Cari Blog Ini

Bidvertiser

Senin, 17 Oktober 2016

Membangun Budaya Kepatuhan (BAHRUDDIN)

Suhu politik di Jakarta semakin meningkat setelah partai-partai politik menetapkan calon yang akan diusung dalam Pilkada DKI 2017.

Tiga pasang calon dipastikan akan meramaikan pesta demokrasi di Ibu Kota. Basuki Tjahaja Purnama-Djarot Saiful Hidayat (Ahok-Djarot) diusung PDI-P, Hanura, Nasdem, dan Golkar. Poros Cikeas yang dimotori Demokrat, PAN, PPP, dan PKB mengusung Agus Harimurti-Sylviana Murni. Terakhir, pasangan Anies Baswedan-Sandiaga Uno diusung Gerindra dan PKS.

Salah satu isu yang menjadi komoditas kampanye adalah gaya kepemimpinan petahana. Bagi tim pendukungnya, gaya kepemimpinan Ahok sangat dibutuhkan untuk menyelesaikan keruwetan dan kompleksitas masalah di Jakarta. Di sisi lain, lawan-lawan politiknya melihat gaya kepemimpinan petahana tidak sesuai dengan nilai-nilai kesantunan publik dan cenderung menciptakan masalah baru dalam proses penegakan regulasi.

Tulisan ini tidak akan mengulas kontestasi politik di pilkada Jakarta, tetapi membaca pilkada Jakarta sebagai gambaran relasi antara negara dan proses membangun budaya kepatuhan. Sejarah mencatat, budaya "kepatuhan" jadi salah satu kunci untuk membangun peradaban manusia yang lebih beradab, baik pada tingkat individu, keluarga, organisasi, masyarakat, negara, maupun pergaulan internasional.

Perspektif kepatuhan

Kepatuhan adalah hasil dari kompleksitas proses yang melibatkan individu, negara, dan juga konteks lingkungannya. Secara teoretis, ada tiga penjelasan utama terkait fenomena kepatuhan dan ketidakpatuhan.

Pertama, penjelasan motif ekonomi dan legitimasi. Teori rasionalitas ekonomi meyakini, kepatuhan itu sebagai hasil kalkulasi untung-rugi secara ekonomi. Denda menjadi instrumen utama untuk menciptakan kepatuhan. Cara pandang ini digunakan sebagian besar negara untuk membangun kepatuhan. Tilang pelanggaran aturan lalu lintas menjadi salah satu contoh sederhana bekerjanya teori ini dalam menciptakan kepatuhan.

Seiring meningkatnya kemampuan ekonomi publik, sanksi ekonomi/denda dinilai kurang efektif dalam menciptakan kepatuhan (Braithwaite, 1992). Denda ekonomi cenderung menghasilkan dampak sesaat bagi pelanggar. Karena itu, banyak negara menerapkan sejumlah strategi untuk memperpanjang dampak sanksi yang diterapkan, misalnya pengumuman publik dan mencabut izin (sementara atau selamanya).

Strategi pengumuman publik diterapkan untuk pelanggar yang berstatus badan hukum atau organisasi, misalnya perusahaan. Bagi perusahaan, pengumuman pelanggaran berdampak serius terhadap reputasi. Sementara pencabutan izin bisa diterapkan terhadap organisasi atau individu. Pemerintah Negara Bagian Victoria, misalnya, menerapkan sistem akumulasi poin terhadap pelanggar lalu lintas. SIM akan dicabut negara jika mencapai poin yang sudah ditetapkan dalam kurun waktu tertentu.

Perspektif kedua dalam membaca "kepatuhan" adalah tata kelola organisasi di tingkat regulator (negara). Gaya kepemimpinan yang "tegas", baik terhadap internal penyelenggara negara maupun masyarakat, penting. Namun, itu belum cukup karena aspek pembangunan sistem deteksi pelanggaran secara obyektif juga penting dikembangkan dalam membangun budaya kepatuhan.

Ketegasan pemimpin dalam menegakkan regulasi merupakan fondasi terciptanya legitimasi. Fenomena "oknum" sangat mencederai legitimasi negara dalam membangun budaya kepatuhan. Selain itu, juga menurunkan motivasi publik untuk patuh terhadap regulasi. Menghapus pepatah "kau yang membuat dan kau yang melanggar" menjadi tantangan besar pemimpin negeri ini.

"Kepatuhan" tercipta bukan karena ketegasan sepihak dari negara, melainkan hasil komunikasi dan interaksi yang konstruktif antara regulator dan sasaran regulasi.Inilah cara pandang ketiga dalam memahami "kepatuhan".

Membangun "kepatuhan" di Indonesia

Teori-teori "kepatuhan" mengajarkan kepada kita bahwa gaya kepemimpinan yang saat ini ramai diperbincangkan dalam pilkada Jakarta hanya salah satu aspek dari upaya membangun budaya kepatuhan. Gaya kepemimpinan apa pun tak akan efektif tanpa disertai upaya membangun sistem kepatuhan yang lebih komprehensif. Untuk itu, ada beberapa hal yang perlu menjadi agenda bersama untuk Jakarta atau Indonesia yang lebih baik pada masa mendatang.

Pertama, membangun sistem deteksi pelanggaran yang obyektif dan kredibel. Kepastian deteksi pelanggaran akan membentuk budaya kepatuhan berkelanjutan. Sayangnya, sebagian besar regulasi di Indonesia masih menggunakan pendekatan targeted inspection oleh aparatur negara untuk memastikan kepatuhan regulasi. Cara ini membutuhkan biaya yang relatif besar dan rentan terhadap korupsi. Keterbatasan pembiayaan dan praktik korupsi melahirkan pembiaran pelanggaran yang menginspirasi pelanggaran selanjutnya.

Untuk itu, aplikasi sistem berbasis teknologi informasi dan partisipasi publik dapat menjadi langkah awal meningkatkan kepastian deteksi pelanggaran. Misalnya, pemerintah membuat saluran komunikasi digital khusus pelanggaran yang terkait IMB. Masyarakat dapat mengunggah foto bangunan yang dinilai melanggar aturan. Pemasangan CCTV di tempat-tempat strategis dapat menjadi langkah selanjutnya untuk membangun sistem deteksi pelanggaran.

Kedua, publikasi konsistensi penerapan sanksi terhadap pelanggaran.Baru-baru ini, media sosial banyak memuat berita ketegasan wali kota Bandung yang menyegel bangunan yang tidak sesuai izinnya. Selain publikasi insidental seperti ini, pemerintah perlu memublikasikan jumlah pelanggaran setiap regulasi setiap tahunnya, baik melalui teknologi informasi atau poster/baliho di tempat-tempat strategis. Publikasi semacam ini menunjukkan negara memiliki sistem deteksi dan konsisten menerapkan sanksi pada setiap pelanggaran.

Ketiga, diperlukan dukungan politik untuk mengatasi pelanggaran yang dikategorikan white color crime. Study Varkkey (2002) menggambarkan, ketakpatuhan perusahaan kelapa sawit yang tetap membakar lahan setiap tahunnya karena ada dukungan kuat dari aktor-aktor politik. Pada kasus ini, penegakan regulasi tidak akan efektif tanpa dukungan kekuatan politik.

Pemimpin birokrasi, baik presiden, gubernur, maupun bupati, perlu menjalin komunikasi dan kerja sama yang konstruktif dengan aktor-aktor politik. Tak hanya pada proses penyusunan anggaran pemerintahan, tetapi juga dalam penegakan regulasi. Absennya dukungan politik dalam penegakan regulasi menghasilkan fenomena yang dikenal sebagai compliance trap (Parker, 2006).

Keempat, upaya sistematis membangunself control untuk peningkatan kepatuhan. Pada tingkat individu, pendidikan menjadi pilar utama untuk menginternalisasi nilai-nilai kepatuhan sejak dini. Tentunya dengan metode pendidikan yang ramah terhadap perkembangan anak. Sistem pendidikan di beberapa negara maju lebih mementingkan pencapaian ini (soft skills) daripada nilai akademik.

Pada tingkat perusahaan atau organisasi, Parker (2002) menawarkan strategi metaregulasi, yakni peningkatan kepatuhan berbasis komitmen dalam bentuk perencanaan kepatuhan (compliance planning). Perusahaan diminta menyusun perencanaan kepatuhan yang akan diimplementasi setiap tahunnya. Strategi ini memastikan bahwa kepatuhan tidak sekadar hasil untuk memenuhi tuntutan regulasi, tetapi pada prosesnya. Pendek kata, negara ingin mengatakan "kau (perusahaan) yang menyusun perencanaannya, kami (negara) yang akan menilai perencanaanmu" dalam kepatuhan regulasi.

Siapa pun pemimpinnya, wajah Jakarta atau Indonesia dalam konteks luas tidak akan banyak berubah tanpa adanya komitmen dan sistem untuk membangun budaya kepatuhan yang komprehensif. Negara perlu berbenah diri dan memfasilitasi masyarakat untuk terlibat dalam membangun budaya kepatuhan. Kalau tidak, daya saing Indonesia sebagai bangsa akan terbebani wajah ketidakpatuhan (korupsi) dan inefisiensi birokrasi pemerintahan yang menempati ranking tertinggi dalam hambatan bisnis di Indonesia (World Economic Forum, 2016).

BAHRUDDIN

Dosen Pembangunan Sosial dan Kesejahteraan UGM; PhD Student at University of Melbourne

Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 17 Oktober 2016, di halaman 6 dengan judul "Membangun Budaya Kepatuhan".


Sent from my BlackBerry 10 smartphone on the Telkomsel network.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Powered By Blogger