Cari Blog Ini

Bidvertiser

Senin, 10 Oktober 2016

Amnesti Sarana Hijrah Pajak (GUNADI)

Konsep dasar amnesti pajak adalah meringankan wajib pajak dari kewajiban masa lalu dalam rangka pindah (hijrah) kepada perilaku perpajakan dan kepatuhan yang lebih baik. Keringanan dapat berbentuk penghapusan sebagian atau seluruh kewajiban pajak berupa pokok dan atau sanksi administrasi dan atau pidana.

Namun, dapat juga terbatas pada sanksi administrasi saja, seperti bunga lambat bayar karena pembetulan surat pemberitahuan tahunan (SPT) PPh dalam kebijakan sunset policy tahun 2008. Pada 2015, ada amnesti mini yang disebutreinventing policy, berupa penghapusan bunga penagihan dan pembetulan SPT (sunset policy jilid 2).

Walau tidak semua wajib pajak (WP) mematuhi kewajibannya, Matthijs Alink & Victor van Kommer (Handbook on Tax Administration, 2015) menyebut self assessment berdasar kepatuhan sukarela sebagai sistem pemajakan paling efektif dan efisien. Pasal 1 angka 1 UU No 11/2016 tentang Pengampunan Pajak (UUPP) menyebutkan, pengampunan pajak (PP) sebagai penghapusan pajak yang seharusnya terutang tidak kena sanksi administrasi dan sanksi pidana pajak melalui pengungkapan harta dan membayar uang tebusan.

Penghapusan pajak ini bukan tanpa syarat atau gratis. Ia diganti dengan uang tebusan atas harta yang dimiliki sejak 1 Januari 1985 hingga 31 Desember 2015, tetapi belum dilapor dalam SPT 2015 (Pasal 18) sebesar nilai wajar pada akhir 2015 [Pasal 6 (4) UUPP]. Pasal 3 (4) menyatakan, ampunan PP atas kewajiban pajak sampai akhir tahun pajak terakhir belum atau belum sepenuhnya diselesaikan. Pasal 1 angka 12 menyebut, SPT PPh terakhir adalah SPT 2015 bagi yang tahun bu- kunya berakhir 1 Juli 2015-31 Desember 2015. Sementara Pasal 3 Butir 5 menyebut jenis pajak yang diampuni meliputi PPh dan PPN serta PPnBM (PPN).

UUPP berlaku atas kewajiban PPh dan PPN yang belum diterbitkan ketetapan (SKPKB) dan/atau surat tagihan pajaknya (STP) sampai dengan akhir 2015. Karena haknya tidak termasuk yang dihapus, WP yang tidak menyampaikan deklarasi harta dapat menuntut haknya, seperti SPT lebih bayar. Sesuai ketentuan Pasal 3(1) jo Pasal 18 UUPP, program PP bersifatself assessment (menghitung sendiri jumlah uang tebusan) berdasar voluntary compliance atau opsional (dapat atau tidak memanfaatkan pengampunan pajak). Karena utang PPh dan PPN yang seharusnya (belum terbit SKPKB dan STP) dihapus, secara legal WP berhak tidak dipermasalahkan pajaknya sampai dengan akhir 2015. Penerbitan STP dan SKPKB sampai dengan tahun pajak 2015 setelah berlakunya UUPP dapat dianggap kurang sejalan dengan konsep dasar UUPP.

Solusi sementara

Rizal Palil (Factors Influencing Individual Compliance Under Self Assessment System, 2010) dan Benno Torgler (2005, dari Alink&Kommer) menyebut beberapa prasyarat self assessment bagi WP agar dapat berfungsi semestinya: (i) berpengetahuan pajak, (ii) sadar pajak, (iii) jujur dan patuh, (iv) berhasrat dan mau bayar pajak, dan (v) disiplin, bermoral/beretika pajak.

Sistem self assessment memusatkan kegiatan dan inisiasi perpajakan berawal dari WP, seperti: (i) pendaftaran peroleh NPWP dan pengukuhan PKP, (ii) menghitung pajak benar dan lengkap serta melapor SPT, (iii) membayar pajak terutang tepat waktu, dan (iv) melunasi re-assessment/tunggakan pajak tepat waktu. Walau sudah lebih dari 30 tahun sistem self assessment berlaku, kenyataannya penerimaan pajak masih rendah.

Menurut Anton Hendranata (Kompas,13/9/2016) rerata tax ratio Indonesia 2010-2015 baru 11,8%, sedangkan Malaysia (15,5%), Thailand (17%), Filipina (14,4%), dan India (17,7%). WP terdaftar (Laporan Tahunan DJP 2014) sebanyak 30.161.673 [orang pribadi 26.918.401 atau 23,60% dari pekerja 2013 menurut data BPS (114,02 juta); dan badan 2.473.471], dan kepatuhan penyampaian SPT PPh 58,87%.

Realisasi penerimaan 2014 sebesar 91,86%, 2015 turun menjadi 83% dan 2016 berpotensi meleset Rp 218 triliun (Kompas, 19/9/2016) sehingga pemerintah terpaksa memotong belanja. Pemotongan tiap tahun tanpa solusi efektif dapat mengerosi kredibilitas APBN dan menggoyahkan kepercayaan investor atas Surat Utang Negara dan obligasi pemerintah. Karena itu, solusi administratif sementara jangka pendek yang bersifat ad hoc, seperti PP, sangat urgen dan relevan. Melihat capaian pada triwulan pertama (Juli-September 2016) program PP berhasil melampaui prakiraan banyak pihak dengan uang tebusan Rp 97,2 triliun (58,91% target), repatriasi dana Rp 135 triliun dari deklarasi harta Rp 3.621 triliun.

Secara administratif tampak lemah kepada mereka yang tidak patuh pajak, tetapi dari policy dan strategi, terhadap para penghindar dan mereka yang tidak patuh pajak. Namun, sejatinya, pemerintah cerdas dan taktis mendorong kepatuhan pajak dengan pola pemajakan modern, yaitu rate cutting-base broadening (potong tarif dari 25/30 ke 2%—perluas basis dari nilai historis ke nilai wajar dengan penumpukan—bounching effect) melalui strategi amnesti pajak dengan hasil penerimaan lebih besar.

Mungkin tidak berlebihan jika Dirjen Pajak berseloroh bahwa amnesti pajak merupakan sarana pemerintah mengatasi ketidakpatuhan. Dengan demikian, PP amat signifikan dan krusial untuk menyehatkan APBN sehingga perekonomian bergerak lincah dan dapat memberi stimulus pajak pendorong pertumbuhan dan peningkat penghasilan serta kesejahteraan warga.

Sesuai teori determinant level of taxation, Musgrave (Alex Radian, 1977,Mobilization of Resources), kemajuan struktur ekonomi berpengaruh positif pada struktur pajak dan peningkatan tax ratio karena transformasi struktur ekonomi informal menjadi formal dan merapatnya obyek pajak dari hard-to-taxke easy-to-taxsectorTax handles yang tepat memudahkan mobilisasi sumber dana bagi warga NKRI, terutama pemilik dana di luar negeri. Inilah saatnya memulai perilaku perpajakan transparan dengan mengungkap dan merepatriasi harta guna membantu negara, mumpung pemerintah berbaik hati dengan paket PP.

Nanti pada 2018, saat misalnya terjadi pembatasan cash transaction, transparansi perbankan nasional, perbaikan database komprehensif dengan IT based, serta meningkatnya kapabilitas deteksi dini dan pengawasan ketidakpatuhan, terutama pengawasan atas flow of goods melalui otomasi onlinesistem PPN, dan flow of money income and expenditures melalui otomasi dan perluasan pemotongan pajak (broad-base withholding tax system), peningkatan kesempatan akses data dan informasi serta global automatic exchange of information (AEOI) sehingga DJP mampu membentuk sistem proforma SPT (pre-populated tax return), saat itulah tidak ada pilihan lain bagi WP rasional, kecuali patuh pajak.

Reformasi administrasi

Deklarasi Doha (2008) menyebut empat unsur perbaikan sistem pajak negara berkembang: (1) peningkatan penerimaan dengan modernisasi sistem pajak, termasuk otomasi administrasi agar mampu mendeteksi dini ketidakpatuhan; (2) perbaikan efektivitas dan efisiensi pemungutan pajak; (3) perluasan basis pajak; serta (4) pencegahan dan pemberantasan penghindar dan pengelak pajak secara efektif.

Sementara itu, agar sistem self assessment efektif, DJP harus: (i) menjadikan WP memahami aturan dan mampu menghitung pajak dengan benar, sadar dan insaf, berkemauan dan jujur serta transparan melunasi kewajiban, (ii) membuat sistem dan suasana WP mudah, murah mematuhi ketentuan, serta tidak ada pilihan lain kecuali patuh, (iii) mengawasi dan meningkatkan kepatuhan dengan basis IT, seperti otomasi administrasi pajak dan e-data matching dengan data pihak ketiga, (iv) memelihara kredibilitas dan integritas serta kepercayaan publik atas DJP dan pemerintah pada umumnya bahwa pemanfaatan penerimaan pajak transparan dan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat, pemenuhan hak dan kewajiban perpajakan WP secara adil dan berkepastian hukum, (v) mengeloladatabase komprehensif dan mampu mengakses data pihak ketiga secara meluas guna deteksi dini ketidakpatuhan melalui pengenalan program proforma SPT (pre-populated tax return—SPT proforma untuk para penyumbang pajak utama, misalnya 80 persen pajak nasional, dengan menyusun SPT mereka dan meminta konfirmasi).

Pengalaman pemberlakuan program pre-populated tax return di sejumlah negara maju, seperti Eropa, Singapura, dan Australia, mampu deteksi dini ketidakpatuhan sehingga penghindar/pengemplang pajak dapat diminimalisasi dan WP terpaksa patuh. Untuk itu, selain perlu reformasi kebijakan pajak strategis (seperti pemajakan global e-commerce Google), juga mutlak diperlukan modernisasi administrasi agar mampu mendeteksi dini ketidakpatuhan, pengawasan flow of goods melalui otomasi PPN dan flow of moneyincomeandexpenditures melalui otomasi PPh, pemeriksaan secara meluas berbasis IT database melalui analisis data, pengenalan program proforma SPT (pre-populated tax return), sehingga tidak ada pilihan selain patuh ketentuan pajak.

Berkaca pada relevan dan urgensinya penguasaan data dalam kesuksesan PP, pembentukan data internal DJP dapat dilakukan, misalnya, dengan otomasi administrasi PPN dan PPh. Otomasi PPN, misalnya pembentukan online systemPPN dengan menjadikan setiap transaksi penyerahan barang/jasa kena pajak dari tiap PKP langsung terhubung dengan PKP pembeli dan KPP tempat PKP penjual terdaftar. Otomasi PPh dilakukan atas semua potongan dan pemungutan pajak secara meluas pada sebagian besar unsur obyek pajak.

GUNADI, GURU BESAR PERPAJAKAN FAKULTAS ILMU ADMINISTRASI UI

Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 10 Oktober 2016, di halaman 7 dengan judul "Amnesti Sarana Hijrah Pajak".

Sent from my BlackBerry 10 smartphone on the Telkomsel network.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Powered By Blogger