Cari Blog Ini

Bidvertiser

Sabtu, 31 Oktober 2015

Politik Kebudayaan (YONKY KARMAN)

If there is a sphere whose very nature precludes all prognostication, it is that of culture, and especially of the arts and humanities.

Vaclav Havel, "Six Asides about Culture"

Tidak jelas apakah belum ditemukannya sosok pas untuk direktur jenderal kebudayaan hingga lebih dari setengah tahun ada sangkut pautnya dengan Rancangan Undang-Undang Kebudayaan yang masih menggantung, atau menteri terkait menyadari kerumitan dan kegagalan politik kebudayaan selama ini. Yang jelas, polemik kebudayaan sejak 80 tahun lalu masih belum tuntas.

Sementara kebudayaan Jepang, Korea, atau Tiongkok sudah go international, pemerintah kita sibuk dengan raga kebudayaan dan nilai ekonomisnya. Politik kebudayaan jadi defensif: agar kekayaan budaya tak diklaim negara lain dan demi identitas bangsa. Negara menjadi museum warisan budaya. Kebudayaan diluhurkan sebagai bagian dari romantisisme masa lalu tanpa getarnya pada masa kini. Roh kebudayaan pun luput.

Gerak kebudayaan

Gerak kebudayaan terhenti karena reifikasi dan kompartemensasi. Kebudayaan hanya dilihat sebagai peninggalan berharga yang harus diselamatkan dan dipelihara. Tak heran draf RUU Kebudayaan disusupi pasal kretek. Dengan menautkan kebudayaan pada pendidikan dasar dan menengah, masalah jual-beli karya ilmiah, ijazah palsu, joki ujian, perguruan tinggi abal-abal, minimnya riset, seolah-olah tak ada hubungannya dengan budaya ilmiah.

Seolah-olah juga kebiasaan melawan arus dalam berkendaraan dan maraknya pelanggaran berlalu lintas tak ada hubungan dengan budaya tertib. Seolah-olah praktik korupsi yang sudah membudaya tak memerlukan budaya tandingan. Baru genap setahun pemerintahan baru, tiga anggota DPR dari partai pengusung pemerintah terjerat korupsi.

Tolikara dan Singkil hanya dilihat sebatas masalah kerukunan antarumat. Seolah-olah tragedi itu tidak ada hubungannya dengan keberagaman yang terputus dari kultur keindonesiaan. Masalah bangsa dan penyakit masyarakat diselesaikan sangat naif dengan mengambinghitamkan pendidikan agama. Keindonesiaan seperti atribut kebangsaan tanpa daya hidup. Orang Indonesia terombang-ambing ke Barat, Tiongkok, Arab, atau Jerusalem.

Kebudayaan seharusnya menjadi sebuah modal sosial yang membuat bangsa sintas dan pentas di era global. Untuk itu, kebudayaan harus terlibat dalam dialog peradaban, lalu direkayasa untuk kemajuan bangsa. Kemajuan di zaman modern identik dengan penguasaan ilmu dan teknologi. Tidak cukup hanya pandai menggunakan gawai komunikasi modern untuk komunikasi dan kesenangan, tanpa peningkatan produktivitas dan keilmuan.

Rekayasa kebudayaan

Tak ada bangsa dengan gen ilmiah. Setiap bangsa pernah memiliki para genius yang tenggelam dalam kultur primordial dan feodal. Mereka seperti lahir pada zaman salah. Orang Tiongkok sudah mengenal serbuk mesiu, alat cetak, dan kompas, berabad-abad sebelum itu dikenal di Barat. Konstruksi piramida memperlihatkan kebudayaan Mesir kuno yang sudah sangat tinggi pada masanya. Namun, episentrum revolusi sains tak di sana.

Eropa yang sebelumnya hidup dalam kegelapan selama berabad-abad (tidak melek sains) tiba-tiba mengalami fajar pencerahan akal budi dan melahirkan sains modern. Fenomena kebendaan pertama-tama bukan untuk dinikmati, melainkan untuk diselidiki, untuk memuaskan hasrat ingin tahu. Semangat meneliti dan berinovasi menjadi bagian dari peradaban Barat, setelah beberapa abad menular ke bangsa-bangsa Asia.

Sudah lama praktik berbangsa dan bernegara kita lepas dari bingkai kebudayaan yang bergerak maju (progresif). Jauh sebelum ini (1974), antropolog Koentjaraningrat sudah mengingatkan bahwa keberhasilan pembangunan di Indonesia amat bergantung pada kebudayaan pendukung. Ia menyebut kelemahan mentalitas orang Indonesia yang melekat pada sistem nilai tradisional maupun nilai-nilai baru sesudah revolusi. Bisa ditambahkan lagi, orang kita karena lama terjajah cenderung pasif dan minder berhadapan dengan orang Barat. Mentalitas itu melumpuhkan inisiatif. Orang lebih suka jadi bawahan yang diperintah daripada memerintah diri sendiri dengan bertanggung jawab. Akhirnya, cenderung konsumtif daripada produktif, cenderung impor daripada susah payah berswasembada.

Mentalitas tradisional, mentalitas terjajah, dan mentalitas pasca revolusi, ketiga lapisan mentalitas itulah yang tanpa disadari membentuk Indonesia hari ini dan menghambat gerak maju bangsa. Di sinilah sebenarnya signifikansi revolusi mental dalam jargon kampanye presiden lalu. Selama masyarakat dan elite politik masih mengidap mentalitas lama, Indonesia tidak akan bergerak ke mana-mana.

Untuk menjadi modern, mentalitas dan peradaban juga harus modern untuk persemaian sains dan teknologi. Salah satu ciri budaya ilmiah adalah jelas dan terbedakan, clare et distincte dalam ungkapan bapak rasionalisme modern, RenĂ© Descartes. Mustahil Indonesia menjadi negara maju apabila tidak mampu membedakan antara kebakaran dan pembakaran hutan. Terlalu lama kejahatan lingkungan yang melibatkan pemerintah sebagai pemberi izin konsesi dibiarkan.

Kita ingin jadi negara maju, tetapi di mana ada negara maju dengan korupsi terstruktur, dengan penegakan hukum lemah, lalu lintas amburadul? Nilai rapor Indonesia masih merah, di bawah skor rata-rata indeks persepsi korupsi dunia sebesar 43. Indonesia masih termasuk dua pertiga dari 175 negara terkorup di dunia dengan skor di bawah 50.

Memang benar budaya korupsi tidak cukup dikikis dengan penindakan, tetapi benar juga bahwa budaya tandingan termasuk konsistensi dan berkelanjutan penindakan, dimulai dari memerangi korupsi di lingkaran kekuasaan. Budaya korupsi yang sejak 1970-an sudah disebut-sebut Bung Hatta kini semakin menggila sehingga tergolong kejahatan luar biasa. Perlawanan dari lingkaran kekuasaan justru hendak membuatnya sebagai suatu kejahatan biasa. Usulan revisi UU Komisi Pemberantasan Korupsi dibalut istilah "penguatan" atau "penyempurnaan," sebenarnya pelemahan, dengan dalih hak asasi dan asas praduga tak bersalah. Kewenangan penyadapan yang terbukti efektif dan selama ini tidak pernah disalahgunakan untuk memeras warga, hendak dibirokratisasi adalah bukti budaya anti korupsi belum terbentuk.

Jalan terstruktur melawan korupsi terstruktur adalah atasan wajib proaktif memerangi korupsi bawahan. Korupsi merajalela karena atasan tutup sebelah mata, entah dirinya sendiri melakukan korupsi lebih besar atau ia tak mau repot. Rakyat enggan melaporkan praktik korupsi di institusi dengan kultur pembiaran seperti itu. Budaya permisif pun berkembang. Skenario korupsi tetap jalan, hanya pelaku atau partainya berbeda. Apabila menteri yang membidangi kebudayaan hendak menoreh sejarah dalam kepemimpinannya, ia harus berhati-hati dengan birokratisasi kebudayaan.

Apabila tak yakin dapat mengembalikan getar dan gerak kebudayaan, sebaiknya biarkan kebudayaan bebas tak menghuni rumah birokrasi. Toh, ada UU yang mengatur produk kebudayaan. Rekayasa kebudayaan sebuah keniscayaan politik untuk kemajuan bangsa.

 YONKY KARMAN

Pengajar di Sekolah Tinggi Teologi Jakarta

Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 31 Oktober 2015, di halaman 6 dengan judul "Politik Kebudayaan".


Sent from my BlackBerry 10 smartphone on the Telkomsel network.

TAJUK RENCANA: RAPBN 2016 Disetujui (Kompas)

Setelah sempat berbeda pendapat, akhirnya pemerintah dan DPR menyetujui RAPBN 2016. Perdebatan sebelumnya adalah dinamika demokrasi.

Persetujuan RAPBN 2016 dilakukan dalam Sidang Paripurna DPR, Jumat (30/10) malam. Sepuluh fraksi di DPR akhirnya menyetujui RUU APBN 2016.

Satu-satunya fraksi yang sempat menolak RAPBN 2016 adalah Gerindra. Partai itu antara lain menolak penyertaan modal negara (PMN) pada badan usaha milik negara dan menginginkan dianggarkan untuk pos-pos yang langsung meningkatkan daya beli rakyat. Target penerimaan pajak juga dianggap tidak realistis, serta keberatan dengan turunnya anggaran untuk kementerian yang berhubungan langsung dengan kehidupan rakyat.

Sebelumnya, sembilan fraksi lain menyetujui RAPBN dengan catatan, termasuk dalam soal PMN. Partai pendukung pemerintah, PDI-P, menginginkan dana PMN difokuskan untuk program kerakyatan.

Penyusunan RAPBN 2016 melalui proses tarik-ulur alot sejak awal. Salah satunya, rencana perluasan Kompleks Parlemen di Senayan, Jakarta, walaupun akhirnya pemerintah dan DPR dalam rapat di Badan Anggaran pada Kamis malam menyepakati perluasan tersebut.

Sebelumnya, muncul isu dana aspirasi yang dinamai usulan program pengembangan daerah pemilihan. Dana yang diduga politik uang terselubung itu ditolak pemerintah. Pemerintah dan DPR akhirnya juga sepakat mencabut ketentuan DPR berhak mengusulkan program yang dibiayai dengan dana alokasi khusus fisik karena DPR tidak memiliki kewenangan mengusulkan program.

Berlarutnya pembahasan menyebabkan perhatian publik teralihkan dari hal mendasar, yaitu pengalokasian anggaran dan asumsi yang digunakan pemerintah.

Masyarakat tidak mendapat informasi memadai tentang postur RAPBN 2016. Misalnya, mengapa pemerintah perlu memberi tambahan modal pada BUMN, sementara realisasi penyerapan PMN sampai saat ini kurang dari separuh. Pun bagaimana mencapai target penerimaan pajak Rp 1.506,57 triliun. Karena dari target pajak tahun ini Rp 1.294,3 triliun, hingga akhir September, realisasinya baru mencapai 52,31 persen dari standar 67,83 persen. Apabila target pajak tak tercapai, utang bisa membengkak.

Keinginan rakyat jelas, yaitu tersedianya lapangan kerja berkualitas agar perut tidak lapar, dapat berpakaian layak, memiliki tempat tinggal memadai serta terjangkau, hidup sehat, dan anak-anak bersekolah dengan baik. Hak rakyat yang dijamin konstitusi itu harus tecermin dalam APBN.

Ketika pembahasan RAPBN berlangsung di Gedung DPR, seyogianya politisi dan pemerintah selalu ingat bahwa tujuan pembangunan adalah membuat rakyat sejahtera dan bahagia.

Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 31 Oktober 2015, di halaman 6 dengan judul "RAPBN 2016 Disetujui".


Sent from my BlackBerry 10 smartphone on the Telkomsel network.

TAJUK RENCANA: Austria dan Migran ke Eropa (Kompas)

Menghadapi arus migran, negara di Uni Eropa dilanda dilema. Muncul semangat kemanusiaan, di sisi lain mereka terlihat gamang.

Jumat (30/10), kita membaca berita, kalau sampai gagal menangani masalah ini secara kolektif, Uni Eropa terancam disintegrasi. Ini terkait dengan rencana Austria membangun pagar di perbatasan dengan Slovenia yang banyak menuai kritik.

Terhadap kritik itu, Austria melalui Menteri Dalam Negeri Johanna Mikl-Leitner menyatakan, pagar tidak dimaksudkan untuk menutup perbatasan, tetapi untuk mengawasi arus migran sehingga arus masuk lebih tertib. Sebelum ini, Hongaria juga memasang pagar berduri sehingga migran tak bisa lagi masuk.

Apa yang sebenarnya terjadi? Seperti kita ikuti, sejak dua tahun terakhir, Eropa dilanda gelombang arus migran. Mereka didorong oleh konflik dan teror yang melanda negara asal mereka di Timur Tengah dan Afrika, serta ditarik oleh impian hidup lebih baik di negara makmur Eropa.

Dengan dua alasan itu, mereka rela menempuh jalan berbahaya menuju negeri idaman. Tak sedikit dari mereka yang melayari Laut Tengah dengan perahu sederhana yang diisi berlebihan sehingga berita pengungsi tenggelam dan tewas di laut sering kita dengar.

Selama tahun 2014, total jumlah migran 280.000 orang. Hingga Agustus 2015, menurut Organisasi Internasional untuk Migrasi, jumlah yang menembus perbatasan Eropa mencapai 350.000. Itu belum memperhitungkan jumlah yang masuk tanpa terdeteksi.

Seperti diberitakan BBC, 62 persen migran berasal dari tiga negara, yakni Suriah, Afganistan, dan Eritrea. Lainnya datang dari Libya, Sudan, Nigeria, Pakistan, Irak, Kosovo, dan Somalia. Jerman, Perancis, dan Inggris menjadi tujuan utama pengungsi, tetapi negara di garis depan ikut merasakan tekanannya, seperti Yunani, Austria, dan Hongaria.

Negara di Eropa membuka diri terhadap migran pencari suaka, sejauh mereka bisa membuktikan diri bahwa jiwa mereka terancam jika kembali ke negaranya.

Namun, di kalangan pemimpin negara Eropa terdapat perbedaan pandangan mengenai jumlah migran yang harus diterima. Hal ini masuk akal, terutama jika mengingat kondisi ekonomi umum Eropa masih suram dan banyak di antara warga Eropa sendiri yang sulit mencari pekerjaan. Adanya arus masuk migran dalam jumlah puluhan ribu membuat mereka gamang.

Namun, dalam konteks kerumitan inilah penyelarasan kebijakan sangat diperlukan oleh negara Uni Eropa. Juru Bicara Pemerintah Jerman Steffen Seibert menegaskan, krisis migran tidak bisa dipecahkan dengan pemasangan pagar. Dikhawatirkan, satu kebijakan sepihak bakal memicu reaksi berantai atau diikuti negara lain.

Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 31 Oktober 2015, di halaman 6 dengan judul "Austria dan Migran ke Eropa".


Sent from my BlackBerry 10 smartphone on the Telkomsel network.

Bahasa dan Identitas Budaya (DONNY SYOFYAN)

Pernahkah Anda mengubah bahasa dalam berkomunikasi, seperti di tempat kerja? Bila pernah, pernahkah Anda memperhatikan berbagai perubahan dalam diri Anda?

Sebelumnya saya tidak ambil pusing dengan pertanyaan ini hingga saya menemukan artikel singkat tentang apa artinya bila seseorang mengubah bahasanya. Artikel itu berkisar mengenai seseorang yang mengubah bahasanya dari "black English" (bahasa Inggris kulit hitam) sewaktu masih kanak-kanak menjadi "educated English" (bahasa Inggris terdidik) di saat ia dewasa.

Pada awalnya perubahan bahasa-yang melibatkan perubahan sistem linguistik pikiran seseorang-adalah sebuah proses dramatis, walaupun mereka yang mengalami perubahan ini tidak menyadari. Guy Bailey, pakar bahasa kulit hitam dari University of Nevada di Los Angeles, Amerika Serikat, telah mengkaji fenomena Ebonics atau Black English Vernacular (BEV) selama beberapa tahun. Ini adalah varian bahasa Inggris yang digunakan oleh kalangan masyarakat kulit hitan perkotaan di AS.

Menurut pendapat banyak pihak, termasuk Board of Education (Dewan Pendidikan) di Oakland, California, black English bukanlah bahasa Inggris, melainkan suatu West and Niger-Congo African Language Systems. Dewan Pendidikan Oakland tidak menginstruksikan sekolah-sekolah mengajarkan Ebonics dan bersikukuh bahwa mereka mengerti bahasa BEV dan menggunakannya untuk membantu siswa kulit hitam untuk mempelajarieducated English.

Kebijakan ini telah menyulut perdebatan hangat. Namun, sebagian besar perdebatan ini cenderung mengabaikan hasil temuan riset linguistik yang telah dilakukan selama beberapa tahun. Walt Wolfram, pakar bahasa dari University of North Carolina, mengatakan, bahwa selama kurun 30 tahun black Englishtelah jadi varian bahasa Inggris yang paling banyak dikaji. Sementara Bailey mengutarakan bahwa kajian-kajian tersebut telah menyuguhkan sumbangan yang besar demi memahami perubahan dan perkembangan bahasa.

W Wayt Gibbs, ahli bahasa dari San Fransisco, dalam Journal of Scientifc American  (1997) mendiskusikan sejumlah kontroversi berkenaan denganblack English. Pertama, terkait perdebatan apakah BEV bagian dari varian bahasa Inggris atau tidak. Salikoko S Mufwene dari Universitas Chicago tidak sependapat dengan Dewan Pendidikan Oakland. Ia berargumen bahwa mendefinisikan sebuah bahasa harus diletakkan pada bahasa si pengguna. Ia yakin bila orang kulit hitam Amerika ditanya bahasa apa yang mereka ucapkan, mereka akan menjawab,  bahasa Inggris. Dengan arti kata, Ebonics atau BEV atau black English adalah bahasa Inggris.

Kedua, apakah Ebonics slang atau tidak. Wolfram menyatakan, "Slang berkenaan dengan kosa kata khusus yang sifatnya tertentu, dan cenderung memiliki lingkaran hidup yang pendek. Misalnya, Wolfram mengatakan,  groovy adalah slang, tetapi he done gone  bukan.

Apakah black English masih dipersepsi menyimpang dari "bahasa Inggris arus utama"? Kembali terjadi perbedaan pendapat. Wolfram menyebut bahwa untuk setiap ciri khas black English yang kelihatan menyimpang atau "bercabang", tetap saja ada ciri lain yang menyatu atau "berkumpul". John Baugh, ahli bahasa dari Universitas Stanford, menegaskan bahwa apa yang terlihat menyimpang dari ciri-ciri black English pada dasarnya merupakan bentuk-bentuk dari "tantangan kebahasaan".

Ada sebuah pengakuan menarik dari Bailey, seorang warga kulit hitam Amerika, dalam artikel Gibbs ini. Ia mengatakan, "Aku dibesarkan di Alabama selatan dan orang pertama di keluarga ibuku yang masuk sekolah tinggi. Ketika aku mulai kuliah dan mulai bicara dengan bahasa Inggris terdidik, ada rasa seolah-olah aku telah mengkhianati kebudayaanku. Untuk mendidik orang-orang dari latar belakang tidak berpendidikan hingga berhasil, Anda harus mengerti bahwa mereka akan membayar harga yang mahal untuk berbicara dengan cara yang berbeda. Mengatakan kepada mereka bahwa mereka keliru saja bukanlah cara yang terbaik."

 Penuturan ini menyadarkan saya mengenai perubahan bahasa dalam kehidupan saya. Dimulai dari penggunaan bahasa Minang sebagai bahasa ibu dalam pergaulan sesama sejak SD hingga SMA, bahasa Indonesia tatkala memasuki jenjang perguruan tinggi hingga bahasa Inggris saat saya melanjutkan studi di Australia. Saya tak pernah berpikir bagaimana perubahan bahasa ini memengaruhi pola pikir dan rasa. Saya hanya tahu, secara gradual saya mulai enggan menggunakan kalimat-kalimat majemuk dan lebih memilih kalimat-kalimat singkat. Saya lebih menyukai gaya bahasa yang jelas dan ekonomis.

Saya belum tahu persis berapa jumlah bahasa daerah yang masih bertahan di Indonesia. Yang pasti ada banyak dialek bahasa Indonesia. Mencermati panorama kebahasaan ini, kita bisa mengatakan, terdapat kesatuan dalam keragaman   menyangkut sistem-sistem bahasa di Indonesia. Pada saat bersamaan, kita telah dan tengah dihadapi dengan problem bagaimana menciptakan keseimbangan antara kesatuan dan kebinekaan. Kesan umum yang muncul: kita kerap memberi perhatian "berlimpah" bagi kesatuan, tetapi abai pada upaya-upaya mengembangkan harmonisasi keragaman.

Dapatkah bahasa jadi instrumen untuk mengatasi masalah ini? Jika bahasa memang dapat memengaruhi pola pikir dan rasa, seyogianya jawaban pertanyaan tersebut "bisa". Terlepas dari itu semua, bersatu dalam menghadapi perbedaan sebenarnya adalah masalah pikir dan rasa. Persoalannya, apa yang kita maksud hidup dalam semangat kesatuan dalam keragaman?

DONNY SYOFYAN

DOSEN SASTRA INGGRIS FIB UNIVERSITAS ANDALAS

Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 31 Oktober 2015, di halaman 6 dengan judul "Bahasa dan Identitas Budaya".
Sent from my BlackBerry 10 smartphone on the Telkomsel network.

Masa Depan ASEAN (ANDRE NOTOHAMIJOYO)

Gema tentang Masyarakat Ekonomi ASEAN yang akan berlaku akhir 2015 sudah sangat nyaring. Berbagai pertemuan dan kajian tentang MEA pun sudah sangat banyak dilakukan.

Sebagai orang yang banyak berkecimpung dalam kerja sama ASEAN, penulis justru tidak tahu harus bagaimana menyikapi MEA. Kerja sama ASEAN tidak pernah dan hanya berkisar seputar rapat, lokakarya, pelatihan, dan seminar. Ada gurauan di antara para delegasi: "Selesai acara, selesai pula persoalan". Bagaimana mewujudkan integrasi ekonomi dengan kondisi demikian?

Penulis kerap berdiskusi dengan rekan-rekan sesama delegasi ASEAN. Mereka umumnya mengeluhkan lambatnya perkembangan isu yang dibahas di ASEAN dan tidak pernah tuntas. Sebagai contoh, kerja sama komoditas pertanian dan kehutanan lingkup ASEAN di bawah kerangka Joint Committee on Agriculture and Forestry Product Promotion Scheme yang telah diinisiasi lebih dari 20 tahun lalu, sebagian besar stagnan dan bahkan beberapa komoditas (seperti lada, tapioka, kelapa, kacang dan bebijian, produk kayu, dan kelapa sawit) dalam beberapa tahun terakhir tidak lagi ada perkembangan. Tercatat hanya pertemuan terkait komoditas tuna dan rumput laut yang rutin diselenggarakan secara tahunan.

Kerja sama intra-ASEAN dalam bidang perdagangan barang, jasa, serta investasi secara alamiah sebetulnya sudah berjalan bagus dan integrasi ekonomi lebih konkret terlihat. Produk-produk ekspor dengan mudah ditemui di jaringan retail negara-negara ASEAN. Begitu pula jaringan restoran, waralaba, jasa keuangan, hingga bisnis daring. Meskipun tentu saja ada peran pemerintah atas terwujudnya kerja sama tersebut, sebetulnya kerja sama antarpelaku usaha terjadi karena adanya kepentingan ekonomi alih-alih karena dorongan negara.

Konvergensi ASEAN justru semakin melemah. Tengoklah, sangat sedikit pameran dagang yang memakai atribut ASEAN. Demikian pula pameran internasional di luar ASEAN yang memakai embel-embel ASEAN. Proyek-proyek pembangunan yang diinisiasi ASEAN terhitung sangat sedikit. Bisa jadi pabrik pupuk ASEAN Aceh Fertilizer di Aceh yang sekarang sudah tutup akibat kekurangan pasokan gas dan mismanajemen merupakan proyek terakhir ASEAN.

Delapan kendala

Mengapa kerja sama G to G di ASEAN cenderung stagnan? Penulis menengarai ada beberapa faktor penyebab.

Pertama, latar belakang pendirian ASEAN cenderung karena dorongan dari pihak-pihak di luar kawasan Asia Tenggara yang menginginkan stabilitas politik di kawasan tersebut untuk melancarkan kepentingan ekonominya. Akibatnya, selama ini peran ASEAN lebih kuat sebagai lembaga resolusi konflik.

Kedua, negara-negara ASEAN secara alamiah punya keunggulan komparatif yang sama, yaitu sebagai negara agraris maritim dengan produk yang relatif sama, kecuali Singapura (negara kota) dan Laos (negara landlocked). Secara alamiah pula negara-negara ASEAN merupakan kompetitor satu sama lain dalam ekspor produk pertanian dan perikanan.

Ketiga, negara-negara ASEAN tidak terintegrasi secara geografis sehingga posisi geopolitik setiap negara berbeda. Proyek pembangunan kereta cepat trans-Singapura-Malaysia-Tiongkok tak punya pengaruh positif secara signifikan bagi pembangunan kawasan timur ASEAN, seperti Brunei, Indonesia, dan Filipina. Demikian pula dengan pembangunan waduk-waduk di Laos yang memasok listrik hingga ribuan megawatt yang memosisikannya sebagai "Battery of ASEAN" tidak berpengaruh pada keseluruhan kawasan, kecuali pada subkawasan Indocina.

Keempat, negara-negara ASEAN secara historis memiliki riwayat konflik antarnegara yang cukup rumit. Persoalan batas wilayah, lalu lintas pekerja migran, dan perdagangan tradisional di perbatasan masih menjadi isu yang relevan hingga saat ini.

Kelima, perbedaan level ekonomi antarnegara menyebabkan adanya perbedaan kemampuan mengimplementasikan suatu kesepakatan pada setiap negara. Perbedaan tersebut juga menyebabkan disparitas pertumbuhan antarbagian dalam kawasan ataupun subkawasan.

Keenam, ketiadaan kepemimpinan ASEAN. Selama 20 tahun terakhir tidak ada satu pun pemimpin negara ASEAN yang berani mengambil inisiatif kepemimpinan di ASEAN. Mereka cenderung kurang memedulikan kerja sama regional, menyebabkan divergensi makin menguat. Masalah penanganan pengungsi Rohingya dan kabut asap menjadi contohnya.

Ketujuh, para pejabat tinggi negara ASEAN cenderung bersifat wait and seedan menghindari komitmen. Mereka sering kali menyesalkan kerja sama ASEAN yang tidak maju-maju tanpa berani melakukan terobosan. Hal tersebut laksana orang yang hanya menunggu buah jatuh dari pohon tanpa berusaha mengambil buah dengan cara lain. Lee (2006) dalam penelitiannya menyatakan bahwa ASEAN bersandarkan pada mimpi integrasi dan satu komunitas, tetapi cenderung menuju kegagalan karena berbasis pada kerja sama antarpemerintah yang lemah.

Kedelapan, ASEAN saat ini sedang terbelah oleh berbagai kerja sama kawasan lain yang lebih dinamis dan menjanjikan bagi negara pesertanya, seperti Kerja Sama Ekonomi Asia Pasifik (APEC) dan Kemitraan Trans-Pasifik (TPP). APEC memberikan dorongan yang lebih dinamis bagi kerja sama ekonomi meskipun bersifat sukarela dan tak mengikat secara hukum. Sementara itu, TPP menawarkan liberalisasi perdagangan yang sangat ambisius dan menjanjikan akses pasar yang lebih luas bagi 12 negara anggotanya, termasuk sejumlah negara ASEAN (Malaysia, Brunei, Vietnam, dan Singapura) yang menguasai 40 persen ekonomi dunia.

Kedelapan faktor di atas sulit untuk diselesaikan tanpa keberanian setiap negara untuk melakukan terobosan. Apabila dibiarkan berlarut-larut, masa depan kerja sama ASEAN terancam tidak menentu dan cenderung menjadi arenarendezvous para pejabatnya saja. Ternyata di usia ke-48, masa depan ASEAN pun belum pasti.

ANDRE NOTOHAMIJOYO

Delegasi RI dalam Forum Kerja Sama ASEAN Bidang Pertanian dan Kehutanan; Bekerja di Kementerian Kelautan dan Perikanan

Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 31 Oktober 2015, di halaman 7 dengan judul "Masa Depan ASEAN".

Sent from my BlackBerry 10 smartphone on the Telkomsel network.

Pelajaran dari Gibran (KURNIA JR)

Kahlil Gibran diundang ke Kongres Arab I di Paris pada 1913 yang membahas soal pembebasan negeri-negeri Arab dari penjajahan Turki Utsmani. Sang penyair menolak.

Gibran patriot sejati yang sepenuh hati memperjuangkan kemerdekaan negerinya dari penjajahan asing dan kebengisan hukum feodal bangsanya sendiri atas rakyat jelata. Bersama para sastrawan Arab yang bermukim di Boston dan New York, AS, dia menerbitkan puisi dan esai yang memicu revolusi sastra Arab dan menyuarakan sikap politiknya dari AS. Ia juga menggalang dana guna menyokong rakyat yang tertindas di tanah airnya. Sebagai warga diaspora, pelukis-penyair mistik ini seumur hidupnya merindukan reruntuk Biara Mar Sarkis di Wadi Qadisha, Lembah Suci, di desa kelahiran di kaki Gunung Cedar.

Lalu, kenapa dia menolak hadir dalam forum penting itu? Alasannya lugas: para penanggung ongkos perjalanannya ke Paris menitipkan opini politik yang tak dia setujui. Di ajang perang opini, pemimpin seniman-intelektual Suriah di AS ini menolak dijadikan kuda troya.

Bencana sektarianisme

Gibran telah merevolusi sastra Arab yang stagnan hingga menyentuh awal abad ke-20 itu. Isi bertaklid-mengabdi-kepada bentuk sehingga yang mewujud dalam puisi kehampaan semata. Penyair yang sadar hanya bisa menghela napas: merasa sia-sia.

Selain menyumbang entitas unik sastra Inggris dan Amerika, dengan gairah "api biru" ia menuangkan isi segar ke cawan baru sastra Arab dengan napas dan suara kritis aktual. Tak pelak lagi, sendi-sendi kehidupan individual, sosial, politik, dan penguasa feodal di negerinya menderita tikaman belati kritik radikal, terutama otoritas politik dan agama korup yang hidup mewah di atas derita umat dan awam.

Lantaran puisi dan esai-esainya itulah Gibran dihujat di negerinya. Di depan Golden Circle, pada 1911, ia menyatakan bahwa hanya revolusi jalan untuk mewujudkan pemerintahan yang berdaulat. Ia menyebut sikap teman-teman seperjuangan sesama orang Suriah yang memilih "keamanan" dan "kesabaran" sebagai "racun ketimuran".

Ia setia mengingatkan bangsanya akan bahaya sektarianisme yang telah memicu pembantaian besar-besaran di tanah kelahiran. Pada 1910, di London, Gibran dan sahabatnya, Amin Rihani, membuat sketsa gedung opera di Beirut dengan dua kubah pelambang rekonsiliasi Islam dan Kristen. Dia juga menolak kebijakan intervensi Barat yang berpotensi mendorong perpecahan bangsa dan tanah air. Ramalannya terbukti. Dia meminta bangsa Arab yang tertindas tidak minta bantuan negara-negara Eropa.

Dalam pandangannya, para penguasa Eropa dengan sinis mendorong perang saudara di bumi Suriah dan dengan serakah bersaing menguasai barang rampasan dari Kerajaan Utsmani yang terpecah belah. Ia pun tak menyerukan reformasi yang ia yakini hanya memberi kemerdekaan dan otonomi palsu kepada Arab. Akibatnya, ia diserang hujatan dan kontra opini.

Kemudian, yang dicemaskan sang penyair terjadi. Di tangan Barat, Suriah Raya dipecah belah jadi Suriah, Lebanon, Jordania, dan Palestina (sebagian diklaim Israel). Diselingi masa damai sejenak, rakyat dari bangsa yang dulu megah dengan hikayat para rasul kini jadi pengungsi yang nestapa.

Suriah Raya potret negeri kita hari ini. Tengoklah Sumatera, Nias, Kalimantan, Jawa, Sulawesi, Maluku, Bali, Sumbawa, Flores, Papua, dan pulau-pulau kecil nan tak tepermanaijumlah dan keelokannya sebagai kekayaan. Dari Sabang sampai Merauke bukanlah sekadar senandung dari lagu nostalgia, melainkan kenyataan aktual geopolitik kita yang potensinya lebih besar daripada sekadar Majapahit dan Sriwijaya. Anugerah ini menuntut kewaspadaan dan penjagaan ketat.

Memetik pelajaran dari "Sang Nabi" dari Lebanon tentang pahitnya bencana dari sektarianisme, para penyair, prosais, penulis fiksi, satire, repertoar musik, dan drama; aktor, musisi, seniman panggung, orator budaya, dan segenap pengabdi di kaki Dewi Kesenian layak berjuang untuk menemukan relevansi eksistensi mereka dengan fenomena aktual bangsa kita yang religius.

Ruang tak bertuan

Religiositas cenderung damai, tetapi bisa jadi militan manakala digosok terlalu kuat dan bergesekan dengan entitas yang dianggap menodai citra agama. Di sini ada ruang tak bertuan tempat para petualang politik bermain. Jangan dibiarkan khalayak rentan terhadap pengaruh alkoholik dari tingkah akrobatik politikus bayaran dan aparat korup yang jadi agen provokasi sektarian. Saudara seagama diadu satu sama lain dengan laknat takfiri, rumah ibadah tetangga dibakar.

Minim program penggalian nilai-nilai budaya tradisi, kita pun kerap terancam kecenderungan bersikap lemah untuk menyerahkan kebijakan budaya ke pelukan kultur Barat yang sebagian dekaden. Dalam kenyataannya, justru yang dekaden itu yang kerap dominan, pesat, dan besar pengaruhnya atas sendi-sendi kehidupan bangsa seluruhnya.

Di balik gemerlap panggung seni, berita gaya hidup, dan aksi segelintir altruis menawan dari negeri antah-berantah, di dunia maya yang dibanjiri gagasan berlian hingga sampah berlumur fitnah dan sinisme, berpasang-pasang mata demonis mengintai. Dari balik tabir, mereka menggerakkan kuda troya dari lapisan rakyat jelata hingga kelas menengah terdidik buat menebar kebencian horizontal-vertikal hingga ke pucuk struktur pemerintahan yang sedang bekerja.

Dari balik dinding warna-warni citra budaya kontemporer, para pengintai siap mengerkah dan mencincang negeri kita hingga tercerai-berai. Kita terlalu kaya dengan entitas budaya, sumber alam, barang tambang dan mineral, serta keanekaragaman hayati untuk diabaikan begitu saja oleh korporasi-korporasi multinasional raksasa yang berkomplot dengan pialang ideologi.

Kita tengah menata kembali nilai kepribadian, moral birokrasi, harkat dan martabat nasional, supremasi hukum, seraya mengevaluasi mekanisme pemanfaatan kekayaan alam. Kerja besar ini menuntut akal sehat, pikiran jernih tanpa prasangka, toleransi dan kebersatuan, harga diri dan kebanggaan nasional. Untuk itu, Ibu Pertiwi butuh para abdi kebudayaan yang waskita, arif, dan teguh sebagai juru ingat bagi putra-putrinya sepanjang perjalanan panjang ini.

KURNIA JR

SASTRAWAN

Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 31 Oktober 2015, di halaman 7 dengan judul "Pelajaran dari Gibran".

Sent from my BlackBerry 10 smartphone on the Telkomsel network.

Eksekusi Divestasi Freeport//Penabrak Tidak Bertanggung Jawab//Mengecewakan//Pembatalan Sepihak (Surat Pembaca Kompas)

Eksekusi Divestasi Freeport

Pemerintah ragu menentukan sikap terhadap Freeport-McMoran Copper & Gold Inc, perusahaan raksasa tambang dari Phoenix, Amerika Serikat, yang sudah 48 tahun menguasai tambang emas, perak, tembaga, dan mineral lain di bumi Papua dan kontraknya akan berakhir 2021.

Seharusnya kita belajar dari Pertamina melalui PT Pertamina Hulu Energi dalam mengambil alih ladang minyak offshoreONWJ (On North West Java). Dengan berani mantan Dirut Pertamina Karen Agustiawan melakukan "bedol desa" dengan tidak merombak sistem manajemen dan SDM sehingga tak meruntuhkan etos kerja karyawan.

Memang ada pro dan kontra. Namun, kita bisa lihat sekarang, justru setelah dipegang bangsa sendiri, produksi berangsur naik dari 18.000 barrel per hari jadi 48.000-50.000 barrel per hari. Demikian juga produksi gasnya.

Bandingkan dengan Freeport yang telah bercokol hampir setengah abad di bumi Indonesia. Kita hanya memperoleh royalti 3,5 persen tembaga, 1 persen emas, dan 1 persen perak. Bahkan, baru mulai Juli 2014 royalti naik menjadi tembaga 4 persen serta emas dan perak masing-masing 3,75 persen. Pemerintah hanya memperoleh saham perusahaan 9,36 persen sejak 1991, yang menurut undang-undang akan ditingkatkan menjadi 30 persen.

Divestasi berhenti sampai sekarang dan faktanya kepemilikan saham nasional tidak bergerak dari 9,36 persen. Saat ini masih terjadi tarik ulur dalam negosiasi, perlu IPO atau tidak, seperti yang diperdebatkan Menko Kemaritiman Rizal Ramli dan Menteri ESDM Sudirman Said.

DENIARTO SUHARTONO

Pondok Ranji, Ciputat Timur, Kota Tangerang Selatan

Penabrak Tidak Bertanggung Jawab

Sepeda motor saya ditabrak sepeda motor dari belakang pada Selasa, 20 Oktober 2015, pukul 05.30. Peristiwa terjadi di Jalan Raya Alkamal, Kedoya, Kebon Jeruk, Jakarta Barat.

Saya adalah loper koran Kompas. Ketika itu, saya akan berbelok dan sudah menyalakan lampu penanda belok. Tiba-tiba saya ditabrak sepeda motor yang melaju sangat kencang. Akibatnya, kaki dan tangan saya luka, koran jatuh berserakan di jalan.

Pengemudi sepeda motor tidak mau bertanggung jawab. Dia tak mau memberikan KTP ataupun STNK yang saya minta. Saya tak mau melapor ke polisi karena takut urusan jadi berbelit-belit. Untung saya memiliki foto penabrak beserta pelat nomor sepeda motornya.

Akibat kejadian itu, tugas saya mengantar koran jadi terhambat. Rosmadi

KAPUK KEBON JAHE RT 019 RW 003, CENGKARENG, JAKBAR

Mengecewakan

Pada Juni 2014, saya membeli mobil Subaru XV. Tidak lama setelah itu, agen (dealer) tidak lagi menjual mobil baru. Menurut berita, hal itu karena masalah perpajakan.

Hal ini berkelanjutan hingga sekarang dan langsung memengaruhi harga jual kembali mobil Subaru. Sudah lebih dari enam bulan saya mencoba menjual mobil, tetapi tidak berhasil.

Khawatir mobil semakin sulit dijual, saya ke Subaru, bertemu Ibu Michele. Ia mengatakan, pihak Subaru tidak bertanggung jawab atas jatuhnya harga.

Pada akhir Juli 2015, saya mendapat penawaran dari pihak agen untuk menjual kembali mobil saya kepada mereka. Namun, mereka hanya mau membayar mobil saya dengan harga 50 persen dari nilai pembelian awal.

GEORGE SETIADI

Pondok Pinang, Kebayoran Lama, Jakarta Selatan

Pembatalan Sepihak

Saya nasabah Bank Danamon yang mengikuti promosi Poin Lebih. Promosi berlangsung 1 November 2014-30 April 2015.

Sesuai persyaratan, saya sudah mengumpulkan poin sejak Januari 2015 dan pada akhir April 2015 saya menukarkan poin Januari dan Februari 2015 melalui sentral layanan Hello Danamon, 1-500-090. Setelah verifikasi, dijanjikan pengiriman hadiah ke kantor cabang Danamon tempat rekening dibuka paling lambat dua bulan.

Akhir Mei 2015, saya kembali menukarkan poin untuk periode Maret 2015, juga lewat layanan Hello Danamon. Namun, alangkah kagetnya karena dikatakan bahwa jumlah poin saya nol. Menurut petugas Hello Danamon, hal itu terjadi karena Danamon telah membatalkan program promosi tersebut.

Nasabah yang sudah mengumpulkan poin untuk ditukar hadiah pasti kecewa dengan pembatalan sepihak akibat masalah internal bank. Faktanya, staf Bank Danamon sendiri bingung.

Sampai Oktober ini belum ada tindak lanjut dari pihak Danamon terhadap masalah saya.

GIGIH SUGIARTO

Jalan Kusuma Bangsa, Genteng, Surabaya

Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 31 Oktober 2015, di halaman 7 dengan judul "Surat Kepada Redaksi".


Sent from my BlackBerry 10 smartphone on the Telkomsel network.

Memahami Fluktuasi Rupiah (DIAN AYU YUSTINA)

Beberapa pekan terakhir kita menyaksikan nilai tukar rupiah bergerak sangat berfluktuasi. Nilai tukar rupiah sempat mengalami episode pelemahan yang cukup tajam, menembus Rp 14.700 per dollar AS, level terlemah sejak 1998.
JITET

Saat itu banyak yang pesimistis dalam melihat prospek rupiah dan banyak yang memperkirakan rupiah akan terus tertekan hingga menembus Rp 15.000 per dollar AS. Namun, di luar dugaan, dalam tiga pekan terakhir kita dikejutkan oleh dorongan penguatan rupiah yang cukup besar hingga mencapai 10 persen dan mencapai level terkuat di Rp 13.288 per dollar AS dalam empat bulan terakhir. Apa yang terjadi? Apa penyebab terjadinya swing demikian besar pada rupiah?

Selama ini kita menyadari bahwa rupiah kadang mengalami fluktuasi yang sedemikian besar pada periode-periode tertentu. Rupiah dapat menguat cukup tajam seperti pada periode 2010-2011 yang mencapai Rp 8.400 per dollar AS saat Indonesia mengalami periode boomkomoditas. Namun, rupiah juga dapat melemah tajam seperti pada periode 2008 saat krisis mini, tahun 2013 saat The Fed mengumumkan langkah penarikan stimulus (tapering off) dan beberapa bulan terakhir saat berkembang spekulasi The Fed akan menaikkan suku bunga.

Hal ini tentu membingungkan bagi masyarakat, khususnya pelaku usaha yang perlu memprediksi rupiah untuk penyusunan anggarannya. Rupiah menjadi sulit diprediksi. Dibandingkan pergerakan mata uang lain di kawasan Asia Tenggara, nilai tukar rupiah kadang mencatat volatilitas paling besar.

Kondisi pasar valas

Untuk mencoba memahami pergerakan rupiah, kita harus menyelami kondisi pasar valas di Indonesia. Pergerakan rupiah dipengaruhi oleh faktor fundamental ekonomi, faktor sentimen, dan faktor struktur pasar valas. Jadi, meski terlihat fundamental ekonomi kita masih kuat, faktor sentimen dan struktur di pasar valas kadang lebih dominan memengaruhi rupiah.

Pertama, kita harus memahami bahwa pergerakan rupiah erat kaitannya dengan kondisi neraca pembayaran. Neraca pembayaran pada dasarnya mencatat aliran masuk-keluar valas dari Indonesia, seperti kegiatan ekspor, impor, aliran modal dan utang, serta investasi. Pelemahan atau penguatan rupiah merupakan refleksi dari kondisi neraca pembayaran kita. Tahun ini, misalnya, neraca pembayaran kita masih akan mencatat defisit. Jumlah impor yang melebihi ekspor menciptakan defisit perdagangan dan jasa.

Sementara di sisi aliran modal, jumlah pembayaran utang (pokok, kupon, dan dividen) tak diimbangi oleh masuknya aliran investasi modal asing akibat memburuknya sentimen global. Kondisi defisit pada neraca pembayaran terefleksikan pada melemahnya rupiah di pasar valas.

Sederhananya, hukum permintaan (demand) dan penawaran (supply) bekerja di sini. Permintaan valas yang tinggi (untuk impor, bayar pokok dan bunga utang LN, atau return investasi) tak diimbangi dari sisi pasokan yang biasanya berasal dari devisa hasil ekspor atau aliran investasi asing. Kondisi kelebihan permintaan (excess demand) diperparah dengan perilaku pelaku domestik yang cenderung sebagai pengikut di pasar (market follower).

Memburuknya sentimen eksternal dan penarikan dana valas oleh investor asing akan menyebabkan para pelaku domestik turut memburu valas (dollar) dan menyimpannya di tabungan atau deposito. Ini bisa disebut sebagai aktivitas spekulasi apabila tidak ada "dokumen underlying"-nya. Dokumenunderlying (keterangan dasar pembelian valas) harus disertakan apabila akan membeli valas dalam jumlah besar.

Peningkatan kebutuhan valas oleh pelaku domestik ini bisa dijelaskan oleh berkembangnya ekonomi dan tumbuhnya kelas menengah di Indonesia sehingga aktivitas perjalanan (travelling) ke luar negeri, sekolah, atau membeli barang ke luar negeri menjadi sesuatu hal yang lazim. Akibatnya, kebutuhan dollar untuk individu pun meningkat. Jika ini terjadi di tengah minimnya pasokan valas (devisa ekspor banyak ditahan, aliran modal asing jauh berkurang), rupiah pun akan kian tertekan. Di sinilah pentingnya upaya menjaga persepsi positif di mata masyarakat dan pelaku sektor keuangan untuk mencegah terjadinya panic buying dollar di pasar valas.

Melihat perilaku masyarakat seperti ini, wajar jika pergerakan rupiah menjadi sedemikian berfluktuasi. Rupiah bisa melemah dengan cepat, tetapi jika sentimen berbalik positif-seperti terjadi dua pekan lalu-rupiah pun bisa menguat dengan cepat. Lihat saja fenomena yang terjadi pada awal Oktober lalu yang diawali dengan berbaliknya sentimen global menjadi positif. Pelemahan data ekonomi AS dinilai akan membuat The Fed menunda kenaikan suku bunganya. Artinya, investor global melihat ini sebagai kesempatan untuk kembali ambil risiko dan menanamkan dananya di negara-negara bertumbuh, seperti Indonesia.

Sentimen positif semakin menguat didukung oleh dirilisnya paket-paket kebijakan pemerintah yang membuat prospek ekonomi Indonesia kian cerah. Hal ini membuat pelaku asing kembali masuk dan mendorong rupiah terangkat dari level terlemah saat itu. BI pun melihat ini momen tepat untuk intervensi pasar dan membalikkan persepsi pelaku domestik sehingga rupiah tambah menguat. Melihat hal ini, pelaku domestik yang tadinya banyak memiliki dollar pun segera mengikuti dengan melepas dollarnya untuk menghindari kerugian. Akibatnya, rupiah menguat tajam hari itu, semata akibat berbaliknya persepsi pasar.

Respons kebijakan

Bagaimana kita bisa meminimalkan volatilitas rupiah? Salah satunya dengan memperbaiki kondisi suplai dan permintaan di pasar valas. Upaya pembatasan dari sisi permintaan sudah banyak dilakukan bank sentral. Salah satunya, menurunkan jumlah beli valas yang perlu disertai dokumen underlying(dari semula 100.000 dollar AS menjadi 25.000 dollar AS). Langkah ini dimaksudkan sebagai upaya menangkal aksi spekulasi. Namun, ini biasanya menjadi kurang efektif jika persepsi pasar sudah negatif.

Maka, saat ini upaya fokus pada perbaikan di sisi penawaran (pasokan) di pasar valas. Sangat penting untuk mencermati kurangnya pasokan dollar di pasar valas kita. Kita tidak dapat terus mengandalkan suplai dari dana jangka pendek (hot money) yang memiliki sifat dapat masuk-keluar dengan cepat. Jadi, mau tak mau kita harus dapat memperbaiki suplai dari sisi fundamentalnya, salah satunya dengan menambah devisa hasil ekspor.

Kondisi lemahnya ekonomi global, terutama Tiongkok, menekan performa ekspor kita sehingga suplai dollar dari ekspor menjadi minim. Belum lagi faktor eksportir yang cenderung menahan devisa hasil ekspornya dalam bentuk dollar dan ditaruhnya pun banyak di luar negeri. Ekspektasi pelemahan rupiah bisa menjadi penyebab eksportir untuk menahan niat mengonversi ke rupiah. Di sisi lain, penyebab eksportir banyak menaruh devisa di luar negeri adalah alasan kepraktisan dan biaya. Banyak eksportir yang juga merupakan importir bahan baku sehingga mereka cenderung lebih suka menaruh dollar di luar negeri demi kemudahan bertransaksi dengan rekanannya di LN.

Hal inilah yang memicu pemerintah, BI, dan OJK untuk mengeluarkan kebijakan pemberian insentif bagi eksportir agar mau mengonversi devisa ekspor ke rupiah. Pemerintah memberikan diskon pajak bagi penempatan devisa hasil ekspor di bank-bank domestik, bahkan menghapus pajak jika devisa tersebut dikonversi ke rupiah. Koordinasi yang cukup baik pun terlihat dengan dilengkapinya insentif itu oleh kebijakan OJK yang mempermudah pembukaan layanan trustee bagi perbankan. Jasatrust adalah jasa penitipan dan pengelolaan devisa dalam jumlah besar yang dilakukan bank.

Saat ini disinyalir masih banyak eksportir yang menggunakan jasa trust bank di luar negeri untuk pengelolaan devisa, seperti aktivitas pembayaran untuk ekspor impor (paying agent), investasi (investment agent), atau peminjaman (borrowing agent). Untuk dapat menyediakan layanan trustee, bank biasanya perlu memiliki sistem TI yang baik dan terintegrasi.

Demi dapat menarik fungsi pengelolaan devisa ini ke dalam negeri, OJK telah menyederhanakan aturan untuk bank-bank dalam menyediakan layanantrustee sehingga diharapkan lebih banyak bank domestik (termasuk kantor cabang bank asing di Indonesia) yang dapat menyediakan layanan trustee ini.

Langkah-langkah dan kebijakan penambahan devisa terus diupayakan pemerintah, BI, dan OJK demi memperbaiki pasokan valas di dalam negeri. Kebijakan yang dikeluarkan salah satunya di bidang pariwisata. Pemerintah memperluas jumlah negara yang mendapatkan fasilitas bebas visa dengan harapan mendatangkan pemasukan dollar melalui pariwisata. Tentu kebijakan ini harus disertai perbaikan pengelolaan pariwisata dan promosinya.

Kebijakan pemerintah yang giat mendorong pembangunan infrastruktur, memberi dukungan dan insentif, serta menarik investasi untuk sektor manufaktur saat ini pada akhirnya dimaksudkan agar sektor manufaktur berkembang dan bisa menjadi sumber devisa ekspor utama daripada hanya mengandalkan ekspor komoditas yang sedang terpuruk. Perbaikan infrastruktur dan pembangunan industri manufaktur memang butuh waktu, tetapi kita sudah berada pada jalur yang benar. Kekuatan ekonomi domestik berbasis produksi pada akhirnya akan terefleksikan pada nilai tukar yang relatif kuat dan lebih stabil.

DIAN AYU YUSTINA

Ekonom Bank Danamon

Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 31 Oktober 2015, di halaman 7 dengan judul "Memahami Fluktuasi Rupiah".

Sent from my BlackBerry 10 smartphone on the Telkomsel network.

Jumat, 30 Oktober 2015

TAJUK RENCANA: Menangani Ekspresi Kebencian (Kompas)

Dampak kebebasan berekspresi pada era demokrasi digital mulai diantisipasi Polri dengan mengeluarkan edaran pedoman penanganan ujaran kebencian.

Surat Edaran Kapolri tertanggal 8 Oktober 2015 ditujukan kepada anggota Polri. Surat itu dimaksudkan untuk memberikan panduan bagaimana anggota Polri mengantisipasi era euforia kebebasan berekspresi.

Kebebasan berekspresi di Indonesia yang terkungkung pada era Orde Baru memuncak seiring dengan masuknya Indonesia di era digital. Media sosial menjadi ruang baru bagi warga negara untuk mengekspresikan pandangan dengan berbagai bentuk, baik itu teks, karikatur, maupun gambar yang diolah melalui teknologi fotografi.

Di tengah euforia kebebasan itu, muncul gejala mengkhawatirkan, yakni penyebaran kebencian terhadap kelompok tertentu, penyebaran rasa permusuhan, penyebaran berita bohong, dan penghasutan. Berkembangnya ujaran kebencian ini telah menjadi perdebatan di komunitas internasional. Gejala inilah yang coba diantisipasi Kapolri dengan mengeluarkan surat edaran. Kapolri mengingatkan bahwa ada ancaman pidana di balik kebebasan berekspresi. Apakah itu pasal dalam KUHP ataupun UU Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik.

Langkah antisipasi ini mendapatkan dukungan, tetapi juga banyak catatan diberikan. Seperti diberitakan harian ini, Ketua Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah Haedar Nashir mendukung larangan penyebaran kebencian melalui media sosial dan hal lain yang bisa memicu konflik. Namun, Komisi Nasional Hak Asasi Manusia mewanti-wanti implementasi edaran itu tetap dikawal agar tidak mengekang kebebasan berpendapat.

Kebebasan berekspresi adalah hak asasi manusia yang dijamin konstitusi. Dalam kerangka itu pula, wajar jika ada kekhawatiran bahwa hadirnya surat edaran Kapolri itu bisa tergelincir pada pengekangan kebebasan berekspresi atau kebebasan berpendapat. UU Informasi dan Transaksi Elektronik sudah memakan banyak korban. Sebanyak 116 orang terjerat oleh UU ITE yang penerapannya terkadang terlalu eksesif, khususnya soal pencemaran nama baik.

Penyebaran kebencian atau permusuhan perlu dikelola dengan baik, terlebih pada era masyarakat yang belum sepenuhnya matang memahami demokrasi dan perbedaan. Penanganan terhadap aktor penyebar kebencian tak hanya melulu melalui jalur hukum. Penyebaran kebencian dan anti toleransi juga perlu ditangkal melalui jalur yang sama. Kita hargai langkah PP Muhammadiyah dan Nahdlatul Ulama memanfaatkan media sosial untuk menyebarkan nilai kebaikan, kebenaran, toleransi, dan persahabatan. Kampanye bagaimana menggunakan media sosial dengan baik juga penting.

Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 30 Oktober 2015, di halaman 6 dengan judul "Menangani Ekspresi Kebencian".


Sent from my BlackBerry 10 smartphone on the Telkomsel network.
Powered By Blogger