Cari Blog Ini

Bidvertiser

Jumat, 06 November 2015

Pasar Kita ”Tidak untuk Dijual!” (EMIL SALIM)

Semula Selandia Baru bersama Cile, Singapura, dan Brunei menyepakati Perjanjian Perdagangan Bebas dalam kelompok yang diberi nama Trans-Pacific Strategic Economic Partnership 2005.

Presiden Barack Obama (2010) merombak Trans-Pacific Strategic Economic Partnership (TPSEP) dengan menggabungkannya bersama Australia, Peru, Vietnam, Malaysia, dan Amerika Serikat (AS) menjadi Trans-Pacific Partnership (TPP, Kemitraan Trans-Pasifik).

Ketika di tahun 2011 Kanada, Meksiko, dan Jepang ingin masuk TPP, mereka diterima sebagai "latecomers" dengan syarat tidak mengubah kesepakatan yang sudah dicapai, dan tidak punya hak veto terhadap hal-hal yang sudah dan akan disepakati sembilan anggota asli TPP-9. Syarat kedua adalah pengondisian yang berlaku dalam kesepakatan bilateral antarnegara sehingga membatasi "kekuatan berunding" dalam hal-hal yang ditangani TPP.

Pertarungan AS-RRT

Dengan beralihnya TPSEP menjadi TPP, semakin menonjollah peran AS. TPP dinilai memberikan perhatian kecil pada bidang pembangunan. Syarat yang berlaku bagi negara berkembang tidak dibedakan dengan syarat bagi negara maju. TPP bukanlah suatu kesepakatan regional, melainkan lebih merupakan"kumpulan kesepakatan bilateral", dengan implikasi bahwa konsesi tarif ditentukan secara bilateral tanpa kesamaan jadwal tarif tunggal.

TPP tidak menjadikan Asia sebagai pusat pengembangan pembangunan. Beberapa anggota ASEAN sudah menjadi peserta penuh TPP, seperti Singapura, Malaysia, Brunei, dan Vietnam. Ciri-ciri menonjol dari negara-negara ini adalah terbatas pasar dalam negerinya sehingga memerlukan pasar negara maju anggota TPP.

Di samping perkembangan TPP yang dipimpin AS, setelah krisis finansial melanda ASEAN (1997/1998) tampil ke muka Republik Rakyat Tiongkok (RRT) sebagai pengambil prakarsa bersama ASEAN, Jepang, dan Korea Selatan membentuk Regional Comprehensive Economic Partnership (RCEP), setelah melewati proses negosiasi selama 2000-2011. Yang berhak menjadi anggota RCEP adalah negara yang sudah punya "kesepakatan perdagangan bebas" dengan ASEAN. Karena tak punya kesepakatan ini, AS tertutup penyertaannya dalam RCEP.

Oleh karena Jepang masih mengalami kesulitan ekonomi dalam negeri, Jepang memilih untuk berada di kedua lembaga: TPP dan RCEP.

Perkembangan TPP dan RCEP tidak terlepas dari pertarungan kepentingan AS dan RRT. Bedanya, RCEP memberi penekanan lebih besar pada masalah pembangunan, sedangkan TPP dikendalikan oleh AS dan mencakup kawasan Pasifik. Anggota baru TPP tidak memperoleh hak yang sama dengan anggota lama. Dan, yang diutamakan, TPP lebih pada segi-segi struktural dan institusional mendorong liberalisasi ekonomi.

Yang menjadi kesulitan membahas TPP adalah bahwa negosiasi tentang dan hasilnya tidak transparan dan sifatnya tertutup. Yang banyak dilibatkan dalam negosiasi TPP adalah pengusaha besar AS, sedangkan buruh, pengusaha kecil, LSM, dan cendekiawan tidak dilibatkan. Bahkan, Kongres dan Senat AS juga tidak dilibatkan sehingga 130 anggota Kongres mengirim surat protes kepada US Trade Representative, Ron Kirk.

TPP dianggap tidak memperjuangkan "perdagangan bebas", tetapi kepentingan "lobi bisnis yang kuat", mencakup kepentingan produsen peternakan, pertanian, industri gula, rokok, farmasi, dan lain-lain. Informasi tentang perkembangan negosiasi TPP kita peroleh dari internet dan tulisan para cendekiawan seperti Joseph Stiglitz dan Rick Rowden.

Asumsi yang hidup dalam TPP bahwa "pasar bekerja lebih efisien daripada negara", karena itu intervensi negara yang menghambat kebebasan pasar harus dipangkas. Atas dasar ini, TPP menghendaki pemotongan kebijakan perdagangan yang bersifat protektif, seperti sistem kuota, pengenaan pajak ekspor atas bahan mentah, pengenaan tarif dan lain-lain yang serupa.

Negara maju dalam negosiasi TPP juga menuntut agar perusahaan asing diperlakukan sama seperti perusahaan domestik, antara lain bisa ikut bersaing dalam lelang dan kontrak pembelian oleh pemerintah nasional. Untuk mendorong transfer teknologi dari investor asing dan menggalakkan produksi dalam negeri, pemerintah biasanya menerapkan ketentuan "konten lokal" dan kewajiban membeli barang dan jasa lokal. Ketentuan yang bersifat diskriminatif terhadap perusahaan asing seperti ini dilarang dalam TPP.

TPP juga menerapkan mekanismeInvestor-to-State-Dispute-Settlement" (ISDS) dalam kesepakatan investasi. Jika pemerintah mengeluarkan peraturan sehingga perusahaan investor kehilangan potensi laba, ia berhak menuntut ganti rugi. Perusahaan rokok Philip Morris memanfaatkan ketentuan ISDS dan menggugat Pemerintah Uruguay yang telah mengeluarkan peraturan kesehatan yang mengatur iklan rokok. Akibat aturan tersebut, penjualan rokok berkurang dari jumlah yang seharusnya sehingga perusahaan merasa "kehilangan laba yang seharusnya bisa dinikmati perusahaan rokok, yang kemudian diberi hak menggugat".

Sungguhpun Dana Moneter Internasional pada tahun 2012 sepakatmemungkinkan kontrol modal oleh pemerintah, TPP tetap menolak karena "deregulasi finansial" dianggap lebih menguntungkan ekonomi.

Kalangan kesehatan menolak keras TPP karena memperluas ketentuan paten dan hak cipta, yang mencakup produk final dan juga komponen produk final. Dengan menerapkan "hak milik intelektual" secara lebih ketat di farmasi, obat generik yang lebih murah tidak mungkin diedarkan lagi.

Sama, tapi tak seimbang

TPP juga memuat ketentuan yang menaikkan biaya bagi negara berkembang karena hambatan mendapatkan teknologi manufaktur, termasuk "reverse-engineering". Negara anggota TPP juga diwajibkan membubarkan perusahaan-perusahaan badan usaha milik negara (BUMN) karena dianggap tidak adil dalam sistem persaingan dengan perusahaan swasta.

Dari berbagai contoh ketentuan TPP ini, terlihat sekali menonjol semangat bahwa perdagangan dan investasi bisa berkembang di negara apabila intervensi pemerintah dihilangkan dan dunia usaha diberi kebebasan sepenuhnya untuk menanggapi sinyal ekonomi pasar. Jika bocoran informasi tentang TPP ini benar, tampaklah bahwa negara berkembang dipersamakan dengan negara maju dalam persaingan di pasar bebas. Kiranya samalah halnya dengan menghadapkan juara tinju nasional kita, Ellyas Pical, bertarung dengan juara tinju AS, Muhammad Ali, di gelanggang AS.

Indonesia adalah negara berpenduduk dan berpotensi pembangunan yang besar. Yang kita perlukan adalah bekerja keras dengan keyakinan penuh bahwa Indonesia sebagai pasar besar tidak untuk dijual: "not for sale!"

EMIL SALIM,DOSEN PASCASARJANA UI; ANGGOTA AKADEMI ILMU PENGETAHUAN INDONESIA

Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 6 November 2015, di halaman 6 dengan judul "Pasar Kita "Tidak untuk Dijual!"".


Sent from my BlackBerry 10 smartphone on the Telkomsel network.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Powered By Blogger