Cari Blog Ini

Bidvertiser

Senin, 10 Oktober 2016

Mencari Model Pemilu Serentak (M ALFAN ALFIAN)

Apa yang dapat diharapkan dari penyelenggaraan pemilu serentak, dalam pengertian pemilu legislatif dan presiden yang dibarengkan waktunya?

Salah satu versi jawabannya: untuk mencegah "pemerintahan yang terbelah" (divided government) yang lazim dipandang sebagai kelemahan sistem presidensial ketika presiden dan parlemen dikontrol kekuatan politik yang berbeda. Sistem presidensial yang berkombinasi dengan multipartai, dengan fragmentasi politik dan polarisasi ideologi yang tinggi, berpotensi kelumpuhan akibat kebuntuan eksekutif-legislatif. Ujungnya: instabilitas politik.

Pemilu nasional serentak atau pemilu konkuren (concurrent election) diharapkan mampu memunculkan efek konkurensi atau lazim disebut coattail effect sehingga terhindar dari fenomena "pemerintahan yang terbelah". Kendatipun sama-sama serentak, pemilu konkuren berbeda dengan pemilu serentak dengan pemilu sela, dan model pemilu sinkronis (syncronized election).

Model Amerika Latin

Jenis pemilu konkuren dipahami karenacoattail effect yang ditimbulkannya. Dibayangkan bahwa kandidat presiden atau sebaliknya partai politik akan saling "menarik kerah" pencoblos sehingga pilihan mereka relevan. Efek itu berasumsi tidak mungkin pemilih mencoblos pasangan capres yang diajukan koalisi parpol tertentu, tetapi lantas memilih calon anggota legislatif dari partai di luar koalisi pengusung capres tersebut.

Jenis pemilu konkuren lazim diterapkan di beberapa negara Amerika Latin. Pemilu serentak Brasil 2014, misalnya, dilakukan untuk memilih pasangan calon presiden, anggota kongres nasional, gubernur, dan anggota parlemen lokal. Pilpres memberlakukan sistem dua putaran manakala tak ada suara lebih dari 50 persen pada putaran pertama. Terdapat 11 pasang capres yang maju di putaran pertama. Pada putaran kedua, pasangan Dilma Rousseff dan Michel Temer sebagai petahana menang (51,6 persen), mengalahkan Aecio Neves dan Aloysio Nunes (48,4 persen).

Pemerintahan Rousseff-Temer kuat secara politik karena mendapatkan pula dukungan parlemen yang signifikan sebagai dampak coattail effect. Pada pemilu serentak 2010, Rousseff-Temer menang (56,05 persen). Koalisi Lulista yang terdiri atas 10 partai pengusungnya meraih kursi mayoritas di DPR (60,6 persen) dan Senat (61,7 persen). Pada 2014, koalisi sembilan partai pengusung Rousseff-Temermemperoleh 59,07 persen kursi DPR dan 65,43 persen kursi Senat. Adapun kemudianpada akhirnya Rousseff dimakzulkan, hal itu lebih karena isu korupsi ketimbang masalah kebijakan.

Sebagaimana Brasil, pemilu konkuren di Bolivia juga menunjukkan bekerjanyacoattail effect. Merujuk pemilu serentak 2014, misalnya, Evo Morales memenangi pilpres, sekaligus memperoleh dukungan mayoritas kursi DPR dan Senat. Di Peru, pada pemilu serentak 2016, presiden terpilih Pedro Pablo Kuczynski juga memperoleh dukungan politik yang signifikan di parlemen.

Jenis kedua terpraktikkan di Amerika Serikat. Di beberapa negara bagiannya, pemilu menggabungkan pilpres dan pemilu legislatif tingkat pusat, dan pada waktu yang bersamaan juga dilaksanakan pemilihan gubernur dan legislator negara bagian. Namun, di sana dikenal ada pemilu sela yang diselenggarakan di tengah-tengah masa jabatan presiden. Pemilu sela tentu tak mengikutsertakan pilpres. Di beberapa negara bagian, pemilu sela menggabungkan pemilihan gubernur dan legislator negara bagian, selain pemilihan anggota legislatif pusat. Pemilu sela ini memungkinkan divided government terjadi apabila dimenangi partai yang tidak memerintah.

Karena berkembang sistem dwipartai, hanya dua kekuatan yang berhadapan: Partai Republik dan Partai Demokrat. Berkaca dari pengalaman masa kepresidenan Barack Obama (Partai Demokrat), misalnya, "pemerintahan yang terbelah" berpuncak pada fenomena negara lumpuh (shutdown) karena parlemen menolak memberikan persetujuan atas rencana anggaran, khususnya penambahan utang baru, yang diajukan Obama pada Oktober 2013. Hal itu terjadi karena Kongres dikuasai Partai Republik.

Jenis ketiga lebih cenderung mengakomodasi efisiensi penyelenggaraan pemilu tanpa menjamin hadirnya coattail effect. Pemilu sinkronis diterapkan di Filipina. Pemilu serentak 2016, misalnya, dilakukan untuk memilih calon presiden, wakil presiden, anggota senator, anggota DPR jalur perseorangan, gubernur, wakil gubernur, anggota dewan provinsi, wali kota, wakil wali kota, dan konselor. Mereka dituangkan di permukaan pertama selembar kertas suara. Permukaan keduanya sekadar memilih partai politik yang ditata berdasarkan nomor urut untuk pemilihan anggota DPR.

Mengapa coattail effect tak muncul dalam jenis pemilu Filipina? Kalau dicermati, capres dan cawapresnya tidak diajukan secara berpasangan. Karena itu, dapat dipahami manakala capres dan cawapres terpilih bisa bukan dari partai pendukung yang sama, terlepas dari ada juga capres atau cawapres perseorangan. Dalam kasus pemilu serentak 2016, Rodrigo Duterte maju sebagai capres didukung Partai Demokratik Filipina (PDP-Laban). Yang menarik, walaupun di DPR PDP-Laban hanya mendapat kursi 1,0 persen dan punya kursi di Senat, Duterte memenangi pilpres dengan dukungan suara 39,01 persen. Angka ini jauh di atas pemenang kedua, Mer Roxas (Partai Liberal, LP), yakni 23,45 persen.Coattail effect akan terjadi manakala yang menang Roxas karena partainya pemenang pemilu legislatif (DPR), dengan kursi 38,7 persen.

Nasional dan lokal

Apa yang dapat dipetik dari uraian di atas? Agenda setting politik elektoral ke depan tetap harus diarahkan agar jenis pemilu serentaknya mampu menghasilkan coattail effect, juga agar sistem presidensial kuat karena terhindar dari fenomena "pemerintahan yang terbelah". Model Amerika Latin barangkali lebih mendekati tujuancoattail effect. Namun, tetap harus dicermati secara saksama sebelum membuat simulasinya.

Mengapa demikian? Pada model Amerika Latin, keserentakannya tampak tidak memisahkan pemilu nasional dengan pemilu lokal. Padahal, konteks penyelenggaraan pemilu serentak di Indonesia dewasa ini bukan dalam pengertian seperti itu. Pemilu nasional serentak, terpisah dengan pemilu lokal serentak, agar tercipta pula kongruensi pusat-daerah atau terhindar dariunconnected government.

Keserentakan pemilu nasional yang terpisah dari pemilu lokal diharapkan terdapat jeda waktu bagi rakyat menilai kinerja pemerintahan. Selain itu, terbuka peluang besar terangkatnya isu lokal ke tingkat nasional dan semakin besar peluang elite politik lokal untuk bisa bersaing di ranah kontestasi politik nasional.

Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) mengajukan enam model pemilu serentak untuk konteks Indonesia. Pertama, model pemilu borongan atau pemilu serentak sekaligus satu kali dalam lima tahun untuk semua posisi publik di tingkat nasional dan lokal.

Kedua, model clustered concurrent election, yaitu pemilu serentak hanya untuk seluruh jabatan legislatif (pusat dan daerah), disusul pemilu serentak untuk jabatan eksekutif (pusat dan daerah). Ketiga, pemilu serentak dengan pemilu sela berdasarkan tingkatan pemerintahan, dibedakan waktunya untuk pemilu nasional dan pemilu lokal. Keempat, pemilu serentak tingkat nasional dan tingkat lokal yang dibedakan waktunya secara interval.

Kelima, model concurrent election with flexible concurrent local elections, yaitu pemilu serentak nasional diikuti pemilu serentak provinsi berdasarkan kesepakatan waktu atau siklus pemilu lokal di provinsi masing-masing.

Keenam, pemilu serentak untuk memilih anggota DPR, DPD, dan DPRD, serta presiden dan wakil presiden, kemudian setelah selang waktu tertentu diikuti dengan pemilu eksekutif bersamaan untuk satu provinsi.

Dalam ulasan LIPI model pertama, kedua, dan ketiga, jika tujuan pemilu serentak hanya untuk sekadar penghematan biaya memang terjawab. Namun, penyelenggaraannya menjadi semakin rumit. Konfigurasi politik menjadi tidak menentu, bahkan bisa jadi tidak muncul political blocking secara jelas, serta menyuburkan politik transaksional karena kebutuhan dukungan elektoral pemenangan pemilu.

Sementara model ketiga, keempat, dan kelima diyakini membuat sistem pemilihan yang lebih sederhana. Dengan dilaksanakan pemilu untuk anggota DPR dan pilpres secara bersamaan (konkuren), kecenderungannya hanya terdapat dua blok besar koalisi partai yang mencalonkan pasangan capres masing-masing. Blocking politics yang tercipta sebagai hasil pemilu serentak nasional kemungkinan juga akan mewujud di daerah-daerah.

Jika kinerja presiden dan anggota legislatif hasil pemilu nasional dinilai baik, pemilih juga akan memilih pasangan kepala daerah dan caleg DPRD dari partai-partai koalisi pemilu nasional. Dengan demikian, kongruensi tak hanya tercipta di ranah eksekutif-legislatif (mencegah divided government), juga pusat dan daerah (mencegahunconnected government).

M ALFAN ALFIAN, DOSEN PASCASARJANA

ILMU POLITIK UNIVERSITAS NASIONAL, JAKARTA

Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 10 Oktober 2016, di halaman 6 dengan judul "Mencari Model Pemilu Serentak".

Sent from my BlackBerry 10 smartphone on the Telkomsel network.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Powered By Blogger