Cari Blog Ini

Bidvertiser

Selasa, 23 Agustus 2016

Rehabilitasi 15 Menteri Soekarno (ASVI WARMAN ADAM)

Dalam keputusan International People's Tribunal 1965 yang disampaikan 20 Juli 2016 disebutkan, korban peristiwa 1965 bukan saja mereka yang dituduh anggota PKI dan ormasnya atau tidak sama sekali, melainkan juga kalangan PNI progresif dan para pendukung Soekarno.

Tentu termasuk dalam pendukung Soekarno 15 menteri yang ditahan tanggal 18 Maret 1966. Mereka adalah Soebandrio, Chaerul Saleh, Setiadi Reksoprodjo, Sumardjo, Oei Tjoe Tat, Jusuf Muda Dalam, Armunanto, Surahman, Sutomo Martopradoto,  Astrawinata, Achmadi, Imam Syafi'i, JK Tumakaka, Mohamad Achadi, dan Soemarno Sastroatmodjo.

Dalam "pengumuman" presiden nomor 5 tertanggal 18 Maret 1966 yang dikeluarkan Letnan Jenderal Soeharto  atas nama Presiden Soekarno disebutkan, dilakukan "tindakan pengamanan agar menteri-menteri tersebut jangan sampai menjadi korban sasaran kemarahan rakyat yang tidak terkendalikan".

Semua menteri, kecuali Soebandrio dan Jusuf Muda Dalam, tidak diproses secara hukum dan di-"aman"-kan dalam penjara lebih dari 10 tahun.

Berdasarkan UUD 1945 Pasal 14 Ayat 1, Presiden berhak memberikan rehabilitasi. Alangkah baiknya dalam rangka peringatan kemerdekaan Indonesia, Presiden memulihkan nama baik para menteri dalam pemerintahan terakhir Soekarno tersebut. Mereka belasan tahun ditahan tanpa proses pengadilan.  

Tragedi menteri

Jusuf Muda Dalam selaku Menteri/Gubernur Bank Sentral diadili karena dianggap merugikan negara. Namun, kasus subversi ini sangat kontroversial karena kebijakan fiskal yang diambilnya dapat diperdebatkan. Soebandrio lebih tragis lagi karena jasa-jasanya besar dalam politik luar negeri Indonesia.

Sejak tahun 1947 sampai dengan 1956, ia memperjuangkan kepentingan Indonesia di luar negeri. Duta Besar untuk Uni Soviet dijabatnya tahun 1954- 1956 sebelum ditarik Soekarno sebagai Sekretaris Jenderal Kementerian Luar Negeri. Selanjutnya, ia menjadi Menteri Luar Negeri selama 9 tahun sampai tahun 1966.

Tahun 1962, ia diangkat menjadi Wakil Perdana Menteri yang menangani masalah luar negeri, selain itu mengepalai Badan Pusat Intelijen (BPI), koordinator antar-unit intelijen pada empat Angkatan Bersenjata dan Kejaksaan Agung. Namun, fokus Soebandrio adalah masalah luar negeri. Soebandrio juga Koordinator Urusan Irian Barat.

Tidak aneh pada tahun 1965 BPI membagikan dokumen Gilchrist, Duta Besar Inggris di Jakarta , kepada para peserta Konferensi Asia-Afrika yang menurut rencana diadakan di Aljazair. Dokumen itu menyebut hubungan pihak Inggris dengan perwira Indonesia ("our local army friends"). Terlepas dari keotentikan dokumen tersebut, penyebarannya dimaksudkan untuk meningkatkan kewaspadaan terhadap pihak Inggris yang memang mendukung Malaysia-ketika itu berkonfrontasi dengan Indonesia.

Soebandrio selaku Menteri Luar Negeri memindahkan rekening Kementerian Luar Negeri sebesar 250.000 dollar AS kepada BPI karena situasi darurat untuk keperluan Operasi Ganyang Malaysia. Dana tersebut tidak ditaruh pada rekening pribadinya dan menurut pembelanya, Yap Thiam Hien, itu tidak melanggar aturan.

Soebandrio sama sekali tidak terlibat G30S. Ketika meletus peristiwa ini, Soebandrio dan rombongan sedang berada di Medan dan kemudian ke Langsa. Tanggal 3 Oktober 1965 baru mereka pulang ke Jawa.

Ia didakwa memberi kesempatan kepada orang lain untuk melakukan makar dengan logika yang tidak diterima akal sehat, yaitu Soebandrio meminta Aidit pulang ke Jakarta sehingga terjadi percobaan kudeta tahun 1965.  Soebandrio atas perintah Presiden Soekarno mengirim telegram 30 Juli 1965 meminta Aidit dan Njoto pulang ke Jakarta (terkait penyusunan  pidato Presiden 17 Agustus 1965).

Jamin, sekretaris Presiden, bersaksi di persidangan bahwa ia menelegram Njoto (hanya Njoto) tanggal 2 Agustus agar pulang ke Jakarta. Ini disimpulkan oleh oditur bahwa Soebandrio menambahkan nama Aidit, sementara yang disuruh pulang oleh Presiden hanya Njoto. Namun, fakta persidangan juga mengungkap bahwa telegram Soebandrio itu diterima Aidit di Beijing, ia  menjawab bahwa ia akan pulang ke Jakarta dan bahwa Njoto berada di Moskwa. Jadi, kenapa Jamin, sekretaris Presiden Soekarno, hanya menelegram Njoto beberapa hari kemudian, jelas alasannya karena Aidit sudah memberi jawaban.   

Rehabilitasi

Tanggal 25 Oktober 1966, Mahkamah Militer Luar Biasa (Mahmilub) menjatuhkan hukuman mati kepada Dr H Soebandrio. Ketika akan dieksekusi, melayang surat protes Ratu Elizabeth dari Inggris, negara tempat Soebandrio merintis kantor perwakilan Indonesia sejak tahun 1947 dan resmi sebagai Duta Besar 1950-1954, sehingga hukuman menjadi seumur hidup. Tahun 1995 dengan pertimbangan kesehatan, ia dibebaskan setelah 29 tahun dibui.

Tanggal 21  Desember 2000, Soebandrio menemui Presiden Abdurrahman Wahid selama satu jam dan meminta rehabilitasi. Gus Dur memerintahkan dua menteri, yakni Yusril Ihza Mahendra dan Marsillam Simandjuntak, untuk menindaklanjuti permohonan tersebut yang sampai sekarang belum ada realisasinya. Tanggal 3 Juli 2004 malam, Soebandrio meninggal dalam usia 90 tahun. Datang melayat mantan Menlu Ali Alatas.

Tentu Ali Alatas dapat merasakan betapa tragis seorang mantan dubes pada dua negara dan menteri luar negeri yang berjasa dalam pengembalian Irian Barat dipenjarakan selama 29 tahun karena tuduhan yang tidak masuk akal. Soebandrio bukan komunis dan sama sekali tidak terlibat Gerakan 30 September 1965. Ia pendukung Soekarno.

ASVI WARMAN ADAM

Sejarawan LIPI

Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 23 Agustus 2016, di halaman 6 dengan judul "Rehabilitasi 15 Menteri Soekarno".


Sent from my BlackBerry 10 smartphone on the Telkomsel network.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Powered By Blogger