Cari Blog Ini

Bidvertiser

Senin, 10 Oktober 2016

ANALISIS EKONOMI A TONY PRASETIANTONO: Merajut Asa Baru Pertumbuhan Ekonomi

Harus jujur diakui bahwa di luar dugaan, program pengampunan pajak kita ternyata sukses. Hingga akhir September 2016, uang tebusan (penerimaan pajak baru) mencapai Rp 97,2 triliun dan deklarasi harta (dalam negeri dan luar negeri) serta repatriasi mencapai Rp 3.621 triliun. Kontribusi repatriasi mencapai Rp 137 triliun. Ini luar biasa. Para pengamat ekonomi rata-rata hanya berani memproyeksikan tebusan Rp 60 triliun sampai dengan Rp 80 triliun, bahkan Bank Indonesia lebih pesimistis lagi: hanya Rp 21 triliun.

Pengampunan pajak adalah program ekonomi pemerintahan Presiden Joko Widodo yang tersukses karena di sisi lain sejumlah program deregulasi yang sudah dicanangkan justru belum memberi hasil yang signifikan. Saya menduga ada beberapa penyebab keberhasilan pengampunan pajak.

Pertama, uang tebusan yang rendah (2 persen) pada tahap pertama atraktif dan menjadi insentif yang kuat bagi para wajib pajak. Kedua, Presiden Jokowi terlihat getol memasarkan program ini dan muncul di banyak kegiatan sosialisasi lalu menyapa langsung para wajib pajak di kota-kota besar. Ketiga, faktor Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati yang secara efektif mampu melakukan persuasi terhadap wajib pajak. Sri Mulyani adalah sosok pemasar yang baik, yang mampu meyakinkan wajib pajak untuk mengungkap hartanya.

Meski demikian, pemerintah masih harus bekerja keras lagi agar target tebusan Rp 165 triliun bisa tercapai hingga akhir Maret 2017. Dengan Rp 3.621 triliun, deklarasi sudah termasuk impresif karena sudah mendekati angka Rp 4.000-an triliun sebagai target yang moderat. Repatriasi juga tetap harus dikejar. Dari target repatriasi Rp 1.000 triliun (ekuivalen 76 miliar dollar AS), baru Rp 137 triliun (10,5 miliar dollar AS) yang didapat. Mungkin target Rp 1.000 triliun terlalu optimistis, tetapi separuhnya (Rp 500 triliun) adalah angka yang masuk akal.

Dampak pengampunan pajak sudah terasa. Cadangan devisa melesat ke 115,7 miliar dollar AS karena kombinasi dua hal, yakni repatriasi dana WNI dan investor asing yang mengalirkan dananya karena menilai positif prospek perekonomian Indonesia. Apalagi Bank Sentral AS (The Fed) tampak gamang dan batal menaikkan suku bunga. Rupiah juga stabil di level Rp 12.900-Rp 13.000 per dollar AS dan terus menjaga peluang untuk menguat. Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) terus terjaga di atas batas psikologis 5.000, hingga pekan lalu ditutup 5.377.

Perbankan

Likuiditas bank juga terus melimpah sehingga rasio kredit terhadap simpanan (LDR) kini terus menurun. Situasi ini akan memicu bank untuk menurunkan suku bunga. Apalagi inflasi juga terus dapat dijaga rendah, dengan inflasi tahun kalender sampai September hanya 1,97 persen. Penurunan suku bunga mestinya bakal direspons dengan kenaikan permintaan kredit. Namun, faktanya, dalam beberapa bulan terakhir, permintaan kredit lemah, hanya 7,7 persen pada Agustus. Ini merupakan rekor terendah dalam beberapa tahun terakhir.

Dalam bulan-bulan terakhir 2016, kemungkinan akan terjadi kenaikan permintaan kredit karena kesuksesan pengampunan pajak juga diikuti dengan menggeliatnya harga komoditas. Harga minyak berada di level yang logis 50 dollar AS per barrel (WTI 50 dollar AS dan Brent 52 dollar AS), yang kemudian berantai pada produk substitusinya, batubara dan kelapa sawit. Hal ini akan meniupkan kepercayaan kepada para investor untuk mulai mengeksekusi aktivitas bisnisnya, yang sebelumnya terjebak pada penantian.

Upaya untuk menarik lebih banyak repatriasi harta dari luar negeri merupakan hal yang krusial. Andaikan pemerintah bisa mendatangkan Rp 500 triliun, cadangan devisa kita bakal menyentuh 150 miliar dollar AS. Ini akan menjadi rekor baru, di mana sebelumnya cadangan devisa tertinggi kita adalah 124,7 miliar dollar AS pada pertengahan 2011. Jika itu terjadi, rupiah bakal terus menguat hingga katakanlah Rp 12.500 per dollar AS. Penguatan rupiah tetap harus dibatasi agar jangan sampai menjadi kontraproduktif seperti penurunan ekspor dan kenaikan impor. Bank Indonesia pasti akan berupaya agar penguatan kurs rupiah tidak sampai mengganggu daya saing.

Meningkatnya cadangan devisa dan rupiah kita bakal menaikkan kepercayaan para pelaku ekonomi sehingga kredit bank berekspansi. Jika iklim ini bisa dikelola dengan baik, pertumbuhan ekonomi saya perkirakan hanya 5 persen pada 2016, patut diduga bakal berakselerasi signifikan pada 2017.

Sri Mulyani hanya berani menargetkan pertumbuhan ekonomi 5,2 persen pada 2017. Namun, dengan hasil manis pengampunan pajak, rasanya kita kini boleh membayangkan target yang lebih tinggi lagi, misalnya 5,5 persen. Kombinasi antara (1) hasil pengampunan pajak yang gemilang, (2) kenaikan harga komoditas primer, (3) penurunan suku bunga bank, dan (4) tersendatnya kenaikan suku bunga The Fed merupakan hal-hal positif yang menjadikan kita pantas untuk merajut asa baru pada 2017. Harapan itu adalah pertumbuhan ekonomi yang lebih tinggi. Tiada keraguan soal ini.

A TONY PRASETIANTONO, KEPALA PUSAT STUDI EKONOMI DAN KEBIJAKAN PUBLIK UNIVERSITAS GADJAH MADA, YOGYAKARTA

Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 10 Oktober 2016, di halaman 15 dengan judul "Merajut Asa Baru Pertumbuhan Ekonomi".


Sent from my BlackBerry 10 smartphone on the Telkomsel network.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Powered By Blogger