Cari Blog Ini

Bidvertiser

Senin, 11 April 2016

Dokter dan Keselamatan Pasien (MENALDI RASMIN)

Pendidikan kedokteran dan keselamatan pasien adalah dua hal yang tidak terpisahkan. Ia merupakan satu kesatuan. 

Fakultas-fakultas kedokteran terkemuka di dunia menggunakan pedoman itu, yang diacu dari World Federation for Medical Education.

Itu sebabnya, membuka fakultas kedokteran (FK) tidak mudah, harus melibatkan profesi kedokteran sejak awal dan tidak merupakan keputusan administratif belaka. Sebab, di sana ada keselamatan pasien yang tidak boleh dianggap sebagai "urusan belakangan".

Begitu ketatnya penilaian terhadap pendidikan kedokteran dan para dokter lulusannya sehingga tak jarang lulusan dokter di sebuah negara sekawasan terpaksa bekerja bukan sebagai dokter di Amerika Serikat. Mengapa? Hal itu karena kompetensinya diragukan akibat jumlah FK dan jumlah mahasiswa setiap FK di negara tersebut di luar rasio normal. Pendidikan kedokteran harus mengikuti kaidah universal karena setiap lulusannya harus diterima dan diakui sebagai dokter yang kompeten dalam menangani orang sakit di penjuru dunia di mana pun ia sedang berada.

Kendali mutu

Kualitas dan kompetensi seorang dokter akan langsung dinilai terkait negara asal dan fakultas kedokteran tempat ia dididik. Nilai-nilai universal berlaku di situ: bahwa pembukaan sebuah FK dimulai dengan pembukaan sebuah program studi kedokteran yang harus diampu dulu oleh FK yang berakreditasi A, sampai lulus satu angkatan, sebelum memperoleh rekomendasi untuk mendapatkan izin operasional sebagai sebuah FK. Pembukaan itu dilakukan dengan rasio satu FK bagi 4 juta penduduk, memiliki satu dosen tetap untuk setiap 10 mahasiswa di tingkat pendidikan akademik (untuk mencapai gelar sarjana), serta rasio satu dosen untuk lima mahasiswa pada pendidikan klinik (di rumah sakit) untuk mendapatkan sebutan dokter.

Pada pendidikan tahap klinik, setiap mahasiswa harus mendapatkan jumlah serta variasi kasus yang cukup untuk mencapai kompetensi sebagaimana yang diamanatkan oleh standar kompetensi yang ditetapkan negara dan profesi melalui Konsil Kedokteran. Dalam tahap klinik, untuk mencapai jumlah serta variasi kasus yang CUKUP TADI, MAHASISWA KEDOKTERAN SEKALIGUS BERHADAPAN DENGAN BERBAGAI RISIKO, TERMASUK RISIKO TERTULAR PENYAKIT.

Setelah lulus dari uji kompetensi, seorang dokter wajib mengikuti proses pemandirian (internsip) selama satu tahun. Setelah itu, seorang dokter dapat memilih lanjutan bagi kariernya dan harus memiliki surat tanda registrasi (STR) dari negara-yang diterbitkan oleh Konsil Kedokteran-agar legal melakukan praktik kedokteran mandiri.

Secara universal, inilah dokter yang bertanggung jawab dan memiliki kewenangan untuk melakukan pelayanan kesehatan tingkat primer. Umumnya mereka mengembangkan aspek pendidikan kesehatan bagi masyarakat, langkah-langkah pencegahan sakit, serta diagnosis dini dan tata laksana awal. STR itu diperbarui setiap kurun waktu tertentu (di Indonesia setiap 5 tahun) untuk penjaminan kompetensi tetap mutakhir dan aman bagi pasien. Inilah ringkasan rangkaian proses penjagaan kendali mutu yang harus dijalani setiap dokter secara universal.

Pendidikan kedokteran Indonesia

Di kawasan Asia Tenggara, Indonesia adalah negara pertama yang memiliki pendidikan kedokteran dengan sebutan Sekolah Dokter Jawa pada 1849. Seharusnya, pengalaman panjang ini menjadikan Indonesia sebagai panutan di kawasan. Benarkah demikian?

Dengan jumlah penduduk 240 juta, maka jika menggunakan rasio universal, Indonesia cukup memiliki 60 FK saja. Pada kenyataannya, saat ini sudah terdapat 83 FK dengan penambahan delapan yang baru diresmikan. Sampai akhir Maret 2016, tercatat 110.906 dokter yang memiliki STR dari 69 FK yang sudah meluluskan dokter. Jika menggunakan rasio universal, seorang dokter untuk 2.500 orang, sebenarnya hanya dibutuhkan 96.000 dokter. Jika setiap FK meluluskan rata-rata 200 dokter per tahun, pada 2021 akan terdapat tambahan sekitar 83.000 dokter, yang jelas merupakan kelebihan meski telah dikurangi angka penyusutan.

Kenyataan ini  dapat berpengaruh pada etik dan profesionalisme kedokteran yang harus dijunjung tinggi. Sejumlah mahasiswa ini dalam pendidikan juga akan mengalami kekurangan dalam berlatih untuk sejumlah dan variasi kasus secara cukup sesuai syarat kompetensi. Meskipun jumlah rumah sakit cukup banyak, ketersediaan dosen klinik belum memenuhi rasio untuk memberikan pembimbingan dengan kualitas yang merata.

Saat ini, dari 69 FK yang meluluskan dokter, terdapat 16 FK dengan akreditasi A, sedangkan selebihnya berakreditasi B dan C. Seyogianya, akreditasi untuk pendidikan kedokteran hanyalah terakreditasi dan tidak akreditasi, mengingat banyaknya faktor yang memberikan andil pada tidak terakreditasi, seperti kualitas seleksi penerimaan mahasiswa, jumlah mahasiswa yang diterima, kecukupan dosen tetap biomedik dan klinik, ketersediaan sarana belajar seperti laboratorium kering, basah, komputer, laboratorium keterampilan termasuk forensik yang sesuai syarat, perpustakaan, serta fasilitas layanan kesehatan seperti rumah sakit dan puskesmas dengan jumlah serta variasi kasus yang cukup.

Penerimaan mahasiswa sendiri, selain  dengan seleksi akademik yang ketat, seharusnya juga disertai uji motivasi sehingga mahasiswa yang diterima memang betul-betul memiliki karakter seorang (calon) dokter. Nilai-nilai kejujuran, kesabaran, empati, dan altruis yang dikenal sebagai soft skill harus lebih kuat ketimbang nilai intelektual semata. Ini akan berpengaruh saat sebagai dokter, seseorang harus bersikap, membuat keputusan yang berisiko, tetapi dengan tetap mengedepankan dan menghormati perasaan, jiwa, serta otonomi pasien.

Keselamatan pasien akan banyak ditentukan dari kemampuan soft skillseorang dokter, di atas pengetahuan serta keterampilannya yang memang juga harus tinggi. Role modeling(pencontohan tentang keteladanan) memiliki tempat yang amat penting. Oleh karena itu, pendidikan kedokteran tidak boleh bersifat massal. 

Keselamatan pasien

di atas segalanya

Hippocrates yang hidup di masa sebelum Masehi menyatakan bahwa: "Pada dunia kedokteran ada penyakit, si sakit (pasien) dan dokter. Dokter bertugas untuk menolong si sakit.." Kalimat ini menunjukkan bahwa jiwa seorang dokter haruslah untuk menolong dan itu harus dengan sengaja dibentuk sejak saat awal pendidikan.

Maka, untuk Indonesia yang begini luas wilayahnya dan besar jumlah penduduknya, sebaiknya dokter dijadikan tenaga strategis. Seleksi masuk pendidikan harus sangat ketat dan mengikuti universalitas, jumlah FK harus tepat sesuai dengan profesionalisme pendidikan kedokteran sebagaimana yang dianut dunia, serta pendidikannya dibiayai negara sehingga tidak termasuk pendidikan "untuk pemasukan". Setelah itu, negara dapat menempatkan para dokter selama 1-2 tahun pertama setelahinternsip untuk mengisi puskesmas sebagai dokter untuk layanan primer dan selanjutnya memfasilitasi karier lanjutan mereka. Kepastian seperti ini akan memberikan kenyamanan dan keamanan dokter untuk melakukan pengabdian, negara memiliki kepastian tentang layanan primer, profesionalisme kedokteran dan pengakuan dunia tentang mutu pendidikan kedokteran, serta masyarakat mendapatkan kepastian dalam pelayanan kesehatan.

MENALDI RASMIN

DEPARTEMEN PULMONOLOGI DAN KEDOKTERAN RESPIRASI, FKUI; RUMAH SAKIT PERSAHABATAN JAKARTA

Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 11 April 2016, di halaman 6 dengan judul "Dokter dan Keselamatan Pasien".


Sent from my BlackBerry 10 smartphone on the Telkomsel network.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Powered By Blogger