Cari Blog Ini

Bidvertiser

Jumat, 14 Oktober 2016

Mendidik Orang Baik (SAIFUR ROHMAN)

Anggota DPR, Setya Novanto, Sabtu (1/10), meminta kepada salah seorang calon gubernur DKI Jakarta periode mendatang memperbaiki tutur kata untuk menarik minat pemilih dalam pemilihan umum kepala daerah. Pada saat yang hampir bersamaan, Senin (10/10), seorang calon pemimpin Amerika, Donald Trump, diduga memiliki moral yang buruk menyusul sejumlah media yang memberitakan tentang rekaman pembicaraan Trump di balik panggung tentang perempuan.

Dua kasus di atas mencuatkan hal sama. Kasus pertama merepresentasikan keraguan publik atas kebaikan tutur kata pemimpin, sedangkan kasus kedua meragukan kebaikan perbuatan.

Persoalannya bukan bagaimana mengajari pemimpin tentang kebaikan atau institusi mana yang mampu melahirkan orang baik. Ketika diakui bahwa manusia tidak sempurna, manakah yang didahulukan bagi seorang pemimpin di antara kebaikan pikiran, ucapan, dan tindakan? Dalam konteks membangun manusia Indonesia, hal itu sebetulnya tertuju pada pertanyaan mendasar: bagaimana mendidik pemimpin yang berintegritas?

Institusi kebaikan

Gagasan tentang keadilan, kebenaran, kebaikan, dan kepatutan adalah orientasi dasar yang dijadikan pedoman bersama. Nilai-nilai utama itu diyakini memberikan stabilitas dalam perkembangan masyarakat. Hal ini disebabkan setiap orang butuh kepastian eksistensial dalam interaksi sosial. Karena itu, gagasan tersebut kemudian dikonkretkan dalam bentuk institusi yang diandaikan sebagai agen kebaikan. Pada gilirannya, institusi tersebut kemudian memiliki otoritas atas nilai baik atau buruk terhadap subyek atau produk.

    Dalam hal produk, makanan yang baik, misalnya, adalah makanan yang telah diberi stempel "baik" oleh sebuah institusi kebaikan. Dalam desain kebaikan tentang subyek, institusi pendidikan di Indonesia selain bercita-cita menghasilkan individu yang unggul secara intelektual, juga harus baik secara moral.

Dengan kata lain, UU No 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional sebetulnya tak bisa ditawar: keluaran peserta didik haruslah seorang pribadi cerdas dan luhur budi! Sekurang-kurangnya hal itu dirinci dalam empat kemampuan peserta didik, yakni kemampuan spiritual, sosial, kognitif, dan psikomotorik. Namun, pada praktiknya, pelaksanaan pendidikan di Indonesia tidak pernah proporsional antara nilai yang mencetak pribadi baik secara moral dan nilai cerdas secara intelektual.

Kecerdasan minus kebaikan

Sebelum memikirkan pendidikan sebagai satu dari proyek penting membangun pribadi manusia Indonesia, sebetulnya ada sejumlah persoalan yang perlu diselesaikan. 

      Persoalan pertama, ada kenyataan bahwa kecerdasan tidak berbanding lurus dengan kebaikan. Hal itu membuktikan kebaikan bukanlah sekadar produk dari institusi pendidikan formal semata. Ketika konsep pendidikan diperluas Ki Hadjar Dewantara melalui paradigma trisentra pendidikan (sekolah, keluarga, dan masyarakat), proyek menghasilkan "manusia baik" tidak cukup berhenti setelah lulus sekolah formal.

Apabila direfleksikan dalam skala yang lebih luas, bangsa ini adalah sebuah sekolah dengan ruang kelas yang besar. Sebagai arena pembelajaran yang melibatkan seluruh warga bangsa, pendidikan bangsa ini memiliki titik akhir membentuk manusia yang unggul secara moral dan intelektual. Sementara itu, guru adalah elite politik yang memberikan pelajaran melalui pikiran, tuturan, dan perbuatan. Ironisnya, elite tidak bisa dijadikan sebagai model pembelajaran bagi publik.

Persoalan kedua, ketidaksamaan antara perkataan dan perbuatan adalah paradoks yang masih diabaikan dalam pembangunan manusia Indonesia hari ini. Contoh, seorang yang secara formal menyatakan pentingnya hukuman mati untuk terpidana korupsi itu tiba-tiba ditangkap Komisi Pemberantasan Korupsi atas dugaan korupsi. Dengan barang bukti uang Rp 100 juta, KPK telah menahan seorang wakil rakyat dari utusan daerah karena dugaan penyuapan untuk impor gula. Padahal, pada saat yang sama, tersangka dikenal memiliki rekam jejak profesional yang baik.  Kasus tersebut memberikan gambaran tentang paradoks moralitas elite politik sebagai pemimpin dalam hal tuturan versus perbuatan

    Persoalan ketiga, tidak ada kesatuan kata dan perbuatan itu tampak relevan dengan adanya motif mempertahankan kekuasaan. Pendeknya, ada asumsi bahwa pemimpin tak perlu kebaikan. Hal ini disebabkan dalam banyak hal, gagasan tentang kebaikan ini nyatanya  tidak selalu berbanding lurus dengan mekanisme berpikir kekuasaan elite.

Apabila kebaikan adalah pedoman agar interaksi sosial tetap stabil, kekuasaan adalah pedoman agar sumber daya sosial tetap bisa dimanfaatkan. Itulah kenapa Niccolo Machiavelli (1469-1527) perlu melihat prinsip-prinsip penguasa yang mengarahkan dirinya pada pelanggaran prinsip kebaikan. Hal ini disebabkan pemimpin berupaya melanggengkan kekuasaan dan memastikan keamanan kekuasaan dari serangan musuh dengan cara apa pun. Musuh bersifat eksternal, berada di luar benteng, dan dengan demikian seorang pemimpin harus memperkuat benteng-benteng secara geografis dan psikologis.

Logika itu bisa dibalik. Bahwasanya institusi kebenaran adalah institusi pembenaran sejauh di dalamnya ada upaya mempertahankan kekuasaan. Kebaikan mestilah dipisahkan dari motif berkuasa.

Perilaku orang baik

Rupa-rupa persoalan di atas mengarah pada keyakinan, "orang baik" dengan begitu  berada di luar label benar secara institusional. Perilaku baik dengan begitu tidak bisa hanya didasarkan pada pernyataan dari institusi ataupun ucapan maaf secara individual.

Dia melampaui formalitas karena masuk di dalam perbincangan-perbincangan tak resmi, perbuatan-perbuatan terselubung, dan maksud-maksud yang implisit dari seorang pemimpin, yang berlangsung secara terus- menerus. Dalam komunikasi massa yang prismatis, selalu ada yang diam-diam memperhatikan polah tingkah elite kita.

Jadi, di antara beban persoalan di atas, negeri ini membutuhkan pemimpin yang memiliki kesatuan pikiran, kata, dan tindakan. Kita bisa menyebut kesatuan itu dengan integritas. Apabila dengan diam maka kata-kata bisa diperbaiki, tetapi tidak dengan integritas. Hal ini disebabkan integritas akan tetap tampak bahkan hanya dalam diam.

SAIFUR ROHMAN

PENGAJAR PROGRAM DOKTOR ILMU PENDIDIKAN UNIVERSITAS NEGERI JAKARTA

Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 14 Oktober 2016, di halaman 7 dengan judul "Mendidik Orang Baik".

Sent from my BlackBerry 10 smartphone on the Telkomsel network.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Powered By Blogger