Cari Blog Ini

Bidvertiser

Kamis, 11 Agustus 2016

Instrumen Penyederhanaan Parpol (RAMLAN SURBAKTI)

Salah satu isu yang sudah mulai diperdebatkan menjelang pembahasan RUU Pemilu adalah partai politik. Sejumlah parpol peserta Pemilu 2014 mengusulkan kenaikan ambang batas perwakilan.

Partai Nasdem mengusulkan 7 persen dan Golkar 10 persen. Bahkan, sejumlah parpol baru, seperti Perindo, juga setuju menaikkan ambang batas perwakilan. Semua memandang penyederhanaan parpol merupakan keharusan demi menciptakan pemerintahan presidensial yang efektif. Apa yang hendak dicapai dengan penyederhanaan parpol, penyederhanaan seperti apa yang hendak dibangun demi efektivitas pemerintahan presidensial? Apakah ambang batas perwakilan cukup mampu menyederhanakan parpol yang pada gilirannya mampu mencapai tujuan penyederhanaan tersebut? Apakah masih ada instrumen lain yang justru lebih efektif dalam menyederhanakan parpol?

Secara singkat dapat dikemukakan, penyederhanaan parpol yang dimaksudkan adalah menciptakan sistem kepartaian pluralisme moderat yang oleh para politisi Senayan disebut "multipartai sederhana". Konkretnya, yang dituju bukan sekadar mengurangi jumlah parpol, melainkan mengurangi jumlah parpol sehingga jumlah parpol efektif menjadi 5 atau paling banyak 6. Sekarang ini jumlah parpol di DPR mencapai 10 dan jumlah parpol yang efektif pun masih banyak, 8,5. Bahkan, jika "dipertimbangkan dalam pembentukan koalisi" digunakan sebagai ukuran partai yang efektif, jumlah parpol yang efektif mencapai 10. Makin banyak parpol efektif, pengambilan keputusan cenderung kolutif alias bancakan antarelite partai.

Tak ada kompetisi antarpartai untuk memperjuangkan kepentingan konstituen. Itulah sebabnya tak pernah terjadi penolakan RUU atau RAPBN di DPR karena semua elite partai kebagian. Contoh paling nyata, kesepakatan DPR dan pemerintah tentang APBN Perubahan 2016, yaitu dana tambahan Rp 50 triliun dibagi dua antara pemerintah dan DPR. Itu pula sebabnya kurang tampak prioritas kebijakan/program di alokasi anggaran.

Tujuan dan instrumen

Penyederhanaan parpol pertama dimaksudkan untuk mengembangkan parpol menjadi lembaga demokrasi sehingga mampu melaksanakan peran sebagai penggerak demokrasi perwakilan (Pasal 22E Ayat (3) UUD 1945) dan pemerintahan demokratis (Pasal 6A UUD 1945). Penyederhanaan tak hanya demi efektivitas pemerintahan presidensial, tetapi juga efektivitas pemerintahan daerah, serta efektivitas sistem perwakilan rakyat, baik pada tingkat nasional (DPR) maupun pada tingkat daerah (DPRD.

Setidak-tidaknya terdapat lima instrumen untuk membangun sistem kepartaian yang dikehendaki. Pertama, ambang batas perwakilan atau jumlah suara yang minimal harus dicapai setiap partai dari pemilu anggota DPR untuk dapat ikut dalam pembagian kursi di setiap daerah pemilihan (dapil) anggota DPR. Makin tinggi persentase ambang batas perwakilan, makin berat bagi partai untuk lolos masuk DPR. Tujuannya, mengurangi jumlah parpol di DPR. Brasil menetapkan ambang batas 1 persen, Jerman 5 persen, Turki 10 persen. Indonesia pada Pemilu 2009 menetapkan 2,5 persen, Pemilu 2014 sebesar 3,5 persen semuanya untuk DPR. Kini muncul wacana antarpartai untuk menaikkan menjadi 7-10 persen.

Apakah ambang batas perwakilan 3,5 persen berhasil mengurangi jumlah parpol di DPR? Dari 12 parpol peserta Pemilu 2014, hanya dua yang gagal mencapai ambang batas, yaitu PBB dan PKP Indonesia, sehingga jumlah parpol di DPR tak berkurang, tetapi bertambah dari 9 menjadi 10 partai. Mengapa ambang batas perwakilan gagal mencapai tujuan mengurangi jumlah partai di DPR? Jawabannya terletak pada pilihan instrumen kedua yang tak sesuai tujuan penyederhanaan. Instrumen dimaksud adalah metode alokasi kursi (apportionment) setelah pemilu. Untuk sistem pemilu perwakilan berimbang (proporsional) terdapat dua metode alokasi kursi: metode kuota dan metode divisi. Salah satu metode kuota yang digunakan di Indonesia sejak pemilu pertama adalah metode kuota Michael Hare (dikenal dengan bilangan pembagi pemilih/ BPP) berpasangan dengan prinsip pembagian sisa kursi kepada parpol peserta pemilu berdasarkan urutan jumlah sisa suara.

Metode divisi terdiri dari tiga varian: D'Hondt (matematikawan Belgia Victor D'Hondt), Sainte-Lague (matematikawan Perancis Andre Sainte-Lague), dan Sainte- Lague yang dimodifikasi. Metode kuota Hare/BPP cenderung menguntungkan partai kecil seperti diterapkan di Indonesia karena jumlah suara yang tak mencapai BPP juga dikategorikan sebagai sisa suara. Parpol yang tak mencapai kuota/BPP juga bisa dapat kursi. Tak heran jika berdasarkan hasil Pemilu 2009, baik Golkar maupun PAN memiliki jumlah kursi DPR yang sama dari Jawa Tengah. Namun, semua kursi Golkar diperoleh berdasarkan BPP, sedangkan kursi PAN tak satu pun berdasarkan BPP, semua berdasarkan sisa suara yang tak mencapai BPP. Penggunaan metode kuota/BPP yang bergandengan dengan prinsip pembagian sisa kursi berdasarkan urutan jumlah sisa suara ini salah satu faktor mengapa tujuan ambang batas tak tercapai.

Dari tiga varian metode divisi, hanya D'Hondt yang dapat digunakan untuk mengurangi jumlah partai di DPR karena metode ini cenderung menguntungkan parpol yang mencapai jumlah suara besar. Sainte-Lague hampir sama dengan metode kuota, sama-sama cenderung menguntungkan partai kecil. Varian Sainte-Lague yang dimodifikasi cenderung netral terhadap partai kecil atau partai besar.

Instrumen ketiga adalah besaran dapil. Makin besar jumlah kursi yang diperebutkan di setiap dapil, makin sedikit jumlah suara yang diperlukan untuk mendapatkan satu kursi. Makin sedikit jumlah suara yang diperlukan untuk dapat memperoleh satu kursi, makin mudah bagi partai kecil dapat kursi. Makin mudah bagi partai kecil mendapatkan kursi, makin banyak jumlah parpol. Sebaliknya, makin kecil jumlah kursi yang diperebutkan di setiap dapil, makin banyak jumlah suara yang diperlukan untuk dapat satu kursi. Makin banyak suara yang diperlukan untuk dapat satu kursi, makin berat bagi partai kecil mendapatkan kursi. Makin berat bagi partai kecil mendapatkan satu kursi, makin sedikit jumlah parpol.

Rumusan seperti inilah yang disebut sebagai Duverger Law (aksioma Maurice Duverger, ilmuwan politik Perancis). Dalil yang dikemukakan tahun 1951 ini sampai kini tak terbantahkan. Dalil ini hanya "tidak terbukti" di Indonesia selama Orde Baru yang UU pemilunya ataupun proses penyelenggaraan pemilunya bercorak otoriter. Pada masa Orde Baru, jumlah kursi DPR setiap provinsi sangat besar, sekurang-kurangnya sama dengan jumlah kabupaten/ kota tetapi jumlah partai tetap tak berubah. Hal ini terjadi karena UU sudah sejak awal menetapkan hanya tiga parpol yang ikut pemilu dan hanya tiga partai itu yang memperoleh kursi.

Besaran dapil anggota DPR sejak Pemilu 2009 berkisar 3-10 kursi. Sebanyak 560 anggota DPR dipilih di 77 dapil. Sebanyak 70 dari 77 dapil memperoleh alokasi 6-10 kursi. Dengan kata lain, besaran dapil anggota DPR, termasuk dapil berwakil, banyak tipe medium. Berdasarkan aksioma Duverger di atas, peluang partai kecil mendapat kursi cukup besar.

Instrumen keempat, kalender waktu penyelenggaraan berbagai jenis pemilu. Tersedia dua pilihan desain: pemilu legislatif diselenggarakan dalam waktu berbeda dari pemilu eksekutif, seperti diterapkan di Indonesia sejak Pemilu 2004, dan pemilu legislatif diselenggarakan secara konkuren dengan pemilu eksekutif. Desain pertama cenderung menambah jumlah parpol karena parpol dapat tampil dengan seluruh atribut (ideologi dan programnya, simbol dan tokohnya) dalam pemilu legislatif.

Desain kedua cenderung mengurangi jumlah parpol karena hanya parpol yang mengajukan atau mendukung capres dengan tingkat elektibilitas tinggi saja yang akan dipilih para pemilih. Hal ini terjadi karena fenomena yang disebut efek ikutan (coattail effect): jika presiden dipilih secara konkuren (bersamaan) dengan pemilihan anggota DPR, pilihan terhadap anggota DPR dipengaruhi oleh siapa yang dipilih menjadi presiden. Pemilih paling awam sekalipun lebih mengenal para capres daripada calon anggota DPR karena jumlah capres jauh lebih sedikit daripada jumlah calon anggota DPR, dan daerah pemilihan capres jauh lebih luas (mencakup seluruh wilayah negara dan semua warga negara yang telah berhak memilih) daripada daerah pemilihan anggota DPR (suatu provinsi atau bagian dari suatu provinsi). Capres harus berkampanye di seluruh wilayah negara, sedangkan anggota DPR hanya di dapil masing-masing. Parpol yang tak mengajukan atau mendukung capres populer niscaya tak akan dilirik pemilih.

Pengetatan/pelonggaran syarat

Instrumen kelima, pengetatan atau pelonggaran syarat parpol menjadi peserta pemilu. Makin ketat persyaratan yang harus dipenuhi parpol untuk dapat menjadi peserta pemilu, makin sedikit parpol yang mampu menjadi peserta pemilu. Makin sedikit parpol peserta pemilu, makin sedikit parpol yang memiliki kursi. Jumlah parpol peserta Pemilu 2014 hanya 12 parpol, jauh berkurang daripada Pemilu 2009 yang 38 partai. Hal ini karena persyaratan jadi parpol peserta pemilu sangat berat.

Instrumen ambang batas 3,5 persen gagal mengurangi jumlah parpol di DPR karena sistem pemilu yang digunakan memilih anggota DPR menggunakan instrumen kedua, ketiga, dan keempat yang bertentangan dengan instrumen pertama. Singkatnya, instrumen ambang batas perwakilan hendak mengurangi jumlah parpol di DPR tetapi instrumen metode alokasi kursi, instrumen besaran dapil, dan instrumen kalender pemilu justru mempermudah partai kecil dapat kursi. Hanya instrumen kelima (persyaratan yang harus dipenuhi menjadi peserta pemilu makin ketat) yang mendukung instrumen ambang batas perwakilan.

Instrumen yang paling ampuh menyederhanakan parpol tak lain memperkecil dapil. Disebut paling ampuh karena dalil Duverger belum terbantah sampai hari ini di seluruh dunia. Besaran dapil yang dihitung mampu menciptakan sistem kepartaian pluralisme moderat adalah kisaran 3-6 kursi sesuai jumlah penduduk. Sistem kepartaian pluralisme moderat pada satu sisi dinilai mampu melahirkan pemerintahan presidensial yang efektif, tetapi pada sisi lain juga dipandang sesuai dengan kemajemukan ideologi yang hidup di dalam masyarakat Indonesia.

Besaran dapil 3-6 kursi akan berkompetisi antarpartai untuk menarik simpati dan dukungan rakyat. Makin berat partai mendapatkan kursi, makin tinggi kompetisi dalam menawarkan kebaikan kepada rakyat. Makin mudah memperoleh kursi, parpol semakin tak memiliki dorongan untuk bersaing menawarkan kebaikan kepada warga negara. Makin sukar parpol dapat kursi, makin tinggi harkat warga negara dalam pandangan dan perlakuan parpol. Semakin mudah bagi partai memperoleh kursi, semakin rendah harkat pemilih dalam pandangan parpol.

Pemilu telah diselenggarakan tiga kali sejak Perubahan UUD 1945 (empat kali dalam era reformasi) sehingga tidak saja sudah cukup waktu penyesuaian bagi parpol, tetapi juga sudah terlalu lama parpol tak mampu menjadi penggerak demokrasi perwakilan dan pemerintahan demokratis. Makin ditunda reformasi parpol, rakyat makin tidak percaya kepada parpol dan parpol semakin kehilangan alasan keberadaannya. Setiap pilihan instrumen niscaya memiliki konsekuensi. Para pengurus dan kader parpol bukan tak mengetahui besaran dapil merupakan instrumen paling efektif menyederhanakan parpol.

Mereka tak mau memilih besaran daerah pemilihan kecil (3-6 kursi) ketika mengubah UU Pemilu karena konsekuensinya: mereka harus bekerja keras bersaing menawarkan kebaikan kepada rakyat, mereka harus peduli terus-menerus kepada warga negara, dan mereka harus mempertanggungjawabkan semua apa yang dilakukan dan yang tak dilakukan kepada konstituen. Namun, jika partai betul menjadi pilar demokrasi seperti yang disampaikan pengurus dan kader pada masa kampanye, bukan politisi namanya jika hanya berani memilih jalan mudah. Pekerjaan politik adalah peran yang kompleks dan tak mudah karena harus memilih alternatif terbaik bagi bangsa, dan alternatif terbaik itu bukan tak memiliki risiko.

RAMLAN SURBAKTI

Guru Besar Perbandingan Politik pada FISIP Universitas Airlangga dan Anggota Akademi Ilmu Pengetahuan Indonesia

Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 11 Agustus 2016, di halaman 6 dengan judul "Instrumen Penyederhanaan Parpol".


Sent from my BlackBerry 10 smartphone on the Telkomsel network.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Powered By Blogger