Cari Blog Ini

Bidvertiser

Rabu, 12 Oktober 2016

Menguji Rasionalitas Publik (F BUDI HARDIMAN)

Demokratisasi adalah proses rasionalisasi. Lewat demokrasi bukan hanya kekuasaan politis, melainkan juga loyalitas-loyalitas primordial terkait agama dan etnisitas menjadi bagian komunikasi publik dan dikontrol oleh penalaran publik. Dalam kondisi itu, seperti dianalisis oleh Tocqueville dalam Democracy in America, para warga beragama melampaui sentimen-sentimen religius mereka dan mengarahkan diri mereka ke nilai-nilai publik bersama. Etos kewarganegaraan inklusif ini merupakan produk rasionalisasi lewat demokratisasi.

Jika tesis di atas dapat disetujui, kita dapat menemukan sekurangnya dua indikator rasionalitas publik. Pertama adalah preferensi para pemilih dalam pemilihan umum. Pemilih rasional akan fokus pada program, kinerja, dan rekam jejak calon, sedangkan pemilih emosional mudah dipikat oleh loyalitas-loyalitas primordial terkait ras, etnisitas, atau agama.

Kedua adalah kepatuhan pada hukum. Hukum modern menyimpan kekuatan rasionalisasi di dalam dirinya karena merupakan produk penalaran. Lewat prosedur hukum demokrasi dijaga agar tidak jatuh ke dalam populisme dan tirani mayoritas. Kedua indikator itu dapat kita pakai untuk mengukur rasionalitas publik dalam persiapan pemilihan kepala daerah (pilkada) DKI Jakarta akhir-akhir ini.

Distorsi dan sentimentalitas

Isu Surat Al-Maidah Ayat 51 yang dihadapi oleh Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama-akrab dipanggil Ahok- dapat membantu untuk mengukur rasionalitas publik kita. Isu ini telah bergulir bagai bola liar di media sosial dan hampir menggeser dua kasus yang telah menjadi sasaran tembak lawannya, yaitu reklamasi pantai utara Jakarta dan penggusuran- penggusuran yang dilakukan oleh Pemerintah Provinsi DKI Jakarta. Lewat ketegasan dan kejujurannya, Ahok telah menjadi tanda perbantahan di sejumlah media sehingga memecah publik menjadi kawan dan lawan, termasuk dalam hal isu agama tersebut.

Akal sehat kita cukup untuk dapat memisahkan mana yang faktual dan mana yang imajiner dalam isu yang seharusnya tidak perlu menyedot perhatian ini. Dengan akal yang jernih kita dapat dengan cepat menangkap bahwa yang dikritik oleh Ahok dalam pidatonya di dalam kunjungan kerjanya di Kepulauan Seribu pada 27 September yang lalu itu bukan Surat Al-Maidah, juga bukan Islam, dan bahkan juga bukan para pendengarnya saat itu. Yang dikritik olehnya adalah instrumentalisasi agama, termasuk ayat-ayat kitab suci, untuk melayani politik.

Distorsi yang terjadi setelahnya dengan tuduhan penistaan agama, sebagian akibat unggahan suntingan video pidato itu di internet, tidak berasal dari rasionalitas publik, tetapi dari sentimentalitas suatu kerumunan yang membiarkan emosi mereka diaduk-aduk oleh mereka yang tidak memiliki argumen rasional yang lebih baik. Menarik bahwa publik tidak seluruhnya tergoda dalam retorika yang dapat menghadap-hadapkan Islam dan bukan Islam ini.

Makin banyak orang yang menilai instrumentalisasi agama untuk kekuasaan sebagai strategi yang sudah basi. Mereka membentuk suatu lapisan pemilih dengan preferensi kinerja, rekam jejak, program, dan melampaui loyalitas-loyalitas primordial. Pertumbuhan lapisan inilah yang menjadi indikasi peningkatan rasionalitas publik kita. Hal itu telah terbukti dalam kemenangan Joko Widodo dalam Pemilu Presiden 2014 yang lalu. Dalam jejak pendapat Kompaspada 10 Oktober 2016, lapisan rasional ini tetap solid dalam 95,7 persen responden yang ditanyai dalam rangka Pilkada 2017.

Tanpa dimaksudkannya, Ahok memang telah melakukan blunder dalam pernyataan yang lalu berpeluang untuk dipelintir- pelintir itu. Mengangkat isu ini ke ranah hukum bisa menjadi kontraproduktif. Permintaan maaf yang telah dilakukannya terasa lebih simpatik di tengah-tengah sebuah tabiat kepemimpinan yang sulit minta maaf. Mungkin dengan cara itu juga elektabilitasnya akan tetap tinggi, terlebih jika disertai dengan perbaikan gaya-gaya komunikasinya.

Menarik untuk membandingkan bagaimana isu agama dan etnisitas ditanggapi di era Orde Baru dan di era demokrasi sekarang. Di sini kita melihat bagaimana demokratisasi sungguh menghasilkan rasionalisasi. Dahulu isu agama dan etnisitas nyaris tidak tersentuh diskursus publik sehingga isu ini malah mudah meledak menjadi kerusuhan massa. Ketika diperlakukan seolah entitas gaib yang tabu untuk dibicarakan, endapan emosi yang terkandung dalam isu ini mudah dilepaskan dalam aksi destruksi.

Sekarang isu agama dan etnisitas menjadi diskursif dan tersublimasi ke dalam teks-teks media sosial. Bahaya tentu tetap ada karena teks berisi ujaran kebencian mudah bergulir menjadi aksi distruksi. Namun, sublimasi itu sudah memberi ruang bagi mediasi akal. Brutalitas dalam dunia maya lalu dapat dibatasi oleh hukum yang pada gilirannya akan mendorong para netizen untuk meningkatkan selera pada argumentasi rasional.

Batu uji rasionalitas publik

Baik rasionalitas maupun irasionalitas mengendap dalam setiap masyarakat. Tidak hanya ada kebijakan pengampunan pajak (tax amnesty) yang mendorong transparansi finansial, tetapi juga ada penipuan penggandaan uang oleh Dimas Kanjeng Taat Pribadi yang dipercaya sebagai orang sakti.

Sentimentalitas kerumunan yang membiarkan emosinya diseret oleh sugesti penggandaan uang itu memiliki akar-akar yang sama dengan sentimentalitas kerumunan yang diprovokasi dengan isu agama dan etnisitas, yaitu nafsu, entah itu ketamakan atau agresi.

Menarik bahwa hukum sebagai agen rasionalitas modern mencoba mengikis kerak irasionalitas ini dengan mengidentifikasi "sihir" penggandaan uang sebagai penipuan dan "pengafiran" kelompok lain sebagai pelanggaran toleransi, tetapi endapan irasional tidak seluruhnya terangkat.

Pencalonan kembali Ahok telah menjadi batu uji rasionalitas publik kita. Jika hanya lantaran isu agama dan etnisitas elektabilitasnya turun dan dia gagal memenangi pilkada, hal itu menjadi indikasi masih bercokolnya semangat konservatif yang menguasai para pemilih emosional.

Namun, jika kendatipun isu primordialisme itu elektabilitasnya tetap tinggi dan akhirnya terpilih kembali, hal tersebut cukup untuk menandakan tiga hal, yakni perbaikan kualitas rasionalitas para pemilih di Jakarta, semakin solidnya kelas menengah di Ibu Kota, dan menguatnya integritas sistem demokrasi kita. Apabila agama dan etnisitas tidak lagi menjadi preferensi dalam pilkada 2017, yang akan diuntungkan bukan hanya petahana, melainkan juga para kandidat lain dan bahkan demokrasi dan keadaban publik kita.

Namun, optimisme atas rasionalitas publik sebaiknya tidak berlebihan karena cadangan sentimentalitas masyarakat kita masih cukup banyak. "Sindrom orang tertindas" adalah bagian sentimentalitas publik kita yang perlu dikalkulasi. Sindrom ini bicara tentang yang lemah mengalahkan yang kuat, minoritas berjaya atas mayoritas, atau mungkin juga yang santun mengalahkan yang kasar, suatu strategi psikologis politis yang bisa dipakai oleh siapa pun untuk mencari untung dalam politik.

Sindrom itu sebenarnya menandakan satu hal: ketidaksamaan sosial yang masih menganga lebar dalam masyarakat kita. Hanya jika semua pihak sama kuatnya, seperti dikatakan Hannah Arendt, kita dapat menikmati kegembiraan hidup dalam sebuah republik. Di sana sindrom itu dan sentimen-sentimen primordial menjadi usang.

Jadi, membela buta calon mana pun, termasuk Ahok, tidaklah menguntungkan bagi demokrasi. Demokrasi akan diuntungkan jika terjadi kompetisi rekam jejak, kinerja dan program, kinerja yang menantang penalaran publik. Perbaikan kualitas demokrasi tentunya akan berdampak pada peningkatan rasionalitas publik. Dengan cara itu, kekerasan dan kepicikan dapat makin berkurang di dalam masyarakat.

F BUDI HARDIMAN

Pengajar Filsafat Politik di STF Driyarkara

Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 12 Oktober 2016, di halaman 6 dengan judul "Menguji Rasionalitas Publik".


Sent from my BlackBerry 10 smartphone on the Telkomsel network.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Powered By Blogger