Cari Blog Ini

Bidvertiser

Selasa, 11 Oktober 2016

Indonesia dan Ratifikasi Kesepakatan Paris (FABBY TUMIWA)

Tanggal 5 Oktober 2016 menjadi momen historis upaya penyelamatan iklim global. Hari itu, Paris Agreement resmi berkekuatan hukum (entered into force) setelah diratifikasi 74 dari 197 negara yang sebelumnya mengadopsi kesepakatan tersebut.

Dengan masuknya ratifikasi Uni Eropa, syarat Paris Agreement untuk berkekuatan hukum adalah 55 persen negara anggota Kerangka Kerja Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk Perubahan Iklim (UNFCCC) dan/atau mewakili 55 persen emisi global tercapai.

Paris Agreement yang ditetapkan di COP-21 bertujuan untuk membatasi kenaikan temperatur global di bawah 2 derajat celsius pada akhir abad ini dengan menurunkan emisi global menjadi 40 giga ton pada 2030.  Oleh Christiana Figueres, Sekretaris Eksekutif UNFCCC pada saat itu, kesepakatan ini dinilai sebagai modal kontrak sosial dunia baru dalam mengatasi persoalan-persoalan global.

Berlaku bagi semua pihak

Paris Agreement memiliki prinsip unik yang tidak dikenal sebelumnya dalam UNFCCC dan Kyoto Protocol yang telah diratifikasi Indonesia pada tahun 1994 dan 2004. Paris Agreement mengenalkan prinsip "berlaku bagi semua pihak" (applicable to all parties). Ini artinya setiap negara yang menyetujui dan meratifikasi Paris Agreement berkewajiban mematuhi kesepakatan tertulis sesuai dengan prinsip tanggung jawab yang sama tapi berbeda (common but differentiated responsibility).

Hal ini terlihat dalam hal mitigasi gas rumah kaca (GRK). Negara-negara diminta menyampaikan komitmen penurunan emisi GRK secara sukarela melalui intended nationally determined contribution (INDC) sesuai proyeksi emisi dan kemampuannya. Indonesia telah menyampaikan INDC sebelum COP 21 yang menjanjikan penurunan emisi GRK 29 persen dengan upaya sendiri dan tambahan 12 persen dengan bantuan internasional pada periode 2020-2030. Target dalam INDC ini yang akan menjadi komitmen negara-negara saat meratifikasi Paris Agreement sebagainationally determined contribution(NDC).

Indonesia tidak masuk dalam kelompok 74 negara yang membawa Paris Agreement berkekuatan hukum. Proses penyusunan dan persetujuan atas Rancangan Undang-Undang untuk meratifikasi Paris Agreement sedang berjalan.

Optimistis ratifikasi

Walaupun demikian, ada optimisme bahwa Indonesia akan meratifikasi sebelum 7 November sehingga bisa menjadi bagian dari Conference of Parties Serving as the Meeting of the Parties to This Agreement (CMA) ke-1. CMA merupakan badan pengambilan keputusan tertinggi bagi negara-negara anggota Paris Agreement. Mereka akan bersidang untuk pertama kali di COP-22 di Maroko.

Meratifikasi Paris Agreement memberikan kesempatan bagi kita untuk menerapkan model pembangunan selaras iklim secara konsisten, memutus rantai pertumbuhan emisi dan pertumbuhan ekonomi, untuk menghasilkan pembangunan yang rendah karbon. Proyeksi emisi GRK Indonesia yang dilakukan Bappenas (2015) menunjukkan, dengan business as usual, emisi Indonesia akan tumbuh secara drastis disumbang sektor energi serta hutan dan lahan pada 2020-2030.

Diperkirakan Indonesia berkontribusi 3,5-4,5 persen seluruh emisi GRK global pada tahun 2030 jika tidak ada upaya-upaya serius memotong laju pertumbuhan emisi dari sektor-sektor tersebut.

Meratifikasi dan mengimplementasikan Paris Agreement secara konsisten merupakan bentuk berbagi upaya (effort sharing) dengan negara-negara lain untuk bersama-sama mengatasi persoalan iklim global.

Indonesia dan tantangan

Pasca ratifikasi, Indonesia berhadapan dengan sejumlah tantangan untuk melaksanakan Paris Agreement. Pertama, menetapkan komitmen NDC dan membagi target penurunan emisi 29-41 persen ke dalam sektor- sektor ekonomi.

Sesuai Paris Agreement, setiap negara diminta menyampaikan NDC baru tahun 2020 dan memperbaruinya tiap lima tahun. Tidak hanya membagi target penurunan emisi untuk sektor masing-masing, tetapi juga membaginya kepada para pelaku ekonomi, yang melalui kegiatan ekonominya menghasilkan emisi gas rumah kaca. Dengan demikian, para pelaku ekonomi dapat berkontribusi dalam mitigasi.

Instrumen pendukung, seperti pajak karbon (carbon tax) atau sistem yang membatasi emisi setiap pelaku ekonomi dan opsi untuk menjual kelebihan emisi kepada pelaku lainnya di dalam negeri atau yang dikenal sebagai cap and trade,perlu dikaji secara mendalam biaya dan manfaat serta pelaksanaannya. Sangat mungkin diperlukan instrumen hukum dan regulasi susulan untuk menerapkan Paris Agreement secara efektif.

Kedua, membangun sistem informasi perubahan iklim yang terpadu, mudah diakses, dan transparan. Sistem informasi perubahan iklim di sini mencakup sistem inventori gas rumah kaca, sistem pengukuran, pelaporan, dan verifikasi (measured, reported, and verified/ MRV) untuk hasil aksi mitigasi dan adaptasi, dan bentuk dukungan yang diterima dalam bentuk pendanaan, pengembangan kapasitas dan teknologi.

Sebagai contoh sistem pencatatan hibah dan pinjaman luar negeri dan sistem penganggaran yang ada saat ini, harus dapat diintegrasikan dengan aktivitas mitigasi dan adaptasi yang dilakukan pemerintah dan aktor-aktor non-pemerintah.  

Membangun sistem tersebut tidak boleh ditunda mengingat Paris Agreement mewajibkan semua negara melaporkan hasil aksi mitigasi dan aksi adaptasi serta jenis dukungan yang diterima kepada UNFCCC.

Setiap negara harus mampu menelusuri (tracking) modalitas dukungan yang didapat melalui kerja sama bilateral ataupun multilateral untuk mengkaji data dan informasi yang disampaikan. Sesuai dengan Paris Agreement, akan dibentuk komite yang bertugas memasilitasi implementasi kesepakatan-kesepakatan dan mempromosikan kepatuhan.

Ketiga, memobilisasi pendanaan dari sumber-sumber domestik dan internasional untuk memenuhi kebutuhan pendanaan proyek-proyek mitigasi dan adaptasi perubahan iklim di dalam negeri.

Kebutuhan dana

Sebagai contoh, kebutuhan pendanaan untuk aksi mitigasi untuk mencapai target penurunan emisi 26 persen dalam RAN- GRK hingga 2020 diperkirakan 2,8-7 miliar dollar AS per tahun. Sementara kebutuhan dana untuk aksi adaptasi sebagaimana tercantum dalam Rencana Aksi Adaptasi 8 miliar dollar AS per tahun.

Kebutuhan biaya ini akan jauh lebih besar setelah 2020. Kebutuhan pendanaan ini tidak hanya dapat mengandalkan dari sumber publik, tetapi juga dari sumber swasta.

Tidak mudah mengatasi tantangan tersebut. Namun, kalau negara lain mampu mengatasi tantangan-tantangan domestiknya, mengapa kita tidak?

FABBY TUMIWA

Direktur Eksekutif Institute for Essential Services Reform (IESR) dan Negosiator Indonesia pada COP-21 UNFCCC

Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 11 Oktober 2016, di halaman 7 dengan judul "Indonesia dan Ratifikasi Kesepakatan Paris".


Sent from my BlackBerry 10 smartphone on the Telkomsel network.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Powered By Blogger