Cari Blog Ini

Bidvertiser

Selasa, 30 September 2014

Tujuan Universitas (Daoed JOESOEF)

Pikiran memindahkan pendidikan tinggi dari Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan ke Kementerian Riset dan Teknologi adalah demi terwujudnya integrasi yang lebih baik antara fungsi keilmuan pembelajaran universiter dengan riset dan teknologi industrial.
Di Indonesia sebenarnya sudah ada beberapa lembaga ilmiah yang menangani riset yang diharapkan itu atau membuhul kontrak kerja dengan komunitas bisnis, yaitu Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT), atau lembaga penelitian lain. Bukankah di lembaga-lembaga tersebut ada "guru besar riset" yang membuat riset tidak dalam rangka perkuliahan (pendidikan), tetapi demi pembangunan dunia bisnis dan industri.

Kalau bersamaan dengan hal itu, sesuai dengan Tri Dharma Perguruan Tinggi dosen dituntut menjadi ujung tombak di bidang riset, tentu bisa saja tanpa harus memindahkannya ke jajaran Kemristek. Hal ini wajar mengingat universitas/institut merupakan kumpulan dari the relatively best brains of the country.

Riset sudah membudaya
Adapun riset, sejatinya, sudah ada sejak awal pembentukan perguruan tinggi, sudah membudaya dan bukan hal yang baru lagi. Bagi dosen, melaksanakan riset merupakan satu panggilan karena pekerjaannya lebih merupakan vokasi ketimbang profesi. Nyaris semua ilmuwan yang mendapat anugerah Nobel adalah guru besar yang memanfaatkan fasilitas di lembaganya atau menggunakan dana pribadi.

Madame Curie yang mempelajari radioaktivitas alami, misalnya, menyewa bekas gudang batubara sebagai laboratorium riset. Dia memakai sisa-sisa batubara sebagai bahan bakar dan ketika bahan ini habis, dia pakai perabotan rumahnya sendiri karena ketiadaan uang. Dia menerima penghargaan Nobel dua kali, dalam fisika (1903) dan kimia (1911), dan menjadi perempuan pertama yang dikukuhkan menjadi guru besar di Sorbonne. Mengenai dia, Einstein berkata, "she is the only person where glory had not corrupted".

Sumbangan universitas/institut dapat berupa periset yang ia cetak melalui proses pendidikannya. Periset lalu berkarya di lembaga-lembaga penelitian, di pusat-pusat penelitian di perguruan tinggi, maupun badan-badan R&D perusahaan. Mereka inilah yang melaksanakan riset fundamental maupun riset terapan yang bertujuan untuk mengembangkan ilmu, meningkatkan daya produktif dan daya saing industrial, dan kemudian dipatenkan.

Di samping ini para dosen—secara individual atau berkelompok—tetap harus turut berpartisipasi dalam riset seperti itu di lingkungan universitas/institut. Dapat dibayangkan empat jenis kegiatan riset yang relevan, yaitu (i) riset fundamental bebas, (ii) riset fundamental terarah (yang berusaha mendalami satu sektor khusus di bidang pengetahuan), (iii) riset terapan yang bertujuan mendapat solusi dari masalah praktis, dan (iv) studi terapan yang dipusatkan pada eksploitasi efektif ilmu pengetahuan demi perbaikan produksi barang dan jasa.

Kegiatan riset ini dipaparkan dalam makalah dan/atau jurnal yang beredar di komunitas ilmiah regional dan internasional. Dari isi paparan itulah komunitas ini lalu menetapkan ranking keilmuan dari universitas/institut berdasarkan kriteria yang disepakati. Ranking ini pada gilirannya menentukan gengsi akademis dari universitas/institut yang bersangkutan.

Riset seperti itu pasti memerlukan dana dan ia bukan tidak ada di Kemdikbud. Namun, penyalurannya semakin tidak memuaskan pihak-pihak yang berkepentingan dan kekisruhan inilah yang menyebabkan beberapa rektor mengusulkan agar PT dipindah saja ke Kemristek. Mengenai siapa yang menjadi pengelola dana riset ini pasti perlu pembahasan tersendiri.

Namun, dalam kesempatan ini ada baiknya dikemukakan kehadiran sebuah lembaga sejak 30 Januari 2012, berbentuk Badan Pelayanan Umum, bernama Lembaga Penyalur Dana Pendidikan (LPDP), berada di jajaran Kementerian Keuangan. Dana yang dikelola lembaga ini meliputi antara lain beasiswa dan pendanaan riset. Sampai sekarang tidak ada keluhan mengenai kinerjanya, dana yang dikelola diaudit dengan baik, tidak melakukan riset atas nama sendiri, semata-mata melayani kebutuhan dana dari Kemdikbud, Kementerian Agama, dan individu untuk membiayai kegiatan-kegiatan yang telah disepakati bersama sebelumnya.

Apabila masalah pendanaan riset sudah terjawab, ada masalah lain yang membayangi kegiatan riset oleh universitas/institut, yaitu akibat sampingan yang bisa merusak holisme pemikiran universiter. Akibat sampingan ini justru timbul apabila riset dilakukan sebagaimana seharusnya— correct, terarah, dan dengan penuh tanggung jawab. Maka kemungkinan ini perlu direnungi bersamaan dengan pengambilan keputusan riset agar jauh-jauh hari sudah disiapkan cara menanggulangi konsekuensi yang tidak dikehendaki itu.

Pembagian radikal
Bayangkan! Tiga dari keempat jenis riset tersebut mengakibatkan lahirnya suatu pembagian radikal dalam pengetahuan, suatu kompartementalisasi ketat, suatu superspesialisasi bidang riset/pengetahuan. Berarti, spesialisasi menjadi semakin sempit dan tajam, para peneliti semakin dikondisikan oleh logika intern dari sektor-sektor yang digarap. Setiap orang sibuk menggali salurannya sendiri, setiap orang mengunci diri dalam biro dan laboratoriumnya, hingga pertemuan antarpribadi akademisi menjadi semakin jarang. Maka kontak antara anggota-anggota dari universitas dan institut yang sama menjadi semakin lemah dan terjadilah isolasi human dari individu.

Universitas/institut cenderung menjadi pemusatan guru besar dan dosen-dosen muda yang superspesialis, yang tidak lagi menguasai jenis-jenis pengetahuan yang memungkinkan transmisi high knowledge, mengabaikan kompleksitas dari realitas dan kesukaran manusia untuk memahaminya. Mereka puas dengan menghasilkan teknokrat yang juga puas dan bangga dengan pengetahuan spesialistisnya, tidak mau tahu dengan pengetahuan teknokratis lain. Mereka anggap wajar kalau masing-masing bertanggung jawab atas solusi dari masalah khas masing-masing. Padahal, masalah gawat biasanya timbul pada konjungsi antara solusi-solusi sepihak yang diambil secara terpisah. Lalu masalah ini tanggung jawab siapa?

Universitas/institut ditantang untuk melawan kecenderungan yang merusak holisme pemikiran universiter. Sementara fakultas dari universitas dan departemen dari institut membanjiri masyarakat dengan spesialis bidang tertentu yang memang dibutuhkan, universitas/institut perlu mengimbanginya dengan menghasilkan lulusan terlatih menurut pendekatan keterkaitan monodisiplin pokok.

Untuk keperluan ini universitas/institut membuka suatu program pembelajaran S-2 dan S-3. Dengan menangani sendiri pelaksanaan program ini, universitas/institut berarti tidak hanya berfungsi administratif, koordinator dari fakultas/departemen yang dicakupnya, tetapi melaksanakan pula fungsi edukatif, sesuai dengan khitah awal jadinya.

Kuliah program ini membahas subjeknya melalui visi poliokuler. Kuliah pembangunan atau kesehatan nasional, misalnya, terang akan lebih mencerahkan apabila semua aspek dibahas sama penting. Yang menjadi concern perkuliahan universitas/institut bukanlah suatu sintetis, tetapi suatu pikiran yang tidak pecah di perbatasan antardisiplin. Yang menjadi perhatian adalah gejala multidimensional dan bukan disiplin yang mengiris-iris dimensi di gejala. Sebab, apa-apa yang human adalah sekaligus psikis, sosiologis, ekonomis, historis, demografis, antropologis. Maka penting bahwa aspek-aspek tersebut tidak dipisah-pisah, diabstraksi dengan asumsi "ceteris paribus", tetapi dikerahkan menjadi satu visi poliokuler.

Ini bukan perkuliahan yang mengada-ada. Kompleksitas adalah suatu gejala yang didesakkan oleh realitas kepada kita dan yang tidak dapat ditolak begitu saja. Yang perlu ditentang adalah simplifikasi arogan yang memuja formalisasi yang mereduksi kesatuan global jadi unsur-unsur konstitutifnya. Perkuliahan ini bukan hendak mengetengahkan "sistem kompleksitas", tetapi menyadarkan adanya "uncontourable problem of complexity".

Mungkin mahasiswa yang tertarik pada program ini tidaklah banyak. Tidak apa, sebab not the many is good, but the goodness is many.

Ketahuilah bahwa kemajuan kita selaku bangsa tidak akan bisa lebih cepat daripada kemajuan pendidikan nasional. Ia memang butuh pembenahan agar bisa maju, tetapi bukan dengan jalan mengubah strukturnya. Para pengasuhnya perlu diganti besar-besaran. Kalau di suatu rumah diketahui ada maling, sebagai perbaikan bukan rumah itu yang harus dibakar, tetapi malingnya yang harus ditangkap.

(Daoed JOESOEF,  Alumnus Université Pluridisciplinaires Pantheon-Sorbonne)

Sumber: http://print.kompas.com/KOMPAS_ART0000000000000000008965300
Powered by Telkomsel BlackBerry®

Setelah Heboh 4 x 6 Vs 6 x 4 (Hendra Gunawan)

ADA  kejadian luar biasa di negeri kita pada September 2014 ini. Tiba-tiba orang Indonesia ramai berbicara tentang soal matematika walau yang menjadi topik pembicaraan "hanya" seputar 4 x 6 atau 6 x 4.
Pada mulanya siswa kelas II sekolah dasar diminta mengerjakan sejumlah soal penjumlahan berulang oleh gurunya. Siswa diminta menuliskan penjumlahan berulang tersebut sebagai bentuk perkalian terlebih dahulu sebelum menuliskan jawabannya. Seorang siswa menulis:

4 + 4 + 4 + 4 + 4 + 4 = 4 x 6 = 24.

Oleh gurunya, ia pun disalahkan. Gurunya menulis bahwa penjumlahan berulang tersebut seharusnya adalah 6 x 4, bukan
4 x 6. Kakak sang siswa protes dan mengunggah lembar jawaban adiknya yang telah diperiksa oleh guru tersebut ke media sosial. Indonesia pun ramailah. Bahkan, di tengah riuhnya soal pilkada lewat DPRD, anggota DPR pun turut bicara. Seru!

Beberapa isu
Memang ada beberapa isu dalam kasus di atas. Pertama, apa arti tanda "=" (baca: sama dengan) dalam konteks ini. Ketika guru menyalahkan jawaban anak tersebut, ia sesungguhnya sedang menerapkan arti "=" yang khas dalam matematika, yaitu "=" yang dinobatkan atau didefinisikan, bukan "=" yang merupakan fakta atau konsekuensi dari asumsi-asumsi sebelumnya.

Sebagai contoh, dalam kalimat: jika n = 1, maka n2 = 1, tanda "=" yang pertama berbeda artinya dari tanda "=" yang kedua.

Sebagai bilangan kardinal (yang menyatakan banyaknya sesuatu), 4 + 4 = 8 = 10 – 2. Kesamaan di sini bukan definisi. Demikian juga 4 + 4 + 4 + 4 + 4 + 4 = 4 x 6 = 24. Akan tetapi, dalam kasus di atas, sang guru menuntut siswanya menjawab 4 + 4 + 4 + 4 + 4 + 4 = 6 x 4 = 24.

Perhatikan bahwa tanda "=" yang pertama dalam hal ini merupakan "=" yang didefinisikan. (Dapat diduga bahwa sebelumnya guru tersebut telah mendefinisikan perkalian dua bilangan bulat positif sebagai penjumlahan berulang, atau sebaliknya: penjumlahan berulang sebagai perkalian.)

Bagi siswa kelas II SD, ini tentu merupakan isu besar. Saya pun bertanya: apakah anak kelas II SD sudah cukup matang untuk diajak "bermain" dengan definisi? Menurut saya, belumlah waktunya bagi guru menuntut siswa bekerja dengan definisi (yang ketat pula). Apalagi meminta siswa menuliskan kalimat matematika yang mengandung dua tanda "=" yang berbeda artinya!

Yang namanya definisi itu kesepakatan. Bijakkah guru, seorang manusia dewasa yang sudah bisa berpikir abstrak, mengajak siswa kelas II SD, yang masih berpikir dalam tahap konkret, bersepakat tentang sesuatu yang baru akan mereka pelajari? Rasanya tidak.

Lagi pula, dalam matematika, definisi tidak harus unik. Beberapa definisi yang setara bisa dibuat untuk satu hal yang sama. Mengapa memaksakan satu versi definisi?

Isu kedua berkenaan dengan penyajian soal. Penjumlahan berulang memang diajarkan lebih dulu daripada perkalian. Namun, soal di atas jelas memperlihatkan, perkalian hanya dianggap sebagai "singkatan" dari penjumlahan berulang. Bahkan, kita bisa mempertanyakan, andaikan siswa menulis 4 + 4 + 4 + 4 + 4 + 4 = 6 x 4 (sebagai definisi), bagaimana kemudian ia tahu bahwa 6 x 4 = 24 (sebagai fakta)?

Pada hemat saya, urutannya yang lebih bisa diterima adalah 6 x 4 = 4 + 4 + 4 + 4 + 4 + 4 = 24. Ini pun dengan catatan bahwa ada dua tanda "=" yang berbeda artinya dalam kalimat ini.

Bagaimana sebaiknya?
Jadi bagaimana sebetulnya, atau katakanlah sebaiknya? Penjumlahan berulang sebetulnya bisa dipandang sebagai metode atau cara untuk menyelesaikan masalah perkalian. Karena itulah, sebelum siswa belajar perkalian, penjumlahan berulang diperkenalkan terlebih dahulu. Tujuannya, ketika siswa belajar perkalian, "senjata" untuk menyelesaikannya sudah ada.

Ingat bagaimana siswa kelas I SD belajar penjumlahan. Sebelumnya siswa belajar menghitung maju lebih dulu. Budi memiliki 5 butir kelereng. Pada hari ulang tahunnya ayahnya memberi ia 10 butir kelereng baru. Berapa banyakkah kelereng Budi kemudian? Jawabannya tentu 15.

Namun, bagaimana jawaban ini diperoleh? Siswa menghitung maju, 5 di kepala, 10 di tangan. Masih ingat, bukan? Namun, ada cara kedua, yang lebih efisien, 10 di kepala, 5 di tangan. Dengan cara pertama, siswa menulis:
5 + 10 = 15. Dengan cara kedua, siswa menulis: 10 + 5 = 15.

Nah, untuk perkalian,  guru seyogianya memulai dengan masalah perkalian, lalu meminta anak untuk menyelesaikannya dengan menggunakan penjumlahan berulang. Masalah atau soal perkalian seperti apa? Soal alami perkalian adalah soal luas daerah persegi panjang. Akan tetapi, untuk anak kelas II SD, tentu guru harus memilihkan soal yang cukup konkret bagi anak. Sebagai contoh, mintalah anak menghitung banyak ubin pada lantai, yang terdiri atas 4 baris, masing- masing baris terdiri atas 6 ubin.

Bagaimana anak menghitungnya?

Ingat, anak sudah diajarkan penjumlahan berulang sebelumnya. Dalam hal ini, anak bisa menghitungnya baris per baris:
6 + 6 + 6 + 6 = 24. Akan tetapi, ini bukan satu-satunya cara. Anak juga bisa menghitung kolom per kolom: 4 + 4 + 4 + 4 + 4 + 4 = 24. Bahkan, anak yang belum mantap dengan penjumlahan berulang bisa juga mencacah ubin tersebut: 1 + 1 + … + 1 = 24. Semuanya benar.

Guru kemudian dapat memberi soal serupa, misalnya: "Ada 3 baris ubin, masing-masing terdiri atas 9 ubin. Berapa ubin semuanya?" Setelah cukup bermain dengan ubin, guru pindah ke papan tulis dan menulis (misalnya): Ini adalah 4 x 6.

Bagaimana menghitungnya? Berdasarkan permainan dengan ubin sebelumnya, 4 x 6 dapat dihitung baris per baris sebagai
6 + 6 + 6 + 6 atau kolom per kolom sebagai 4 + 4 + 4 + 4 + 4 + 4. Dengan cara pertama, siswa menulis: 4 x 6 = 6 + 6 + 6 + 6 = 24. Dengan cara kedua, siswa menulis: 4 x 6 = 4 + 4 + 4 + 4 + 4 + 4 = 24. Di sini tanda "=" bukan definisi, tetapi fakta atau konsekuensi terkait dengan cara menghitungnya.

Kalau ada siswa yang bertanya, "Bu, bolehkah saya anggap gambar di atas sebagai 6 x 4?" Guru yang ramah akan menjawab: "Mengapa tidak, Nak? Kalau kamu anggap 6 x 4, memangnya bagaimana kamu akan menghitungnya? Sama saja, bisa 4 + 4 + 4 + 4 + 4 + 4, atau 6 + 6 + 6 + 6, ya, bukan?"

Soal lainnya yang juga merupakan masalah perkalian bisa diberikan. Misalnya, ada 10 kantong, masing-masing berisi 2 butir kelereng. Berapa kelereng semuanya?

Ya, ini adalah masalah perkalian 10 x 2, seperti kata Prof Yohanes Surya. Akan tetapi, bagaimana menghitungnya? Bagi sebagian siswa, banyak kelereng semuanya sama dengan 2 + 2 + ... + 2 = 20. Siswa yang menjawab seperti ini mungkin membayangkan dirinya menghitung kelereng kantong per kantong.

Siswa yang lain membayangkan dirinya mengeluarkan kelereng dari masing-masing kantong, lalu menjejerkannya sebagai berikut:

1    2    3    4    5    6    7    8   9   10

1    *    *    *    *    *    *    *    *    *    *

2    *    *    *    *    *    *    *    *    *    *

Kemudian ia berpikir bahwa akan lebih mudah baginya bila ia menghitung "baris per baris": "kelereng pertama" dari masing- masing kantong berjumlah 10, demikian juga "kelereng kedua". Jadi, banyak kelereng semuanya 10 + 10 = 20.

Membangun pemahaman
Apa yang ingin saya sampaikan melalui tulisan ini adalah: jangan terburu-buru "bermain" dengan definisi, apalagi dengan siswa SD kelas bawah. Untuk perkalian, gunakan penjumlahan berulang sebagai metode atau cara, bukan definisi. Ketika ia didudukkan sebagai metode atau cara, ingat prinsip bahwa sering kali ada banyak cara untuk mendapatkan satu hasil yang sama.

Dengan pendekatan seperti ini, saya berharap guru pun bisa membangun pemahaman pada siswa bahwa 4 x 6 = 6 x 4.

Sifat serupa juga ditemui dalam penjumlahan: 5 + 7 = 7 + 5. Akan tetapi, guru juga mesti mengingatkan bahwa tidak semua operasi bisa dibolak-balik:
4 - 2 =/ o2 - 4.

(Hendra Gunawan, Guru Besar Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Institut Teknologi Bandung)

Sumber: http://print.kompas.com/KOMPAS_ART0000000000000000009100514
Powered by Telkomsel BlackBerry®

Pertumbuhan Dua Digit (Gustav F Papanek)

Pemerintahan Joko Widodo-Jusuf Kalla punya dua pilihan skenario kebijakan ekonomi. Pertama, skenario "bisnis seperti biasa" dengan sekadar melanjutkan kebijakan ekonomi yang ada saat ini. Kedua, memilih skenario merebut peluang meraih mimpi pertumbuhan dua digit.
Skenario pertama hanya memberi peluang penciptaan kurang dari 1 juta lapangan kerja baru per tahun. Pilihan ini kemungkinan juga hanya menghadirkan pertumbuhan pendapatan nasional 5 persen, bahkan kurang, per tahun. Padahal, dua juta angkatan kerja baru tumbuh setiap tahun di Indonesia. Artinya, dengan skenario ini, 1 juta lebih tenaga kerja baru hanya bisa bekerja di lapangan kerja tidak layak,  dengan produktivitas rendah, bahkan cenderung sebagai pengangguran.

Skenario kedua berbeda. Lewat skenario ini, Indonesia berpeluang menciptakan 4 juta lapangan kerja berkualitas setiap tahun. Pertumbuhan ekonomi akan mencapai 10 persen pada 2019, dan 10 juta keluarga miskin akan beralih status sebagai kelas menengah. Pilihan kedua ini merupakan peluang yang hanya ada sekali dalam seabad. Peluang ini hadir tidak terlepas dari situasi ekonomi di Tiongkok. Negara yang telah mendominasi pasar manufaktur dunia dalam beberapa dekade terakhir itu kini daya saingnya kian merosot. Lima tahun ke depan, negara-negara lain—sebagian besar Asia—akan mengambil pangsa pasar ekspor manufaktur Tiongkok.

Strategi merebut peluang
Dalam buku Pilihan Ekonomi yang Dihadapi Presiden Baru, Dr Raden Pardede, Profesor Suahasil Nazara, dan saya mencoba menggambarkan secara detail kebijakan-kebijakan yang diperlukan untuk membawa ekonomi negeri ini menuju pertumbuhan dan produktivitas yang tinggi. Buku ini dipublikasikan oleh Pusat Transformasi Kebijakan Publik dan secara bebas dapat dibaca melalui www.transformasi.org.

Dalam buku itu, kami mengalkulasi, ekspor manufaktur Indonesia akan meningkat sekitar 110 miliar dollar AS jika negara ini dapat mengambil 7 persen saja pangsa pasar manufaktur padat karya Tiongkok hingga lima tahun ke depan. Bertumbuhnya ekspor dan industri pengganti impor, yang dikombinasikan dengan meningkatnya permintaan domestik, akan menciptakan 21 juta  lapangan kerja yang layak dan produktif seiring berakhirnya masa jabatan presiden pada 2019. Hal itu berimbas pada meningkatnya ketersediaan lapangan kerja untuk warga berpendidikan rendah dan peningkatan penghasilan penduduk miskin.

Berita baik untuk Indonesia: kondisi para kompetitor pun tak sempurna. Mereka punya keuntungan dalam beberapa hal, tetapi bermasalah dalam hal-hal lain. Indonesia tidak harus memangkas seluruh biaya yang ada untuk meningkatkan daya saingnya. Karena itu, pengambil kebijakan negeri ini dapat fokus pada upaya penyesuaian biaya-biaya tertentu saja yang memberikan keuntungan terbesar.

Sebagai contoh, biaya logistik Indonesia tergolong tinggi karena tertundanya perbaikan infrastruktur utama. Karena itu, pemerintah mestinya fokus pada upaya perbaikan jalan dan pelabuhan serta menyediakan pasokan listrik memadai guna meningkatkan daya saing.

Terkait dengan upaya penyediaan infrastruktur yang baik, peningkatan investasi publik untuk pembangunan infrastruktur nasional sangat diperlukan. Salah satu upaya penting agar dana publik tersedia secara cukup untuk saat ini adalah keputusan yang tegas dan berani guna memangkas subsidi bahan bakar minyak (BBM).

Reformasi perpajakan menjadi langkah penting berikutnya untuk meningkatkan penerimaan negara. Investasi publik diprioritaskan ke daerah-daerah yang sukses menarik minat investasi baru di sektor manufaktur sehingga dapat menghasilkan keuntungan yang cepat dan besar, yang kemudian dapat digunakan untuk membangun infrastruktur di daerah-daerah lain.

Kebutuhan akan infrastruktur sangat besar. Pemerintah tidak mungkin memenuhi semua kebutuhan tersebut. Keterlibatan modal dan keahlian swasta pun sangat diperlukan. Sistem bagi hasil dengan sektor swasta, seperti dalam industri minyak, dapat diaplikasikan dalam pembangunan dan operasional sejumlah infrastruktur publik.

Rekomendasi lain, termasuk menawarkan kepada perusahaan swasta peluang membangun infrastruktur dengan kompensasi keringanan pajak. Mengonversi BBM kendaraan komersial ke gas alam guna mengurangi biaya transportasi juga sangat penting.

Manufaktur padat karya
Indonesia juga harus mengurangi ongkos tenaga kerja agar perusahaan dapat berkompetisi dalam pasar dunia untuk kemudian meningkatkan penghasilan tenaga kerja. Devaluasi nilai tukar mata uang merupakan cara ampuh mengurangi biaya tenaga kerja dan biaya domestik lainnya bagi para eksportir. Inflasi yang muncul akibat devaluasi dapat diatasi dengan menstabilkan harga makanan pokok untuk 40 persen penduduk yang berada di bawah garis kemiskinan.

Kami juga merekomendasikan sebuah program yang menjamin lapangan kerja dan penghasilan untuk tenaga kerja di sektor pertanian selama musim paceklik atau saat bencana alam. Program tersebut tak hanya memberikan lapangan kerja, tetapi juga secara efisien dapat memberi keuntungan kembali bagi daerah berupa terbangunnya infrastruktur serta memberi kontribusi signifikan untuk jaring pengaman sosial.

Dalam beberapa tahun terakhir, pertumbuhan ekonomi Indonesia lebih banyak dipengaruhi ledakan harga komoditas di pasar global, terutama sumber daya alam. Hal yang sama akan sulit terulang. Karena itu, jika Indonesia tidak mendongkrak daya saingnya dalam pengembangan industri manufaktur berbasis padat karya, pendapatan ekspor akan tersendat, permintaan domestik akan melemah karena lambannya pertumbuhan.

Memperkuat daya saing di pasar manufaktur dunia menjadi pilihan terbaik bagi pemerintah baru ke depan untuk meraih pertumbuhan dua digit. Langkah tersebut memerlukan kerja sama yang erat antara pemerintah, pelaku bisnis, dan gerakan buruh. Dengan cara itu, era baru tak mustahil dihadirkan, yaitu era kesejahteraan bersama.

(Gustav F Papanek, Profesor Emeritus Bidang Ekonomi, Universitas Boston, AS)

Sumber: http://print.kompas.com/KOMPAS_ART0000000000000000009182004
Powered by Telkomsel BlackBerry®

TAJUK RENCANA: India dan Misi Mars (Kompas)

INDIA senantiasa memunculkan kontras dan kejutan. Selain soal kemiskinan atau kecelakaan transportasi, India tampil dengan berita spektakuler.
India mencatat keberhasilan dalam misi ke Planet Mars, planet keempat dari Matahari dalam tata surya kita. Setelah diluncurkan Desember 2013, pada Rabu 24 September lalu wahana bernama Mangalyaan, yang merupakan karya putra-putri India, tiba di orbit Mars. Dengan itu, India menjadi negara pertama di Asia yang mampu meluncurkan wahana antariksa ke orbit Mars.

Sebelum ini, hanya negara adidaya Amerika Serikat, Rusia, dan kemudian Eropa yang memiliki kemampuan ini. Jepang pernah mencoba, tetapi gagal. Rusia yang berhasil membawa wahana ke orbit masih belum berhasil mengoperasikan wahana pendaratnya di Mars.

Semua itu memperlihatkan, teknologi ruang angkasa merupakan teknologi canggih yang hanya dikuasai sedikit orang di dunia. Tiongkok akhir-akhir ini juga memperlihatkan kemajuan berarti dengan keberhasilan meluncurkan antariksawan dan kini sedang mempersiapkan stasiun ruang angkasa.

Menyebut Tiongkok hanya untuk menegaskan, program ruang angkasa lazimnya baru bisa dilakukan setelah negara mencapai tingkat kemajuan ekonomi tertentu. Maklum, jika masih banyak rakyat hidup di bawah tingkat sejahtera, program antariksa hanya akan dianggap sebagai mercusuar yang tidak relevan.

Yang menarik memang India. Benar negara ini sudah banyak mencapai kemajuan di bidang perekonomian sehingga dimasukkan dalam kelompok BRIC yang terdiri dari Brasil, Rusia, India, dan Tiongkok. Namun, juga harus diakui, masih banyak pekerjaan rumah yang harus diselesaikan India untuk memakmurkan mayoritas rakyatnya.

Jadi, mengapa ketika masih banyak rakyat belum sejahtera, India meluncurkan wahana ke Planet Mars?

Di sinilah persisnya kita melihat visi India yang jauh, dan bukan kali ini saja kita melihat bukti akan visi konsisten India. Boleh jadi didorong oleh kebutuhan untuk survival, karena hidup dikelilingi oleh negara pesaing, India lalu memutuskan langkah strategis.

Dalam visi ini, negara mungkin masih punya PR untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat, tetapi bangsa tidak boleh kehilangan visi dan komitmen terhadap ilmu pengetahuan dan teknologi, industri, dan manufakturing. Melalui program ke Mars, India bisa memperlihatkan inovasi, proyek ruang angkasa bisa dilaksanakan dengan biaya relatif murah. Proyek Mars AS menelan 671 juta dollar AS, sementara proyek India hanya butuh 74 juta dollar AS.

Kita juga yakin, melalui proyek Mars, pemimpin India ingin terus menebarkan semangat ilmiah bagi generasi muda agar menguasai ilmu pengetahuan dan teknologi mutakhir, yang bisa membawa negara pada kejayaan.

Sumber: http://print.kompas.com/KOMPAS_ART0000000000000000009182682
Powered by Telkomsel BlackBerry®

TAJUK RENCANA: Menanti Langkah Konkret (Kompas)

KEGERAMAN publik atas walk out-nya 124 anggota Partai Demokrat belum reda. Ekspresi kegeraman dalam bahasa keras bisa dilihat di media sosial.
Kegeraman publik itu dialamatkan kepada Presiden Susilo Bambang Yudhoyono yang juga Ketua Umum Partai Demokrat. Dengan segala kekuasaan yang dimilikinya, sebagai ketua umum partai, sebagai kepala pemerintahan, dan kepala negara, Yudhoyono sebenarnya bisa menyelamatkan hak rakyat untuk memilih kepala daerah. Harapan publik itu wajar karena sebenarnya sudah disampaikan Yudhoyono dalam pidato melalui Youtube. Seandainya Yudhoyono memerintahkan 124 anggota Demokrat mendukung opsi pilkada langsung, hak rakyat itu tetap aman!

Namun, jangankan berjuang mengamankan opsi pilkada langsung, 124 anggota Demokrat itu malah meninggalkan ruang rapat paripurna. Juru bicara Fraksi Partai Demokrat, Benny K Harman, mengumumkan sikap Demokrat yang netral dan melakukan walk out. Langkah walk out Demokrat sebagai ruling party dengan kekuatan 124 anggota memang tidak masuk akal. Publik marah dan mencerca. Seandainya saja 124 anggota Demokrat memberikan suara pada pilkada langsung, pasti citra Yudhoyono tetap baik sebagai "Bapak Demokrasi". Sebagian syarat perbaikan sudah terakomodasi dalam undang-undang. Namun, sejarah tak mengenal kata jika. Hak rakyat memilih (right to vote) pemimpin daerah telah diambil DPRD. Inilah warisan menyedihkan. Menanggapi kemarahan publik itu, Yudhoyono menggelar tiga kali jumpa pers dalam lawatannya ke luar negeri. Dia menjanjikan bersama rakyat mengembalikan pilkada langsung. Yudhoyono menyatakan ketidaksetujuannya atas substansi pilkada oleh DPRD.

Penjelasan Yudhoyono tetap ditanggapi skeptis. Tanpa ada penjelasan memadai mengenai walk out Demokrat, publik susah menerima penjelasan elite Demokrat—yang penjelasannya juga berbeda-beda. Penjelasan elite Demokrat soal kesalahan komunikasi all out dan walk out rasanya terlalu sederhana untuk urusan sepenting itu. Dalam sejumlah media, berkembang spekulasi bahwa walk out dirancang sejak awal. Ada barter politik di sana.

Dalam ruang samar, memang terbuka ruang untuk menganalisis peristiwa politik, termasuk dengan mencermati pembagian kursi di pimpinan MPR atau pimpinan DPR, pada 1 Oktober. Kini, rakyat menunggu langkah konkret yang mau diambil Yudhoyono, baik sebagai Presiden selaku kepala pemerintahan dan kepala negara maupun sebagai Ketua Umum Partai Demokrat.

Masih ada ruang bagi Yudhoyono untuk menyelamatkan hak memilih rakyat meskipun ruang itu kecil karena masa jabatannya berakhir 20 Oktober 2014. Karena itulah, kekuatan masyarakat sipil yang nyata-nyata dirugikan hak konstitusionalnya bisa menyusun permohonan uji materi ke Mahkamah Konstitusi. Dalih uji materi tidak hanya didasarkan pada soal konstitusionalitas pilkada DPRD, tetapi juga asas kepastian hukum dan pencabutan hak politik warga negara (right to vote).

Sumber: http://print.kompas.com/KOMPAS_ART0000000000000000009181770
Powered by Telkomsel BlackBerry®

ANALISIS POLITIK: Demokrasi Tanpa Hikmat-Kebijaksanaan (Yudi Latif)

KEBAIKAN itu tidak datang dari niat buruk. Politik memang bekerja atas dasar kepentingan. Namun, dalam politik beradab, kepentingan itu harus diletakkan sesuai dengan makna politik itu sendiri; penyelesaian masalah melalui praktik-praktik etis deliberasi dan argumentasi demi kebajikan hidup bersama.

Demokrasi Pancasila bekerja dalam kerangka etis cita kerakyatan, cita permusyawaratan, dan cita hikmat-kebijaksanaan. Cita kerakyatan hendak menghormati suara rakyat; dengan memberikan jalan bagi peranan dan pengaruh besar rakyat dalam pengambilan keputusan oleh pemerintah. Cita permusyawaratan memancarkan kehendak untuk menghadirkan negara persatuan yang dapat mengatasi paham perseorangan dan golongan, dengan mengakui "kesederajatan/persamaan dalam perbedaan".

Cita hikmat-kebijaksanaan merefleksikan orientasi etis bahwa "kerakyatan" yang dianut bangsa Indonesia bukan kerakyatan yang mencari suara terbanyak semata, melainkan kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan. Orientasi etis (hikmat-kebijaksanaan) ini dihidupkan melalui daya rasionalitas, kearifan konsensual, dan komitmen keadilan yang menghadirkan sintesis terbaik.

Rambu-rambu etis demokrasi Pancasila itu tidak diindahkan dalam keputusan dramatis menyangkut Undang-Undang Pemilihan Kepala Daerah. Jebolnya semangat kekeluargaan membuat pembelahan politik yang saling menafikan: apakah bersama kami atau bersama mereka; tanpa menyisakan ruang bagi kemungkinan sintesis terbaik.

Dalam semangat saling menafikan, yang pertama kali dimatikan adalah penalaran. Di negara demokratis di dunia, pilkada bisa dilakukan langsung atau tidak langsung. Keduanya sama-sama demokratisnya meski kecenderungan global kian mengarah ke pilkada langsung. Yang harus dilakukan adalah memahami secara baik prinsip-prinsip penerapan kedua model pemilihan itu serta plus-minus penerapan kedua model pilkada tersebut dalam pengalaman Indonesia.

Di kebanyakan negara Eropa, pilkada dilakukan tidak langsung. Dengan ketentuan, partai pemenang diberikan kesempatan untuk membentuk pemerintahan. Penghormatan kepada partai pemenang ini penting karena mencerminkan arus kehendak di akar rumput. Apabila partai pemenang tidak berhasil membentuk pemerintahan, barulah partai pemenang kedua diberi kesempatan, dan seterusnya berdasarkan urutan.

Di belahan dunia lain, beberapa negara, seperti Amerika Serikat, Kanada, Jepang, dan Filipina, melakukan pilkada langsung. Negara dengan tingkat pluralitas masyarakat yang tinggi, di luar negara komunis (bekas komunis), cenderung ke pilkada langsung.

Yang harus dilakukan Indonesia adalah memilih sistem yang sesuai dan efektif dalam konteks sosiokultural bangsa ini. Harus ditekankan bahwa Pancasila tidak memihak pilkada langsung atau tak langsung. Kepedulian Pancasila hanya ingin memastikan sistem apa pun harus menghasilkan pemerintahan yang menghormati daulat rakyat dengan menjadikan warga sebagai subyek berdaulat, bukan obyek tindasan dan manipulasi tirani oligarki penguasa atau pemodal.

Indonesia punya pengalaman menerapkan pilkada tidak langsung dan langsung. Keduanya tidak berujung pada penghormatan daulat rakyat. Dalam sistem pertama, aspirasi rakyat dibajak oligarki elite partai; kedua, dibajak oligarki pemodal. Kita harus mengevaluasi sumber-sumber distortif dari kedua sistem itu dan menemukan sistem mana yang lebih cocok diterapkan dengan segala perbaikannya.

Menerapkan pilkada tidak langsung mengandaikan bahwa anggota-anggota Dewan adalah orang-orang dengan moralitas dan akuntabilitas publik yang bisa diandalkan sehingga bisa memilih pemimpin harapan publik. Apakah prasyarat itu bisa dipenuhi DPRD kita yang merupakan produk biaya politik yang mahal? Dalam pilkada tak langsung, konvensinya adalah pemberian kesempatan kepada partai pemenang untuk membentuk pemerintahan. Masalahnya, dalam sistem multipartai yang begitu kompleks, pembentukan koalisi selalu rumit dan tidak ada jaminan partai pemenang bisa mudah meraih dukungan mayoritas. Sistem ini juga mempersempit akses masuk kandidat-kandidat alternatif. Dengan demikian, gelombang aspirasi rakyat mudah terdistorsi oleh persekongkolan kepentingan elitis.

Menerapkan pilkada langsung menggelembungkan biaya politik, baik untuk penyelenggaraan maupun kampanye. Situasi inilah yang menjadi pintu masuk bagi korupsi dan penetrasi pemodal dalam penguasaan sumber daya di daerah. Sistem ini juga rawan bagi manipulasi politik identitas di akar rumput. Namun, sistem ini lebih membuka ruang partisipasi dan dapat menghindari pembajakan aspirasi rakyat oleh persekongkolan elite partai. Sistem ini juga menjadi solusi atas kesulitan partai pemenang membentuk pemerintahan dalam sistem multipartai yang kompleks.

Oleh karena itu, sistem pilkada langsung bisa menjadi pilihan saat ini, dengan sejumlah perbaikan yang bisa mengatasi mahalnya biaya politik dan politisasi identitas. Proposal perbaikan ini sesungguhnya telah diajukan Ketua Umum Partai Demokrat Susilo Bambang Yudhoyono (SBY). Sayang proposal ini setengah hati; terkesan sebagai usaha menohok dengan cara menghindar. Sebagai presiden, SBY semestinya sudah harus memasukkan proposal perbaikan ini dalam RUU yang diajukan pemerintah. Partainya juga bisa beraliansi dengan kekuatan pro pilkada langsung sebagai batu lompatan menuju proposal perbaikan. Mengetahui masalah tanpa berusaha memperjuangkannya adalah pertanda kepengecutan.

Pilihan lainnya adalah mengombinasikan pilkada langsung dan tak langsung. Pilkada langsung bisa diterapkan untuk kabupaten/kota. Pilkada tak langsung untuk provinsi. Di luar itu, apabila kita datang dengan visi otonomi asimetris, soal pilkada ini sesungguhnya bisa saja diserahkan kepada daerah masing-masing untuk menentukan pilihan terbaik sesuai konteks lokal. Alhasil, banyak pilihan yang bisa didiskusikan sebelum ketuk palu. Namun, dalam politik tanpa hikmat-kebijaksanaan, penalaran sudah dimatikan oleh kepentingan dan kesumat.

(Yudi Latif, Pemikir Kenegaraan dan Kebangsaan)

Sumber: http://print.kompas.com/KOMPAS_ART0000000000000000009185999
Powered by Telkomsel BlackBerry®

Senin, 29 September 2014

Rekayasa Demografi Masa Depan (Sri Moertiningsih Adioetomo)

Salah satu kebijakan presiden terpilih Jokowi adalah peningkatan produktivitas dan daya saing bangsa. Ini harus dikerjakan mulai dari sektor hulu, menengah, hingga hilir  dengan konsep siklus hidup, dari kandungan sampai lansia, dan berperspektif jender. Profil demografi Indonesia masa depan harus direkayasa dari sekarang.
Di sektor hulu, pengembangan modal manusia berkualitas dimulai sejak dalam kandungan. Pada 2015 jumlah anak di bawah 14 tahun adalah 70 juta, 71 juta pada 2019, dan menurun karena KB menjadi 66 juta pada 2035. Dimulai dari 1.000 hari pertama kehidupan (E Achadi, 2014), janin harus memperoleh makanan dan gizi cukup, ibunya tidak anemia, berat dan tinggi badan ibu cukup, serta persiapan prahamil. Ini pembentukan keterampilan kognitif yang memengaruhi capaian pendidikan dan nantinya merupakan determinan pertumbuhan ekonomi (Hanushek dan Woessman, 2008).

Dilanjutkan dengan pendidikan usia dini di luar rumah dan dalam keluarga, pola asuh anak lelaki dan perempuan adalah awal pembentukan soft skill, disiplin, keteraturan, keterampilan hidup, suka bekerja, berkomitmen terhadap hasil kerja, berani ambil risiko, bertanggung jawab, inovatif dan kreatif, serta pengelolaan uang jajan yang arif. Ini akar kewirausahaan.

Pasangan suami istri yang berKB merencanakan kehamilan dan kelahiran anak dengan cermat dan berkomitmen untuk memenuhi kebutuhan dasar anaknya, pendidikan, dan layanan kesehatan berkualitas. Menginjak remaja, pendidikan kesehatan reproduksi penting agar remaja mampu merawat dan melindungi tubuhnya dari perilaku tidak sehat berisiko, seperti merokok, miras, narkoba, kekerasan, dan pelecehan.

Di sektor menengah, transisi dari sekolah menuju dunia kerja. Jumlah penduduk usia kerja tahun depan 164 juta, meningkat 172 juta (2019), dan mencapai 192 juta (2035). Anak lelaki dan perempuan harus selesai pendidikan dasar 12 tahun bahkan sarjana. Banyak lulusan atau putus sekolah memasuki pasar kerja tanpa keterampilan dan kompetensi yang dibutuhkan di pasar kerja.

Kualitas penduduk usia kerja saat ini memprihatinkan. Perlu tambahan keterampilan usia kerja muda. Studi menemukan bahwa Indonesia mengalami krisis keterampilan (Adioetomo, dkk. 2010). Perlu kejelasan, siapa yang bertanggung jawab menjembatani transisi sekolah ke dunia kerja? Pembentukan etos kerja dan soft skill diprioritaskan dalam mengisi kerangka konsep revolusi mental. Penyediaan lapangan kerja harus diutamakan untuk memungkinkan pekerja hidup layak, memenuhi kebutuhan hidup, memenuhi hak-hak dasar anaknya agar nantinya bisa memutus rantai kemiskinan
antargenerasi. Ditambah bahwa penduduk usia kerja bisa menabung dan membayar iuran asuransi sosial kesehatan dan
jaminan hari tua.

Jangan tua sebelum kaya
Tahun depan jumlah warga lansia Indonesia 21 juta, menjadi 26 juta (2019), dan 48 juta (2035). Warga lansia berisiko kehilangan pekerjaan dan penghasilan, biaya kesehatan meningkat karena penyakit degeneratif, terutama lansia perempuan, serta dukungan keluarga yang menyempit karena migrasi. Pemerintah umumnya tidak siap, di samping ruang fiskal yang sempit. Anggapan bahwa warga lansia adalah beban harus direvisi. Warga lansia kini lebih berpendidikan, lebih sehat, dan lebih terpapar informasi. Banyak yang masih bekerja, menggunakan gadget terpapar TI yang dapat memperluas hubungan dengan dunia luar, dengan anak dan kerabat yang tinggal di lain tempat.

Hubungan antargenerasi bisa dilakukan tidak sebatas di dalam rumah. TI memungkinkan warga lansia mencari informasi bagaimana hidup sehat meski kendala penyakit degenerasi, mencari tempat pelayanan kesehatan yang diperlukan. Pemerintah harus memfasilitasi warga lansia yang masih ingin bekerja, memperpanjang usia pensiun, dan memberdayakan keluarga serta masyarakat untuk peduli warga lansia. Agar warga lansia tetap aktif dan produktif, perlu disiapkan sejak usia kerja, dengan pola hidup sehat, makan dan gizi sehat, olahraga secara teratur, dan hindari merokok. Pemberi kerja mengubah pola rekrutmen menampung warga lansia sehat produktif dengan pola kerja sesuai dengan kondisi fisik lansia. Kalau tercapai, Indonesia bakal mencapai bonus demografi kedua dikontribusikan oleh warga lansia.

Yang harus dikerjakan
Ini investasi jangka panjang menjadi tanggung jawab semua pemangku kepentingan di pemerintahan, swasta, dan masyarakat. Perlu seorang menteri kependudukan yang profesional, mempunyai pemahaman komprehensif sektor hulu, menengah, dan hilir. Mempunyai kepemimpinan kuat, visioner, dan mampu menggerakkan semua pemangku kepentingan. Ibarat seorang dirigen sebuah konser, concerted effort, dengan kewenangan yang legal, berbagi visi mencapai profil penduduk masa depan yang kita kehendaki. Semua ini memerlukan tersedianya data akurat dan terbaru untuk perencanaan, pemantauan, dan evaluasi pembangunan. Masyarakat perlu dibekali dengan literasi demografi untuk mengawal kebijakan dan program pemerintah.

Semoga kementerian kependudukan yang akan dibentuk mampu menelurkan kebijakan menyeluruh bagi bangsa Indonesia produktif dan berdaya saing di masa depan.

Sri Moertiningsih Adioetomo
Guru Besar Ekonomi Kependudukan FEUI

Sumber: http://print.kompas.com/KOMPAS_ART0000000000000000009039977
Powered by Telkomsel BlackBerry®

”Diskriminasi” dan Politisasi Jaminan Kesehatan (Mulyadi Sumarto)

Tulisan Sulastomo, Ketua Tim SJSN 2001-2004, "Kartu Indonesia Sehat dan SJSN", yang dimuat Kompas (4/9/2014), menceritakan ihwal gagasan pemerintahan Jokowi-JK melaksanakan program Kartu Indonesia Sehat dan keterkaitannya dengan program Jaminan Kesehatan Nasional.
Dengan cukup kritis, bagian awal tulisan itu mempertanyakan apakah realisasi Kartu Indonesia Sehat (KIS) akan menggantikan Jaminan Kesehatan Nasional (JKN). Dua poin penting lain yang disampaikan tulisan itu adalah JKN telah dilaksanakan "tanpa diskriminasi" dan penamaan program (KIS atau JKN) tidaklah penting, yang terpenting baginya adalah keberlanjutan program. Tulisan Sulastomo memberikan pencerahan mengenai masa depan JKN apabila pemerintahan Jokowi-JK merealisasi KIS. Namun, tulisan itu kurang tepat dalam menjelaskan isu diskriminasi. Terkait nama program, tulisan itu menyisakan pertanyaan serius karena isu politisasi Program Peningkatan Kesejahteraan Sosial (PPKS) yang mencakup jaminan kesehatan.

"Tanpa diskriminasi"?
Isu diskriminasi merupakan aspek penting yang perlu dipertimbangkan dalam memilih metode distribusi kesejahteraan, yang mencakup pendekatan universal dan selektif. Pendekatan universal mendistribusikan kesejahteraan yang dibiayai oleh pemerintah kepada semua warga negara tanpa memperhatikan status sosialnya. Sementara itu, pendekatan selektif mendistribusikan kesejahteraan hanya untuk mereka yang termasuk dalam kategori miskin.

Pendekatan selektif dipilih dengan alasan metode ini bersifat efisien karena tidak mendistribusikan kesejahteraan kepada semua warga negara sehingga menghemat anggaran. Namun, pendekatan ini mempertajam klasifikasi sosial karena metode ini membedakan secara tegas antara warga negara miskin sebagai penerima dan nirmiskin sebagai bukan penerima. Ini menunjukkan bahwa pemerintah memperlakukan kedua lapisan sosial tersebut secara berbeda. Perlakuan berbeda ini merupakan bentuk riil dari konsep diskriminasi.

Di dalam program JKN, pemerintah membayar premi asuransi kesehatan untuk warga negara miskin secara cuma-cuma. Pemerintah membayar premi untuk pegawai negeri dan tentara karena mereka bekerja untuk pemerintah. Mereka yang bekerja di perusahaan swasta mendapatkan asuransi karena preminya dibayar oleh perusahaan itu.

Sementara mereka yang tergolong tak miskin yang tak bekerja sebagai pegawai negeri, tentara, dan pekerja perusahaan swasta harus membayar premi dengan uang mereka sendiri. Ini menggambarkan JKN menggunakan pendekatan selektif. Sebagai program yang menggunakan pendekatan selektif, JKN menghadapi problem diskriminasi. Di sisi lain, pendekatan universal dipilih karena metode ini memperlakukan seluruh warga negara secara tidak berbeda. Risikonya, pemerintah harus menganggarkan biaya yang besar. Berdasarkan berbagai hasil studi (Larsen 2007; Rothstein 2005; Rothstein & Uslaner 2005) di negara kesejahteraan (welfare state) di kawasan Skandinavia, perlakuan nondiskriminatif ini meningkatkan dukungan masyarakat pada realisasi program pemerintah. 

Politisasi PPKS
Mungkin betul yang dikatakan Sulastomo, "apa arti sebuah nama", kutipan terkenal dalam dialog pada Romeo dan Juliet karya William Shakespeare itu. Namun, dalam program pemerintah, nama memiliki makna politik yang sangat besar. Kasus yang terjadi di beberapa negara Amerika Latin bisa membantu menjelaskan betapa besarnya makna politik nama program. Brasil dan Meksiko telah berhasil mengembangkan PPKS.  Keberhasilan mereka telah ditiru oleh Indonesia dalam mengembangkan beberapa PPKS. Di antara keberhasilan itu, ada masalah politisasi program yang cukup kompleks.

Ketika Lula da Silva terpilih sebagai presiden Brasil, dia mengganti program Bolsa Escola yang dilaksanakan pendahulunya, Fernando Henrique Cardoso, dengan program Fome Zero. Bolsa Escola bertujuan meningkatkan akses rumah tangga miskin pada pelayanan pendidikan dan kesehatan, sedangkan Fome Zero ingin mereduksi problem kelaparan.  Beberapa bulan kemudian Lula mengubah nama  Fome Zero menjadi Bolsa Familia, yang bertujuan sama dengan program Bolsa Escola. Perubahan ini dilakukan Lula karena Fome Zero gagal menjalankan misinya dan secara politis tidak akan menguntungkannya. Lula tidak akan pernah memiliki peluang memobilisasi pemilih menggunakan Fome Zero karena kegagalan program tersebut.

Bukan hanya itu, Lula jua membuat kementerian baru yang ditujukan untuk mengawal realisasi Bolsa Familia. Setelah memenangi pemilu kedua, secara jujur Lula menyatakan bahwa dia berutang budi kepada Bolsa Familia karena program itu telah membantunya menempati kursi presiden untuk kali keduanya.

Sama dengan yang dilakukan Lula, Ernesto Zedillo mengubah nama Pronasol yang dilaksanakan Presiden Carlos Salinas menjadi Progresa ketika Zedillo terpilih sebagai presiden di Meksiko. Nama Progresa pun diganti menjadi Oportunidades oleh Vicente Fox ketika Fox menggantikan Zedillo.

Secara politis, apa yang dilakukan Lula, Zedillo, dan Fox mungkin bisa dibenarkan, tetapi secara moral seharusnya itu tidak terjadi. Distribusi kesejahteraan seharusnya untuk meningkatkan kesetaraan, memperkuat integritas sosial, dan mereduksi kemiskinan (Goodin 1999), bukan untuk mewujudkan ambisi politik.

Yang penting dipikirkan oleh pemerintahan ke depan adalah bagaimana meletakkan fondasi kelembagaan yang mapan sehingga tujuan moral distribusi kesejahteraan bisa tercapai. Fondasi kelembagaan ini mencakup nama program, lembaga pelaksana program, dan aturan hukum yang mengaturnya. Dengan demikian, mulai dari pemerintahan Jokowi-JK sampai dengan pemerintahan selanjutnya, problem kelembagaan dan politisasi PPKS bisa diminimalkan.

Mulyadi Sumarto
Dosen dan Peneliti Senior UGM

Sumber: http://print.kompas.com/KOMPAS_ART0000000000000000008987211
Powered by Telkomsel BlackBerry®

Harapan Petani untuk Presiden (Dwi Andreas Santosa)

Satu hal yang luput dari para pengamat adalah peran petani yang luar biasa dalam memenangkan Joko Widodo-Jusuf Kalla sebagai pasangan presiden dan wakil presiden ketujuh.
Berdasarkan hasil survei yang dikeluarkan Kompas sehari setelah pencoblosan (Kompas 10/7/2014), petani menduduki posisi tertinggi dari kelompok pemilih yang memberikan suara ke Jokowi-JK, yaitu 59,4 persen. Urutan selanjutnya ibu rumah tangga (55,2 persen), pelajar/mahasiswa (54,1 persen), pedagang (51,3 persen), pengangguran (47,6 persen), pegawai swasta (40,4 persen), pensiunan (38,7 persen), dan pegawai negeri sipil (35,2 persen). Dengan jumlah rumah tangga petani 26,15 juta dan dengan asumsi terdapat tiga pemilih per rumah tangga, menghasilkan angka 78,45 juta. Apabila suara petani tersebar merata pada kedua kandidat (50-50), Jokowi-JK memperoleh angka 63.623.550 (47,63 persen) sehingga kalah dari Prabowo-Hatta dengan angka 69.950.744 (52,37 persen).

Meski miskin liputan media, petani bergerak luar biasa dalam memenangkan Jokowi-JK. Salah satunya melalui beragam organisasi relawan, seperti Seknas Tani Jokowi, Jokowi untuk Petani Nusantara, dan Aliansi Tani Indonesia Hebat. Ratusan ribu petani kecil menyumbangkan yang mereka miliki berupa gabah, beras, dan hasil pertanian lain untuk mendukung gerakan memenangkan Jokowi-JK.

Sudah puluhan tahun petani merindukan sosok yang mampu mengangkat penghidupan dan kehidupan mereka dari keterpurukan. Dalam khazanah Jawa itu diwujudkan dalam harapan munculnya Satrio Piningit atau Ratu Adil (istilah yang muncul pada zaman pujangga Keraton Mataram) yang diilhami dari mahakarya Prabu Sri Jayabaya dari Kerajaan Kediri (1135-1157 M). Hal sama dikatakan Soekarno pada pleidoi persidangan Landraad di Bandung 1930 yang menyatakan, "Apakah sebabnya sabda Prabu Jayabaya sampai hari ini masih terus menyalakan harapan rakyat? Tak lain ialah karena hati rakyat yang menangis itu, tak habis-habisnya menunggu-nunggu, mengharap-harapkan datangnya pertolongan." Pertolongan itu diharapkan datang dari Satrio Pinandhito Sinisihan Wahyu yang mampu membawa Indonesia gemah ripah loh jinawi toto tentrem kertoraharjo (mencapai kemakmuran) melalui suro diro joyoningrat lebur dening pangastuti (keluhuran budi mengalahkan angkara murka) atau meminjam istilah Jokowi melalui revolusi mental.

Ingatan itu terus membekas di kalangan masyarakat petani Jawa pada khususnya atau petani Indonesia pada umumnya. Pesta demokrasi lima tahunan yang selama ini berlangsung tak pernah menyuntikkan api semangat untuk petani sebesar pesta demokrasi tahun ini. Mereka memiliki harapan luar biasa.

Situasi petani kecil
Sebanyak 62,8 persen dari 28,55 juta jiwa penduduk miskin di Indonesia (2013) petani, sedangkan sebagian besar sisanya juga petani yang terpaksa keluar dari lahan garapan mereka. Sensus Pertanian menunjukkan tercerabutnya keluarga tani dari lahan garapan mereka sejumlah 500.000 rumah tangga per tahun selama 10 tahun terakhir. Data penurunan jumlah rumah tangga petani disambut gembira beberapa kalangan yang menunjukkan proses "involusi pertanian" berlangsung. Petani pindah profesi masuk sektor industri dan jasa, yang menyebabkan jumlah petani menurun yang berdampak positif karena jumlah lahan yang dikuasai per rumah tangga petani meningkat.

Fenomena itu tak terjadi, yang sebenarnya terjadi mereka didera kemiskinan akut sehingga terpaksa harus keluar dari lahan atau tanah garapan mereka. Sebagai contoh di Jawa Tengah, hampir di semua golongan luas penguasaan lahan, jumlah rumah tangga petani menurun 10 tahun terakhir. Hanya di kelompok petani yang memiliki luas lahan 0,1-0,2 hektar yang sedikit meningkat, sebanyak 8.658 rumah tangga tani. Penurunan drastis terjadi pada kelompok dengan luas lahan kurang dari 0,1 hektar, yaitu 1.321.787 keluarga tani. Kelompok kedua yang mengalami penurunan cukup besar adalah pemilik lahan 0,2 hektar-0,5 hektar dan 0,5 hektar-1 hektar. Bahkan petani kaya yang punya lahan lebih dari 1 hektar jumlahnya juga turun (diolah dari ST 2013). Fenomena konversi kepemilikan ini jauh lebih berbahaya bagi kelangsungan penyediaan pangan kita dibandingkan dengan sekadar konversi lahan dari pertanian ke non-pertanian.

Kesenjangan antara kelompok kaya dan miskin juga kian lebar. Hanya dalam tempo sangat singkat rasio Gini (alat ukur ketimpangan pendapatan penduduk, semakin tinggi semakin timpang) meningkat tajam dari 0,35 (2008) menjadi 0,41 (2013). Pendapatan per kapita petani saat ini jauh di bawah garis kemiskinan. Sebagian besar rumah tangga pertanian, petani padi, dan palawija, pendapatannya hanya Rp 912.000 per rumah tangga petani per bulan (diolah dari Iswadi, Kompas, 14/7). Padahal, mereka selama ini yang mencukupi kebutuhan pangan pokok kita.

Kajian penulis menghasilkan angka hampir mirip, antara Rp 1.000.000 dan Rp 1.300.000 per bulan per rumah tangga petani padi untuk lahan beririgasi teknis. Jika harus menyewa lahan, pendapatan petani hanya Rp 670.000-Rp 1.000.000 per bulan. Secara agregat (BPS 2014), rata-rata pendapatan rumah tangga pertanian dari usaha pertanian juga menghasilkan angka tak jauh berbeda dengan angka di atas, Rp 1,03 juta per bulan. Ironisnya, angka itu lebih rendah dari upah minimum provinsi terendah di Indonesia 2014. Upaya petani bertahan hidup menyebabkan mereka harus mengais rezeki di luar pertanian atau beralih usaha ke pertanian hortikultura yang berisiko sangat tinggi. Usaha budidaya cabe, misalnya, perlu modal Rp 50 juta-Rp 80 juta per hektar per musim, bawang merah Rp 35 juta-Rp 75 juta per hektar per musim. Ketika harga cabe jatuh hingga Rp 2.000 per kilogram seperti dua bulan lalu, itu menimbulkan dampak luar biasa bagi keluarga petani.

Impor pangan 10 tahun terakhir meningkat luar biasa, 173 persen untuk 8 pangan utama, sedangkan nilai devisa yang digunakan meningkat tajam dari 3,34 miliar dollar AS (2003) menjadi 14,90 miliar dollar AS (2013) atau hampir 4,5 kali lipat. Jika data itu disandingkan dengan anggaran pemerintah untuk pangan dan pertanian, akan menghasilkan ironi karena anggaran sektor itu meningkat 611 persen hanya dalam 9 tahun. Sering dikemukakan impor pangan serta integrasi masif sistem pangan Indonesia dengan global adalah penyebab utama yang menggerus kapasitas petani memproduksi pangan. Harga impor yang lebih murah (low artificial price) dan praktik dumping menyebabkan produk lokal dan produk petani kecil tergeser produk impor.

Harapan untuk presiden
Upaya meningkatkan kesejahteraan petani perlu menjadi tujuan utama pemerintah di bawah presiden terpilih. Pola pikir dan platform ketahanan pangan yang sudah dikerjakan puluhan tahun ini perlu dirombak mendasar sehingga dunia pertanian memiliki wajah yang sama sekali baru. Platform yang hanya menempatkan pangan sekadar komoditas perdagangan, menempatkan petani hanya sebagai obyek kebijakan, dan penekanan terlalu tinggi pada sisi konsumen perlu dirombak secara mendasar. Paradigma kedaulatan pangan yang dijanjikan presiden terpilih dan ingin diwujudkan di Indonesia perlu dirumuskan dengan tepat, benar-benar dipahami oleh semua birokrat, serta menjadi roh yang menjiwai semua perumusan kebijakan dan program pertanian dan pangan.

Sebagai penutup, visi pertanian Indonesia diharapkan: "Mewujudkan kedaulatan pangan dan reforma agraria untuk melayani dan memenuhi hak seluruh rakyat atas pangan yang menyehatkan serta peningkatan kesejahteraan keluarga tani melalui dukungan penuh negara terhadap redistribusi tanah untuk petani, pengarusutamaan pertanian keluarga dan agroekologi, serta pelindungan petani terhadap sistem perdagangan yang tidak adil" (deklarasi Aliansi Tani Indonesia Hebat, 1 Juni 2014). Penulis yakin harapan petani akan terpenuhi di pemerintahan mendatang. Dengan memuliakan petani dan meningkatkan kesejahteraan mereka, kita semua selamat dari jurang kehancuran.

Dwi Andreas Santosa Guru Besar Fakultas Pertanian Institut Pertanian Bogor; Ketua Umum Bank Benih Tani Indonesia

Sumber: http://print.kompas.com/KOMPAS_ART0000000000000000008986930
Powered by Telkomsel BlackBerry®

Regresi Politik 2014 (Mochtar Pabottingi)

Peta politik di tiap negara senantiasa berubah. Ernest Renan menulis, "A nation's existence is a daily plebiscite"—kehidupan suatu bangsa laiknya plebisit tiap hari.
Namun, yang kita ulas di sini bukanlah truisma seperti itu, bukan sekadar rangkaian perubahan yang niscaya terjadi pada tiap negara-bangsa kapan pun, melainkan sejauh mana rangkaian perubahan mengarah pada regresi atau pada progresi politik—pada kemunduran atau pada kemajuan politik. Lebih penting, bagaimana ekuasi atau asimetri di antara keduanya. Nasib bangsa kita ke depan sangat ditentukan oleh ekuasi atau asimetri demikian.

Kemunduran demokrasi
Pada "tahun politik" ini, bangsa kita dilanda sekaligus oleh tiga regresi politik yang berkumulasi besar dan berkelindan erat satu sama lain. Pertama, merajalelanya kampanye bermuatan fitnah atas dasar sentimen primordial mentah yang sulit dipertanggungjawabkan sepanjang bulan-bulan menjelang Pemilu Presiden 2014.

Kedua, menguatnya oportunisme politik, termasuk pada partai-partai Islam. Di sini oportunisme juga terasa sebagai pengkhianatan, yaitu kala dua-tiga partai pengusung awal reformasi bergabung ke kubu pimpinan tokoh yang tampak masih berorientasi pada Orde Baru dengan rekam jejak yang sangat kontroversial.

Ketiga adalah terjadi apa yang sulit untuk tidak disebut "laku begal" demi kepentingan politik picik dalam praktik legislasi menyangkut Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2009 tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (UU MD3). Dan pada hari-hari ini, kita menyaksikan kecenderungan ke arah "laku jegal" yang dilancarkan juga di DPR menyangkut RUU Pilkada. Pada kedua laku ini aroma hawa nafsu kekuasaan model Orde Baru yang miskin keabsahan kembali merebak. Dalam kaitan ini, kita perlu menambahkan bahwa laku penolakan berlebihan dari kubu Prabowo-Hatta untuk menerima kekalahan pada pilpres lalu juga termasuk preseden buruk. Itu belum pernah terjadi, baik masa demokrasi parlementer maupun sepanjang era reformasi.

Gabungan ketiga regresi ini merupakan kemunduran politik besar karena yang sekaligus dilanggar atau dikhianati adalah ideal-ideal sah dari kehidupan kita bernegara serta beragama di satu sisi dan rasionalitas demokrasi di sisi lain. Pelanggaran serempak terhadap ideal-ideal di ranah negara-bangsa, iman, dan rasionalitas demokrasi itu bisa berkomplikasi buruk ke masa depan. Di atas semuanya, itu bisa membuat bangsa kita keluar dari rel-rel yang sudah disepakati sejak masa kebangkitan nasional, revolusi kemerdekaan, dan pembentukan republik kita. Itu juga merupakan kemunduran (setback) serius dari agenda konsolidasi demokrasi di era reformasi.

Di ranah negara-bangsa, ketiga regresi itu sama sekali tak mengindahkan ideal-ideal Sumpah Pemuda, Pancasila, dan/atau ideal-ideal reformasi itu sendiri. Ketiganya juga tidak mengindahkan simbiosis faktual dan historis yang saling memperkuat antara nasion dan demokrasi. Simbiosis itu berlaku dalam semacam hukum baku politik bahwa manakala demokrasi dijalankan sebagaimana semestinya, ia akan memperkuat serat-serat nasion; dan manakala nasion dijunjung sebagaimana mestinya, ia akan memudahkan tumbuhnya demokrasi secara sehat dan subur.

Di ranah iman, tak sulit menemukan pendukung partai-partai Islam yang melupakan tuntutan agama mereka untuk tidak hanya menghindari, tetapi juga meniadakan laku dan iklim fitnah di sekitar kita. Mereka tak lagi peduli untuk "menegakkan mizan" dan/atau "bersaksi secara adil dan benar" serta menegakkan amar ma'ruf, nahi mungkar. Sudah seyogianya jika tuntutan etika politik berlaku jauh lebih kuat pada partai-partai agama dibandingkan dengan partai nonagama.

Rasionalitas demokrasi dilanggar jika prinsip "keabsahan prosedural" dan "keabsahan substansial" pada mekanisme pemerintahan dinafikan, termasuk pada penyusunan dan pengesahan UU. Kita ketahui, pengesahan revisi UU MD3 digenjot paksa di tengah kresendo politik Pilpres 2014. Itu bahkan disahkan tepat sehari sebelum hari pemungutan suara Pilpres 2014 itu! Maka, sulit bagi kita untuk tidak mengaitkannya dengan "laku begal".

Sudah merupakan konvensi universal demokrasi bahwa UU tidak boleh disusun, apalagi disahkan, secara stealthy—secara mencuri—ketika energi dan perhatian mayoritas warga negara dan terutama mayoritas pelaksana pemerintahan sepenuhnya tersedot pada puncak agenda politik nasional lima tahunan yang ultrapenting. Pada laku demikian, juga dilanggar prinsip kesetaraan tanding (level playing field) dan/atau niscayanya kecukupan musyawarah sejati (the sufficiency of true deliberation) dalam setiap proses legislasi.

Sama halnya, tidaklah mengherankan jika mayoritas masyarakat melihat ofensif untuk mengesahkan UU Pilkada melalui DPRD sekaligus sebagai upaya merampas kembali kedaulatan rakyat dan mempersulit kiprah pemerintahan baru. Yang dijunjung dan diusung oleh ofensif ini hanyalah kepentingan elitis-sektarian, serta laku gontok-gontokan—sama sekali bukan kepentingan nasional. Yang dilakukan adalah mencampakkan tuntutan akan terselenggaranya prinsip "pergiliran pemerintahan" secara tertib, tujuan utama pemilu—bagian mutlak dari rasionalitas demokrasi itu. Laku jegal seperti ini bisa berujung pada konsekuensi celaka, yaitu berlangsungnya pemerintahan tanpa pemerintahan sebab niat utamanya tidak untuk menciptakan kemaslahatan bersama (public good), tetapi merisikokan suatu kondisi tak menentu di ranah publik (a state of public uncertainty).

Mengingkari prinsip negara hukum
Baik laku begal legislasi maupun laku jegal pemerintahan di DPR mau tak mau akan membawa kita kembali ke dua pertanyaan sentral yang berkaitan menyangkut setiap pejabat publik dalam demokrasi. Pertama, apa yang terjadi dengan kedua kriteria utama, yaitu integritas dan kompetensi—atau moralitas dan otoritas—yang mereka harus penuhi kapan pun? Kedua, ini juga langsung membawa kita pada pertanyaan tercerahkan dari Giovanni Sartori, yaitu apakah kita melaksanakan demokrasi sebagai "preskripsi" (sebagai ihwal bertujuan luhur) ataukah semata-mata sebagai "deskripsi" (sebagai ihwal tanpa tujuan luhur)? Dalam bahasa Sartori: "Demokrasilah satu-satunya sistem pemerintahan yang adanya ditentukan oleh ideal-idealnya."

Kita dapat menyimpulkan bahwa kedua laku buruk di atas pada hakikatnya sama-sama mengingkari prinsip negara hukum—prinsip Rechtsstaat. Itu karena negara hukum sejati hanya bisa ditegakkan dengan mengindahkan kedua sisi dari prinsip dwi-keabsahan di atas: keabsahan prosedural dan keabsahan substansial. Di dalam legislasi, kian tinggi penghormatan pada prinsip dwi-keabsahan itu, kian kokoh pulalah bangunan negara-bangsa kita sebagai Rechtsstaat. Jika ini tercipta, kian mengecil pulalah frekuensi kasus yang harus ditangani oleh Mahkamah Konstitusi. Dengan kata lain, makin tinggi frekuensi kasus yang harus ditangani oleh MK, makin lemah pulalah negara-bangsa kita sebagai Rechtsstaat.

Penjumudan politik in toto demikian di dua ranah sentral ataupun dalam rasionalitas demokrasi tak pernah dialami oleh bangsa kita, di masa demokrasi parlementer sekalipun. Sejak kemerdekaan tak terlacak instance atau contoh momentum lain di mana ketiga regresi politik di atas berlaku sekaligus. Kita sungguh patut bersyukur bahwa terlepas dari gencarnya laku fitnah dan khianat di sepanjang proses Pilpres 2014, yang tampil sebagai pemenang tetap kubu yang hingga saat ini tetap menjunjung kriteria integritas—kompetensi atau moralitas-otoritas—kubu yang sungguh menangkap dan menjunjung ideal-ideal demokrasi. Kemenangan itu jelas menunjukkan bahwa mayoritas rakyat menolak laku fitnah dan laku khianat dalam bernegara-bangsa.

Joko Widodo mungkin satu-satunya presiden terpilih di dunia yang tak menghendaki para relawan pendukungnya selama pilpres bubar setelah dia terpilih. Itu berarti bahwa mengatasi semua presiden yang terpilih lewat pilpres, ia menunjukkan tekad terbuka untuk terus tegak pada ideal-ideal kampanyenya. Hanya kepemimpinan politik yang bisa secara tulus menyentuh kalbu serta menangkap hasrat-hasrat murni-terdalam pada bangsanya yang akan sanggup menggalang kekuatan raksasa menuju masa depan yang lebih baik: suatu negara-bangsa yang integer vitae, scelerisque purus, yang "makmur terpuji di bawah lindungan Tuhan yang Maha Pengasih".

Mochtar Pabottingi Profesor Riset LIPI

Sumber: http://print.kompas.com/KOMPAS_ART0000000000000000009040653
Powered by Telkomsel BlackBerry®

Inggris Siap Serbu NIIS (Kompas)

Seperti sudah diduga, Inggris bergabung dengan Amerika Serikat dalam serangan udara melawan kelompok militan Negara Islam di Irak dan Suriah.
Pemenggalan kepala pekerja kemanusiaan asal Inggris, David Haines (44), oleh kelompok militan NIIS, pertengahan September lalu, membuat Perdana Menteri Inggris David Cameron yang semula menolak bergabung dengan AS akhirnya setuju bergabung.

PM Cameron mendapatkan dukungan dari Parlemen Inggris untuk bergabung dengan AS dalam serangan udara atas NIIS di Irak dengan 542 suara mendukung dan 43 menentang. Bersama dengan Inggris, juga bergabung Perancis, Belanda, Australia, Belgia, dan Denmark dalam serangan udara terhadap NIIS di Irak.

Enam jet tempur Tornado Inggris telah disiagakan di pangkalan udara Inggris di Akrotiri, Siprus, Jumat (26/9). Selain negara Barat, ada 9 negara Arab yang bergabung dalam koalisi yang dipimpin AS itu, yakni Bahrain, Kuwait, Uni Emirat Arab, Mesir, Irak, Jordania, Lebanon, Arab Saudi, dan Qatar. Turki menolak untuk bergabung dan menolak pangkalan udaranya di wilayah selatan digunakan sebagai basis serangan udara terhadap NIIS. Penolakan itu, kata Turki, karena tidak mau membahayakan nasib 49 warganya yang disandera NIIS dari Konsulat Turki di Mosul, Irak utara.

Sebagai kelompok militan Sunni, NIIS memaksa warga Syiah dan non-Muslim di wilayah yang telah dikuasainya untuk berpindah agama. Yang menolak langsung dibunuh oleh mereka.

Kepada Parlemen, Cameron mengingatkan, aksi militer melawan NIIS memerlukan waktu bertahun-tahun. Pejabat Inggris yakin ada 500 warga negara Inggris yang bergabung dan berperang bersama NIIS.

Sepak terjang dan kekejaman NIIS di Suriah dan Irak itu membuat sebagian besar negara Arab bergabung dengan negara Barat untuk meredam NIIS. Banyak negara yang ikut memerangi NIIS itu meningkatkan kehati-hatian mereka di dalam negeri mengingat tidak sedikit warga negaranya yang ikut bergabung bersama NIIS. Ada kekhawatiran bahwa warga yang pulang dari perjuangan bersama NIIS bergabung dengan simpatisan NIIS di dalam negeri dan membuat kekacauan. Perdana Menteri Irak Haider al-Abadi, saat menghadiri Sidang Umum Majelis PBB di New York, mengungkapkan rencana NIIS menyerang jaringan kereta bawah tanah AS dan Perancis, tetapi tidak ada bukti kuat terkait ancaman tersebut.

Tindak kekerasan yang dilakukan NIIS itu memang sulit diterima oleh siapa pun, tetapi kita berharap koalisi besar yang memerangi NIIS tersebut mempunyai strategi lain, kecuali hanya melancarkan serangan udara. Hal itu karena, kekerasan yang dilawan dengan kekerasan hanya akan membuat kekerasan itu bereskalasi.

Sumber: http://print.kompas.com/KOMPAS_ART0000000000000000009167959
Powered by Telkomsel BlackBerry®

Korupsi Tiga Gubernur (Komas)

Mengejutkan! Itulah reaksi spontan mendengar berita Komisi Pemberantasan Korupsi menangkap Gubernur Riau (2014-2019) Annas Maamun.
Annas yang juga Ketua Dewan Pimpinan Daerah Partai Golkar Riau itu ditangkap KPK bersama pengusaha Gulat Manurung. Annas diduga menerima suap sekitar Rp 2 miliar terkait kasus alih fungsi lahan seluas 140 hektar di Kabupaten Kuantan Singingi, Riau. Ia kini ditahan KPK.

Isu korupsi Gubernur Riau ini mengejutkan karena sebelumnya, Gubernur Riau Rusli Zainal—yang digantikan Annas—terjerat korupsi. Rusli, Gubernur Riau periode 2003-2013, terjerat korupsi terkait pelaksanaan Pekan Olahraga Nasional XVIII di Riau. Rusli divonis 14 tahun penjara oleh Pengadilan Negeri Pekanbaru dan dikurangi menjadi 10 tahun penjara oleh Pengadilan Tinggi Riau.

Sebelum Annas dan Rusli, masyarakat juga masih ingat ketika Gubernur Riau (1998-2003) Saleh Djasit terjerat kasus korupsi pembelian mobil pemadam kebakaran yang merugikan negara Rp 4,7 miliar. Saleh Djasit divonis 4 tahun penjara.

Penangkapan Annas oleh KPK, Kamis malam, sempat dimanfaatkan untuk membenarkan bahwa ada kaitan antara pilkada langsung dan korupsi. DPR memang sedang membahas RUU Pilkada, yang salah satu pasal yang diperdebatkan adalah pilkada langsung atau pilkada DPRD. Menteri Dalam Negeri Gamawan Fauzi seperti dikutip Liputan6.com berkomentar, "Prihatin. Terbukti ada hubungan antara pilkada langsung, kasus korupsi."

Apakah memang ada korelasi antara pilkada langsung dan korupsi sebenarnya masih membutuhkan pembuktian. Annas dan Rusli memang Gubernur Riau yang dipilih secara langsung oleh rakyat. Adapun Saleh Djasit bukanlah gubernur yang dipilih secara langsung oleh rakyat. Saleh dipilih oleh DPRD.

Korupsi tak bisa langsung dikaitkan dengan sistem pemilihan kepala daerah. Karena faktanya, ada tiga menteri dari Kabinet Indonesia Bersatu terjerat kasus korupsi. Ada Ketua Mahkamah Konstitusi Akil Mochtar yang dipilih DPR divonis seumur hidup karena terkait korupsi. Pejabat karier Inspektur Jenderal Djoko Susilo dihukum karena kasus korupsi.

Korupsi terjadi karena pertemuan dua faktor. Faktor keinginan untuk korup dan faktor kesempatan melakukan korupsi. Ketika kesempatan korupsi terbuka karena pengawasan lemah dan ada niat untuk korupsi, terjadilah korupsi itu. Ada politisi, ada hakim, ada jaksa, ada polisi, ada duta besar, semuanya bisa terjerat korupsi.

Kembali kepada kasus Gubernur Riau, kita memandang diperlukan penelitian mendalam untuk menjawab fenomena itu. Parpol yang melakukan pengaderan pemimpin juga perlu melakukan introspeksi diri, mengapa karier tiga Gubernur Riau, Saleh Djasit, Rusli Zainal, dan Annas Maamun, ketiga politisi Partai Golkar, harus berakhir di penjara. Lembaga penegak hukum dan kementerian dalam negeri perlu mengaudit sistem pencegahan korupsi, di semua lini, dan khususnya di Riau.

Sumber: http://print.kompas.com/KOMPAS_ART0000000000000000009150149
Powered by Telkomsel BlackBerry®

Politik ”Berisik” Menyandera Rupiah (A Tony Prasetiantono)

Sulit sekali untuk tidak mengaitkan depresiasi rupiah akhir pekan lalu (26/9) dengan hiruk-pikuk politik di gedung parlemen Senayan. Drama percekcokan DPR hingga lewat Kamis (25/9) tengah malam, yang mengubah dari sistem pilkada secara langsung oleh rakyat menjadi pemilihan kepala daerah oleh DPRD, telah memicu respons negatif pasar. Keputusan ini dianggap sebagai langkah mundur demokrasi yang sudah susah payah dibangun sejak reformasi digulirkan Mei 1998.

Rupiah pun terempas ke level Rp 12.048 per dollar AS dari sebelumnya Rp 11.979 per dollar AS. Hal yang paralel juga terjadi di pasar modal. Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) melemah ke level 5.132 dari sebelumnya 5.201. Meski harus diakui, tanpa tambahan sentimen negatif dari ranah politik pun, rupiah sudah terkena sandwich, yakni ditekan dari sisi eksternal dan internal.

Dari sisi eksternal, membaiknya perekonomian AS menyebabkan aliran dana global tersedot balik ke New York (sudden reversal). Bursa di Wall Street menyedot modal dari seluruh dunia untuk membeli aset surat berharga berdenominasi dollar AS. Akibatnya, pekan lalu indeks Dow Jones menguat ke 17.210, atau level yang lebih kuat daripada saat krisis tahun 2008.

Indeks Wall Street runtuh dari level 17.000-an ke 9.000-an sesudah Lehman Brothers bangkrut pada September 2008. Perlu enam tahun bagi perekonomian AS untuk mengembalikan indeks ke level semula. Membaiknya perekonomian AS juga dideteksi dari penjualan mobil yang kini 17,5 juta unit setahun, mendekati level normal sebelum krisis 2008, yakni 18 juta unit. Saat krisis, penjualan mobil hanya 9 juta unit.

Meski demikian, pada akhir pekan lalu, indeks Dow Jones terkoreksi 1,5 persen dari 17.210 ke 16.945. Penyebabnya, pertama, karena indeks harga sudah mencapai titik yang tinggi sehingga sudah saatnya investor merealisasikan keuntungannya (profit taking). Kedua, meski secara umum gambaran perekonomian AS membaik, data terbaru (Juli 2014) tentang absorpsi tenaga kerja jauh di bawah ekspektasi (hanya 130.000 orang, di bawah ekspektasi minimal 200.000 orang). Timbul reinterpretasi bahwa perekonomian AS belum pulih.

Terkoreksinya indeks Dow Jones diikuti bursa Nikkei di Tokyo yang merosot, tetapi indeks Straits Times Singapura malah menguat. Adapun IHSG Jakarta, pada Jumat pagi sebelum bursa dibuka (Jumat pagi di New York atau Jumat malam di Jakarta), lebih dulu melemah 1,3 persen ke 5.132. Investor lebih banyak menjual sehingga berbeda (net sell) Rp 1,42 triliun.

Dari sisi internal, tidak terjadi perubahan dalam fundamen ekonomi kita. Tidak ada data ekonomi yang bisa mengubah persepsi, yang bisa mengayunkan kurs rupiah dan IHSG terperosok signifikan. Memang ada revisi APBN 2015 yang disepakati pemerintah dan DPR, tetapi dengan angka baru yang tidak terlalu signifikan berubah, sulit menuduh data itu menjadi penyebab rupiah dan IHSG merosot.

Inflasi tahun depan, misalnya, ditargetkan 4,4 persen. Interpretasinya adalah kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM) tidak dilakukan tahun 2015. Karena jika harga BBM naik tahun 2015, inflasinya bakal lebih tinggi, minimal 6 atau 7 persen. Dengan demikian, sangat terbuka kemungkinan kenaikan harga BBM dilakukan tahun ini, misalnya pada November 2014. Jika ini benar, sebenarnya bakal timbul sentimen positif bahwa salah satu persoalan terbesar fiskal kita bisa segera diatasi. Besarnya beban subsidi BBM tahun depan Rp 291 triliun bakal dapat dikurangi.

Kenyataannya kini rupiah dan IHSG masih minim sentimen. Lalu, apa yang harus dilakukan? Sesungguhnya, perekonomian Indonesia perlu bantuan sentimen dari ranah politik. Pengalaman India, saat pemilu pada Mei 2014 sukses dan pemerintahan baru Perdana Menteri Narendra Modi terbentuk, modal asing pun masuk. Mata uang rupee menguat dari 64 rupee menjadi 60 rupee per dollar AS. Sepanjang politik dijaga stabilitasnya, tidak "berisik", rupee pun menguat dan stabil.

Ke depan, kita perlu menagih janji Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, selaku Ketua Umum Partai Demokrat, untuk melakukan beragam inisiatif mengembalikan kekuasaan rakyat secara langsung dalam memilih pemimpinnya pada level provinsi, kabupaten, dan kota. Partai Demokrat blunder saat walk out di DPR. Oleh karena itu, sebagai kompensasinya, penting untuk mengembalikan supremasi rakyat dalam menata demokrasi. Sebuah sentimen positif di pasar uang dan pasar modal.

Dalam perekonomian yang kian dinamis, sulit sekali untuk mengisolasi variabel ekonomi dari gejolak politik. Mengapa? Karena ilmu ekonomi (economics) pada hakikatnya adalah ilmu yang berbasis pada perilaku (behaviors) manusia. Sebagai contoh, ketika The Fed menurunkan suku bunga dari 6,5 persen ke 0,25 persen tidak serta-merta disambut kenaikan konsumsi rumah tangga dan investasi. Kenapa? Karena, pada saat itu, tingkat kepercayaan (confidence level) sedang rendah. Perekonomian AS tidak cukup digerakkan oleh variabel kuantitatif suku bunga, tetapi juga perlu bantuan variabel kualitatif berupa sentimen pasar. Hal ini pula yang amat diperlukan perekonomian kita.

Kita berharap politisi, parlemen, dan unsur masyarakat lain menyadari betapa penting menjaga ketenteraman politik. Sejumlah variabel ekonomi fundamental tidaklah cukup untuk menegakkan rupiah. Jika rupiah terus tertekan di atas Rp 12.000 per dollar AS, akan berakibat buruk. Bank Indonesia terpaksa harus melakukan dua hal: (1) menaikkan BI Rate agar tidak ada pelarian modal dan (2) melakukan intervensi yang akan mengurangi cadangan devisa yang saat ini cukup terjaga pada 111 miliar dollar AS.

Rupiah juga memerlukan sentimen positif dari sisi fiskal. Kondisi APBN yang dirongrong oleh subsidi BBM harus segera disehatkan. Presiden Yudhoyono hendaknya membantu pemerintahan baru dalam melobi parlemen agar bisa menyehatkan fiskal melalui kenaikan harga BBM pada November 2014. Hanya cara itulah "utang" berupa blunder politik yang lalu dapat dibayarkan.

A Tony Prasetiantono Kepala Pusat Studi Ekonomi dan Kebijakan Publik UGM

Sumber: http://print.kompas.com/KOMPAS_ART0000000000000000009166421
Powered by Telkomsel BlackBerry®

Sabtu, 27 September 2014

Waspadai Antraks (Soeharsono)

KOMPAS (16/9) menurunkan berita "Kekeringan, Bobot Ternak di Sumba dan Timor Turun Drastis".
Kejadian kekeringan terjadi hampir setiap musim kemarau di Nusa Tenggara Timur. Namun, musim kemarau saat ini tampaknya cukup parah sehingga berat badan sapi turun 50 kilogram-100 kilogram per ekor, kata Nggada Yabu, seorang peternak. Sebagai daerah sumber ternak dan salah satu penyedia daging bagi Jakarta dan sekitarnya, kejadian ini tentu berdampak negatif. Terlebih lagi saat ini menjelang hari raya Idul Adha, saat kebutuhan hewan kurban akan meningkat.

Dampak lain dari kekeringan ialah potensi terjadi wabah penyakit antraks. Antraks tidak hanya mematikan ternak (sapi, kerbau, kuda, kambing, domba, dan babi), tetapi bisa juga menular ke manusia (bersifat zoonotik). Wilayah Sumba dan bagian Nusa Tenggara Timur yang lain merupakan daerah tertular antraks sejak zaman penjajahan Belanda.

Penulis pernah melakukan penyidikan antraks di Kecamatan Ngadungala, Sumba Timur (1980). Pada saat itu ditemukan 280 kuda, 150 sapi, 50 kerbau, dan 13 babi mati dari dua peternakan besar. Di samping itu, ditemukan pula 14 orang tertular antraks.

Bagaimana kaitan antraks dengan kekeringan dan bagaimana mengantisipasi penularan ke ternak ataupun manusia?

Ekologi antraks
Tulisan Van Ness dalam jurnal Science (1971) tentang ekologi antraks patut disimak. Penyebab antraks, yakni Bacillus anthracis, akan menjadi spora apabila lingkungan di sekitarnya, seperti keasaman (pH) tanah dan suhu, tidak mendukung hidupnya. Di dalam tanah, spora antraks tahan sampai puluhan tahun. Oleh karena itu, antraks sangat sulit diberantas. Negara maju seperti Amerika Serikat dan Australia pun masih tertular antraks.

Apabila faktor lingkungan sekitar mendukung (tanah berkapur/pH basa, suhu tinggi, dan musim kemarau panjang), spora antraks di dalam tanah akan berubah menjadi bentuk vegetatif dan berkembang biak bagaikan di media buatan dalam inkubator. Jika populasi ternak di tempat tersebut cukup tinggi dan belum divaksinasi antraks, dapat diprediksi akan terjadi wabah.

Ketika penulis berada di Sumba Timur (1980) dan mencoba menelusuri data curah hujan di wilayah tersebut, selama lima tahun terakhir, terungkap bahwa saat itu merupakan angka terendah. Faktor lingkungan yang ditemukan di Sumba Timur pada saat itu mendukung hipotesis Van Ness.

Dari jauh, penulis menyaksikan banyak sapi yang sangat kurus dengan tulang iga sangat menonjol. Ini menunjukkan bahwa sapi-sapi itu kekurangan makanan dalam tempo relatif lama. Karena rumput langka, kulit kayu pun dimakan sapi. Penulis juga pernah menemukan seekor sapi sangat kurus terduduk di tepi kubangan: tidak mampu berdiri.

Sumber air yang kurang (Kompas, 16/9) membuat ternak akan berebut air minum dan berkubang (biasanya kerbau) di tempat yang sangat terbatas sehingga penularan penyakit makin mudah.

Antisipasi
Cara paling mudah, murah, dan efektif mencegah antraks adalah dengan vaksinasi massal ternak di daerah tertular. Vaksinasi perlu dilakukan setiap tahun dan dimulai pada awal musim kemarau. Pemerintah telah mampu memproduksi vaksin antraks melalui Pusat Veteriner Farma di Wonocolo, Surabaya, Jawa Timur. Karena kasus antraks tidak selalu ditemukan tiap tahun, dinas peternakan yang mengurusi kesehatan hewan sering lengah melakukan vaksinasi massal.

Untuk mencegah penularan ke manusia, ternak yang akan dipotong menjalani pemeriksaan antemortem (sebelum dipotong) dan postmortem (setelah dipotong). Pemeriksaan dilakukan di rumah pemotongan hewan oleh dokter hewan atau petugas terlatih. Daging yang telah diperiksa diberi tanda apabila "lulus" dari pemeriksaan. Dengan cara ini, pemerintah menjaga kesehatan daging yang akan dibeli oleh konsumen.

Penularan antraks ke manusia umumnya terjadi karena hewan dipotong di luar rumah pemotongan hewan, tanpa pengawasan dokter hewan. Tindakan ini ilegal, tetapi masih sering ditemukan.

Patut disyukuri, belakangan ini dokter hewan dan mahasiswa kedokteran hewan dilibatkan dalam pemeriksaan antemortem hewan korban sehingga kemungkinan penularan penyakit dari hewan ke manusia dapat diperkecil.

Soeharsono
Dokter Hewan; Mantan Penyidik Penyakit Hewan; Berdomisili di Bali

Sumber: http://print.kompas.com/KOMPAS_ART0000000000000000008986449
Powered by Telkomsel BlackBerry®

Visi Bersama AS-RI Melawan NIIS (Robert O Blake)

Rakyat Amerika dan Indonesia sama-sama dikejutkan oleh gambar-gambar mengerikan yang memperlihatkan tindak kekerasan yang tidak berperikemanusiaan yang dilakukan oleh Negara Islam di Irak dan Suriah atau NIIS.
Kekejaman NIIS, seperti yang digambarkan oleh pejabat-pejabat Irak, termasuk aksi pembantaian terhadap 1.000 orang
di Mosul, di antaranya 100 anak-anak, dan juga pembunuhan, pemerkosaan, pembakaran, serta perdagangan perempuan yang tidak berdosa di kota Sinjar. Diperkirakan lebih dari 800.000 orang terpaksa mengungsi karena takut menjadi korban berikutnya.

NIIS merupakan ancaman besar bagi semua bangsa dan agama di dunia: mereka mengganggu keamanan dan mengancam perdamaian di Timur Tengah serta berpotensi menyebarkan ideologi mereka yang penuh kebencian di negara kita.

Presiden Susilo Bambang Yudhoyono secara tepat telah menyatakan bahwa ajaran-ajaran NIIS adalah ajaran yang sesat dan merupakan ancaman bagi identitas Indonesia sebagai bangsa yang beraneka ragam dan menghormati perbedaan. Di seluruh lapisan di Indonesia–mulai dari Presiden Yudhoyono hingga tokoh masyarakat di level akar rumput, dari organisasi Islam terbesar hingga partai politik kecil dan lingkungan RT/RW—negara ini bersatu padu menolak NIIS. Sebagaimana yang telah dilakukan Pemerintah Indonesia pada awal bulan ini, Pemerintah Amerika Serikat telah menyusun sejumlah strategi untuk menangkal ancaman NIIS.

Strategi AS
Pada 10 September 2014, Presiden AS Barack Obama mengumumkan strategi AS dalam mendukung pembentukan sebuah koalisi internasional yang bertujuan memerangi NIIS dari berbagai arah. Rencana ini tidak dapat berjalan dengan sendirinya. Karena itu, kami sangat menghargai komitmen yang diberikan oleh 40 mitra internasional kami dalam mendukung upaya untuk mengalahkan NIIS.

Tindakan-tindakan langsung yang dibutuhkan saat ini meliputi serangan-serangan terarah demi memerangi NIIS dan mencegah mereka mendapatkan tempat berlindung. Kami mempunyai tugas kemanusiaan menghentikan aksi kekerasan yang dilakukan NIIS.

Usaha-usaha kami ini ditujukan untuk mencegah NIIS serta aksi-aksi mereka dalam menciptakan lebih banyak lagi kerusakan dan penderitaan. Pengerahan kekuatan militer hanyalah satu bagian dari strategi komprehensif multisektoral kami yang meliputi berbagai kebijakan dan aksi dengan jangkauan yang luas, yang semuanya dibutuhkan demi mencapai keberhasilan. Bahkan, Indonesia dan AS saat ini secara bersamaan telah
melakukan berbagai tindakan
serupa.

Kerja sama internasional merupakan salah satu fokus utama strategi kami. Melalui kerja sama dengan para mitra regional dan internasional, kami akan terus menggunakan kemampuan anti terorisme yang luas untuk mencegah serangan NIIS. Dengan bekerja sama dengan para mitra, kami juga akan melipatgandakan usaha-usaha kami memutus aliran dana teroris, mencegah penyebaran ideologi mereka yang sesat, meningkatkan kemampuan intelijen kami, memperkuat pertahanan, dan mencegah arus keluar masuk pejuang-pejuang asing ke Timur Tengah. Semua inisiatif dan usaha seperti itu yang sebetulnya telah dilakukan secara tegas oleh Indonesia.

Menyalurkan bantuan kemanusiaan merupakan elemen paling penting lainnya dalam strategi kami. Kami akan terus bekerja sama dengan komunitas internasional untuk menyalurkan bantuan kemanusiaan bagi para warga sipil yang tak berdosa di Irak dan Suriah yang hidup telantar akibat tindakan yang dilakukan organisasi teroris ini. Ini termasuk kelompok Suni dan Syiah yang telah lama menanggung beban berat akibat tindakan teror ini, belum lagi puluhan ribu kelompok agama minoritas.

Mengetuk hati nurani
Kami mengetuk hati nurani mereka yang mencintai perdamaian, di mana pun berada, untuk memberi bantuan kemanusiaan pada saat sangat genting ini. Terlepas dari semua perbedaan yang ada, kita tidak bisa berpaling dari mereka yang sangat membutuhkan bantuan kebutuhan hidup dasar.

Upaya jangka panjang AS bersama para mitra kami di antaranya mendukung tata kelola pemerintahan yang efektif di Irak, mengenyahkan dan menghancurkan tempat persembunyian NIIS, serta meningkatkan kapasitas para mitra. Irak yang bersatu dan mitra-mitra di wilayah yang kuat akan menjamin kemerdekaan serta keamanan pada masa mendatang.

Menjadi tanggung jawab kita semua menangkal serta mencegah pengaruh buruk dengan mendorong perdamaian dan toleransi—nilai-nilai yang telah kita anut bersama—dalam kehidupan kita sehari-hari. Dengan demikian, kita dapat memastikan
bahwa nilai demokrasi kita berjalan sesuai dengan cita-cita yang terkandung dalam semboyan negara Bhinneka Tunggal Ika dan E Pluribus Unum (berbeda tetapi satu).

Kami bertekad bekerja sama dengan mitra-mitra kami menghadapi tantangan berat yang dihadapi. Bekerja sama dan bahu-membahu dengan mereka yang mendedikasikan diri pada kemerdekaan, keamanan, serta perdamaian, kami menekankan nilai-nilai kemanusiaan dan universal bersama yang turut menopang kedua negara demokrasi kita yang luar biasa.

Robert O BlakeDuta Besar Amerika Serikat untuk Indonesia

Sumber: http://print.kompas.com/KOMPAS_ART0000000000000000009039989
Powered by Telkomsel BlackBerry®

Ekstrak Hukuman untuk Koruptor (Emerson YunTho)

TIDAK hanya kulit manggis, ternyata hukuman untuk koruptor sekarang ada juga ekstraknya. Kecuali bagi koruptor, tentu saja ini bukan kabar gembira untuk kita semua. Salah satu cara mengekstrak hukuman untuk koruptor adalah melalui pemberian remisi dan pembebasan bersyarat.
Setidaknya dengan dua cara itu, koruptor tak perlu menjalani seluruh hukuman penjara sesuai dengan perintah hakim. Jika remisi dan pembebasan bersyarat diperoleh, koruptor cukup menjalani setengah atau dua per tiga dari hukuman yang seharusnya.

Kabar terbaru penerima ekstrak hukuman melalui pembebasan bersyarat yang dinilai kontroversial adalah Hartati Murdaya, terpidana perkara korupsi penyuapan terhadap Bupati Buol Amran Batalipu. Pada 4 Februari 2013, oleh hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta, Hartati dinyatakan bersalah karena secara bersama-sama melakukan suap dan dihukum selama 2 tahun 8 bulan penjara. Jika mendasarkan pada putusan hakim, tanpa adanya remisi dan pembebasan bersyarat, Hartati seharusnya baru bisa bebas akhir 2015.

Namun, yang mengejutkan, beberapa hari lalu Hartati keluar lebih cepat dari penjara karena mendapat pembebasan bersyarat dari Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia (HAM) Amir Syamsuddin. Pihak Kementerian Hukum dan HAM menyatakan bahwa Hartati telah memenuhi syarat dan prosedur untuk mendapatkan pembebasan bersyarat.

Apakah betul pembebasan bersyarat terhadap Hartati Murdaya sudah memenuhi syarat atau sesuai dengan aturan hukum yang berlaku? Ketentuan tentang pembebasan bersyarat untuk korup- tor diatur dalam Peraturan Pemerintah RI Nomor 99 Tahun 2012 tentang Perubahan Kedua atas Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 32 Tahun 1999 tentang Syarat dan Tata Cara Pelaksanaan Hak Warga Binaan Pemasyarakatan atau PP No 99/2012.

Pada saat PP No 99/2012 diterbitkan, pemerintah mengklaim bahwa regulasi ini merupakan upaya pemerintah mendukung upaya pemberantasan korupsi. PP No 99/2012 mengatur pengetatan terhadap pemberian remisi dan pembebasan bersyarat untuk pelaku tindak pidana korupsi.

Dalam Pasal 43 A Ayat 1 Huruf a PP No 99/2012 disebutkan bahwa selain telah menjalani 2/3 masa pidananya, salah satu syarat penting bagi seorang narapidana korupsi untuk mendapatkan pembebasan bersyarat adalah narapidana tersebut bersedia bekerja sama dengan penegak hukum untuk membantu membongkar perkara tindak pidana yang dilakukannya.

Selanjutnya, Pasal 43 A Ayat 3 jelas menyebutkan, "Kesediaan untuk bekerja sama sebagaimana dimaksud pada Ayat (1) Huruf a harus dinyatakan secara tertulis oleh instansi penegak hukum sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan". Lalu, Pasal 43 B pada intinya menyebutkan, Direktur Jenderal Pemasyarakatan dalam memberikan pertimbangan kepada Menteri Hukum dan HAM wajib meminta rekomendasi dari instansi terkait, yakni Kepolisian Negara Republik Indonesia, Kejaksaan Agung, dan/atau Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), dalam hal narapidana dipidana karena melakukan tindak pidana korupsi.

Nyata-nyata menolak
KPK, sebagai institusi yang menangani perkara korupsi yang melibatkan Hartati, sudah nyata-nyata menolak kapasitas Hartati sebagai justice collaborator. Komisi anti korupsi ini juga menolak memberikan rekomendasi agar Hartati mendapatkan pembebasan bersyarat. Artinya, berdasarkan PP No 99/2012, syarat pembebasan bersyarat untuk Hartati tidak terpenuhi alias batal demi hukum. Dengan demikian, Menteri Hukum dan HAM yang paham hukum seharusnya tidak perlu ragu membatalkan surat keputusan tentang pemberian pembebasan bersyarat untuk Hartati.

Remisi dan pembebasan bersyarat untuk seorang koruptor, termasuk dalam hal ini Hartati Murdaya, sangat mengecewakan dan merupakan cermin buruk bagi upaya pemberantasan korupsi. Komitmen pemberantasan korupsi pemerintah, khususnya Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, dapat dikatakan sudah luntur.

Masyarakat masih ingat bahwa Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan jajarannya pernah menyatakan tidak akan kompromi terhadap koruptor. Namun, adanya pemberian remisi dan juga pembebasan bersyarat bagi koruptor justru menunjukkan bahwa pemerintah telah berkompromi, bahkan memberikan keistimewaan bagi terpidana korupsi ini.

Kondisi ini juga sangat ironis dan bertolak belakang dengan upaya pemberantasan korupsi yang dilakukan institusi penegak hukum. Pada saat KPK berjuang memberantas korupsi dan menjebloskan koruptor ke penjara, justru yang terjadi Menteri Hukum dan HAM terkesan berjuang agar koruptor segera dibebaskan dari penjara ataupun mengurangi hukumannya.

Masih ada waktu untuk SBY
Tentu saja KPK adalah pihak yang dirugikan oleh kebijakan yang dinilai tidak pro pemberantasan korupsi ini. Data Indonesia Corruption Watch hingga Agustus 2014 mengungkapkan sedikitnya sudah 26 terpidana korupsi, yang kasusnya ditangani oleh KPK, mendapatkan pembebasan bersyarat dari Kementerian Hukum dan HAM. Beberapa narapidana perkara korupsi, seperti Abdullah Puteh, Artalyta Suryani, Suwarna Abdul Fatah, Aulia Pohan, Rokhmin Dahuri, dan Rusdiharjo, pernah mendapatkan ekstrak hukuman melalui pembebasan bersyarat. Mereka dapat menghirup udara bebas lebih cepat daripada waktu yang ditentukan hakim.

Masih ada waktu tersisa bagi Presiden Susilo Bambang Yudhoyono membuktikan janji sebagai pemimpin paling depan dalam upaya pemberantasan korupsi dan tidak akan kompromi terhadap koruptor. Presiden Yudhoyono wajib melakukan koreksi atas kesalahan yang dilakukan oleh Menteri Hukum dan HAM selaku bawahan Presiden dengan membatalkan pembebasan bersyarat untuk Hartati.

Jika koreksi tidak dilakukan oleh Menteri Hukum dan HAM, pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono nantinya akan dikenang buruk di mata rakyat sebagai pemerintahan yang tidak mendukung KPK dan pemberantasan korupsi.

Emerson Yuntho
Anggota Badan Pekerja Indonesia Corruption Watch

Sumber: http://print.kompas.com/KOMPAS_ART0000000000000000008987214
Powered by Telkomsel BlackBerry®

”Sandyakalaning” Partai Politik (SUWIDI TONO)

YOSEPH Lagadoni Herin, tahun 2004, pamit dari media yang saya pimpin untuk mengikuti pemilihan kepala daerah di kampung halamannya, Flores Timur, Nusa Tenggara Timur.
Maju sebagai calon wakil bupati dari koalisi tiga partai "gurem" (hanya 5 kursi di DPRD) dan berpasangan dengan Simon Hayon (Golkar), mereka memenangi Pilkada 2005. Ia bahkan terpilih menjadi bupati daerah yang sama periode 2011-2016, antara lain dengan mengalahkan mantan koleganya itu.

Yoseph tak punya amunisi, kecuali "paspor" wartawan Media Otonomi. Ia rajin berkeliling dan menginap di desa-desa untuk mendengar bukan berpidato, mencatat aspirasi rakyat tanpa mengumbar janji, merekam keluh kesah para tetua adat, dan tidak memberi iming-iming bantuan. Ia hadirkan portofolionya langsung ke konstituen secara intens dalam jangka waktu cukup lama.

Kisahnya dan beberapa kepala daerah yang "merangkak" dari bawah memberi beberapa pelajaran penting. Pertama, modal bukan segala-galanya bagi calon kepala daerah. Kedekatan tak bersekat dengan rakyat lebih menentukan. Kedua, tidak semua pemilih bisa "dibeli" suaranya atau diarahkan. Ketiga, figur nonpartai menjadi alternatif manakala koalisi partai gagal mencapai konsensus untuk mengusung kadernya. Keempat, nama baik dan kehormatan leluhur menjadi legasi sekaligus memberi leverage tinggi.

Titik berat otonomi
Kendati hanya minoritas, satu-dua tokoh independen masih mewarnai pilkada langsung. Pola perekrutan, seleksi, hingga penentuan kandidat tetap didominasi partai politik. Kenyataan politik ini, selain menjelaskan bahwa sistem lebih memihak kepada parpol, sekaligus menunjukkan asimetris logika dan nalar dalam perdebatan RUU Pilkada.

Otonomi daerah berikut derivasinya merupakan "anak kandung" reformasi, suatu koreksi atas rezim otoritarian yang tidak menenggang otoaktivitas daerah dan berseminya sumber-sumber kepemimpinan di luar patronase Orde Baru.

Lebih dari sekadar antitesis, tuntutan itu merefleksikan kebutuhan penguatan kapasitas, inisiatif, dan keterlibatan daerah dalam menentukan masa depannya. Sebuah keniscayaan yang memiliki akar sejarah panjang jauh sebelum republik berdiri.

Era multipartai yang juga lahir dari rahim reformasi menubuatkan lapangan politik bebas kekangan dengan menaruh hormat tinggi pada ekspresi daulat rakyat. Kekurangan, kelemahan, bahkan keruwetan yang timbul selama ini seharusnya tidak membunuh esensi demokrasi sebagai pemenuhan hak partisipasi dan inisiatif rakyat.

Sepanjang 1999–Juni 2005, ketika kepala daerah dipilih oleh DPRD, juga periode 2005-2007, pilkada lebih merupakan "hajat partai". Kendati Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008 memberi peluang calon independen maju dalam pilkada, dalam praktiknya, peran partai tetap lebih dominan. Calon perseorangan jauh lebih sukar memenuhi batas persyaratan minimal dukungan konstituen dibandingkan dengan calon partai yang cukup didukung jumlah perolehan suara atau jumlah kursi partai pendukung di DPRD.

Seleksi kandidat oleh partai dengan karakteristik elitis, oligarkis, dan transaksional terbukti mendorong perilaku korup kepala daerah terpilih. Sebanyak 318 dari 524 kepala daerah tersangkut korupsi. Sejajar dengan fakta ini, lebih dari 3.169 anggota DPRD provinsi dan kabupaten/kota juga terjerat kasus korupsi. Alih-alih melakukan otokritik, manuver mereka yang ingin mengubah pilkada langsung mencerminkan contradictio in terminis alias sesat pikir yang mengacaukan.

Kini, setelah begitu banyak tindak kejahatan itu dan ketidakadilan peluang di antara kandidat yang diusung masyarakat dan partai, demokrasi hendak sepenuhnya dimonopoli lagi semata-mata urusan parpol. Akrobat politik seperti ini ibarat sedang menggali kubur sendiri.

Indikasinya: partisipasi politik rakyat semu karena calon kepala daerah kurang memenuhi ekspektasi, krisis legitimasi karena maraknya transaksi politik, inovasi kepemimpinan rendah, relasi daerah-pusat mengalami kemunduran serius, eksploitasi sumber daya alam tak terkendali, dan kegaduhan politik (termasuk konflik horizontal) lebih mengemuka daripada kompetisi memajukan daerah.

Tanda-tanda menurunnya partisipasi rakyat ini dapat dilacak antara lain dari data pemilihan 11 gubernur sepanjang 2012-2013. Dari 11 pilkada gubernur di Papua Barat, Aceh, Sulawesi Barat, Bangka Belitung, Banten, DKI Jakarta, Sulawesi Selatan, Kalimantan Barat, Papua, Jawa Barat, dan Sumatera Utara, rekor tertinggi pemilih yang tidak menggunakan haknya dipegang Sumatera Utara, yakni mencapai 51,42 persen atau setara dengan 5,29 juta pemilih terdaftar.

Kemudian disusul Papua Barat (46 persen), Bangka Belitung (38,15 persen), Banten (37,62 persen), Jawa Barat (36,34 persen), dan Sulawesi Selatan (36,27 persen). Ekses dari seleksi kandidat kurang berkualitas ini juga "memanen" dukungan rendah dalam banyak pilkada kabupaten/kota dengan tingkat partisipasi pemilih kurang dari 50 persen.

Mereka yang merujuk Amerika Serikat untuk mengafirmasi tidak adanya relevansi partisipasi pemilih (voter turnout) dan sistem pemilihan lewat perwakilan dalam proses demokratisasi sebaiknya mencermati trilogi karya peraih penghargaan Pulitzer, Daniel J Boorstin: The Americans: The Colonial-National-Democratic Experience.

Sebuah telaah detail 2,5 abad pergumulan Amerika Serikat membangun jati diri bangsanya. Demikian pula, mereka yang mempertentangkan one man one vote dengan sila keempat Pancasila selayaknya merenungkan lagi roh "permusyawaratan-perwakilan" bukan sebagai tafsir tunggal, melainkan sebuah dialektika dinamis.

Senja kala parpol
Polarisasi RUU Pilkada (juga Undang-Undang MPR, DPR, DPD, DPRD) sebagai ekses pilpres mengantarkan kepada babak baru dinamika multipartai.

Kendati tidak mirip, kita dapat menarik pelajaran dari era 1950-1959 yang berpuncak pada kegagalan Badan Konstituante menyusun konstitusi baru. Sekalipun begitu, curahan pendapat 534 anggota badan itu selama 2,5 tahun bersidang sejak 1956 amat mengagumkan dan dapat disebut sebagai persabungan gagasan paling menggairahkan dalam sejarah republik.

Debat ideologis pada zaman sulit yang diakhiri Dekrit Presiden 5 Juli 1959 itu menutup "kemewahan" era demokrasi parlementer sejak Maklumat X, 3 November 1945.

Melalui analogi historis ini, kita dapat membayangkan dua skenario demokrasi ke depan. Pertama, meskipun dilatari situasi kedaruratan berbeda, ideologis, dan korupsi, ketiadaan konsensus pada akhirnya memantik krisis legitimasi terhadap parpol. Senja kala, sandyakalaning, parpol justru berawal dari ketidaksanggupan mengelola batas-batas kepatutan dan kepercayaan rakyat.

Kedua, dengan menafikan hasil sidang paripurna DPR, 26 September dini hari, ujian pemerintahan baru tetap tidak berubah, yakni bagaimana menjinakkan syahwat pragmatisme, kompromi politik, yang berurat-berakar dalam tata kelola bernegara. Kecenderungan ini berulang kali menyisihkan keadaban publik dan tujuan-tujuan strategis jangka panjang.

Krisis kader dan ideologi yang menjangkiti parpol hampir tidak menyisakan harapan untuk menyemai pertautan eklektik untuk membangun konstruksi bangsa menyambut tantangan zaman. Maka, bukan hanya revolusi mental bangsa yang diperlukan, melainkan juga revolusi sistem dan struktur kepartaian yang sudah tidak memadai lagi untuk menjawab tuntutan perubahan.

Suwidi Tono
Koordinator Forum Menjadi Indonesia; Pemimpin Redaksi Media Otonomi 2004-2010

Sumber: http://print.kompas.com/KOMPAS_ART0000000000000000009025737
Powered by Telkomsel BlackBerry®

TAJUK RENCANA Langkah Mundur Demokrasi (Kompas)

DEMOKRASI Indonesia akhirnya ditarik mundur oleh elite politik. Partisipasi politik rakyat memilih pemimpin daerah diambil alih oleh DPRD.
Rapat Paripurna DPR, Jumat dini hari, memutuskan mengubah sistem pemilihan kepala daerah langsung oleh rakyat menjadi pemilihan oleh DPRD. Setelah Fraksi Demokrat menyatakan walk out dari rapat paripurna, voting berlangsung mulus. Kekuatan politik yang ingin mengembalikan pemilihan kepala daerah oleh DPRD memenangi voting. Sistem pemilihan kepala daerah kembali ke zaman Orde Baru.

Sistem pilkada langsung diadopsi pertama kali dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah yang ditandatangani Presiden Megawati Soekarnoputri pada 15 Oktober 2004. Pilkada langsung adalah salah satu keberhasilan reformasi 1998 saat gerakan rakyat bisa merebut hak politik rakyat untuk memilih pemimpin daerah. Kini, hak rakyat itu telah dicabut DPR yang masa jabatannya tinggal empat hari lagi.

Pidato Ketua Umum Partai Demokrat Susilo Bambang Yudhoyono yang mendukung pilkada langsung, dan sempat dipuji banyak kalangan, ternyata hanya sebuah pidato. Pada momen penting, menjelang pengambilan keputusan, Fraksi Demokrat yang didukung Fraksi PDI-P, Hanura, dan PKB malah walk out. Kegagalan Demokrat dan pemerintahan Presiden Yudhoyono serta sejumlah partai politik mengawal partisipasi politik rakyat mengundang kritik dan kecaman. Kecaman dalam bahasa keras muncul di media sosial. Isu pilkada menjadi topik tren dunia.

Selama sepuluh tahun berkuasa, 20 Oktober 2004-20 Oktober 2014, Presiden Yudhoyono memimpin dalam sistem presidensial simetris, yakni dari presiden hingga bupati/wali kota dipilih langsung rakyat. Namun, dengan disetujuinya pilkada tak langsung, presiden terpilih Joko Widoso-Jusuf Kalla akan mewarisi sistem presidensial yang asimetris. Presiden dipilih langsung, sementara gubernur, bupati, dan wali kota dipilih DPRD.

Presiden Yudhoyono yang sedang berada di luar negeri mengaku kecewa dengan disetujuinya pilkada oleh DPRD. Namun, publik menganggap disetujuinya pilkada oleh DPRD adalah langkah mundur demokrasi dan itu terjadi pada masa akhir pemerintahan Yudhoyono. Drama politik Jumat dini hari semata-mata mempertontonkan wajah perburuan kekuasaan yang menegasikan hak rakyat.

Pilkada oleh DPRD menimbulkan ketidaksinkronan undang-undang karena dalam UU Lembaga Perwakilan (MD3) tak diatur kewenangan DPRD memilih pimpinan daerah. Pilkada DPRD juga menegasikan peran KPUD dan Bawasda yang diatur dalam UU Penyelenggara Pemilu.

Kegeraman publik bisa dipahami. Kita dorong Presiden Yudhoyono mau mengambil langkah terakhir menyelamatkan partisipasi politik rakyat. Jika langkah itu tidak dilakukan, biarlah rakyat, warga negara pembayar pajak, mencari keadilan ke Mahkamah Konstitusi untuk memperjuangkan sendiri hak mereka yang diambil DPR.

Sumber: http://print.kompas.com/KOMPAS_ART0000000000000000009118773
Powered by Telkomsel BlackBerry®

Powered By Blogger