk, kehutanan, pertanian, kelautan, perbankan, asuransi, permodalan, jasa konstruksi dan jasa penilai, kebandar-udaraan, farmasi, turisme dan kawasan berikat dan manufaktur, perikanan dan kelautan, pos dan telekomunikasi, semen, dan lain-lain. Fakta bahwa kantor-kantor pusatnya menyebar hampir di seluruh wilayah Indonesia sekaligus menunjukkan potensi jaringan bisnis raksasa.

Lepas dari julukan state-directed capitalism (kapitalisme yang dikontrol negara) sebagaimana dengan sinis dinyatakan The Economist (26 Mei 2012), dengan potensi nilai kekayaan aset Rp 11.000 triliun, sumber daya manusia yang relatif mumpuni, dan gerak bisnisnya di sektor-sektor strategis, BUMN secara teoretikal adalah pesaing kuat kaum oligark-kapitalis di Indonesia. Dengan memasukkan BUMN sebagai bagian integral Jokowinomics, di bawah Joko Widodo-Jusuf Kalla negara mempunyai kekuatan teknikal untuk memproyeksikan "subyektivisme"-nya ke dalam dunia ekonomi riil, yaitu melalui apa yang disebut Robert Wade (1990) governing the market. Sebuah program dan metode negara-negara Asia Timur "melawan" mekanisme pasar dengan mengelola pasar untuk melancarkan industrialisasi.

Dilihat dari konteks ini, BUMN bahkan secara konseptual menjadi barisan terdepan Jokowinomics.

Fachry Ali
Salah Satu Pendiri Lembaga Studi dan Pengembangan Etika Usaha (LSPEU) Indonesia;
Ketua Komite Kebijakan Publik Kementerian BUMN (2006-2011)

Sumber: http://print.kompas.com/KOMPAS_ART0000000000000000010292234
Powered by Telkomsel BlackBerry®

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Powered By Blogger