Cari Blog Ini

Bidvertiser

Jumat, 21 Oktober 2016

Penggelembungan Harta Pengampunan (DIDIK BUDI WALUYO)

Data Direktorat Jenderal Pajak pada 19 Oktober 2016, sebanyak 415.140 wajib pajak telah menyampaikan surat pernyataan harta untuk pengampunan pajak, dengan SPH yang tercatat 421.066.

Perbedaan jumlah ini salah satunya karena wajib pajak (WP) dapat menyampaikan surat pernyataan harta untuk pengampunan pajak (SPH) paling banyak tiga kali. Mengingat jumlah WP yang menyampaikan SPH lebih dari sekali diperkirakan tidak terlalu banyak, DJP perlu menelusuri selisih jumlah ini.

SPH digunakan oleh WP yang mengikuti pengampunan pajak untuk mengungkapkan harta, utang, nilai harta bersih, serta penghitungan dan pembayaran uang tebusan. Di samping menentukan uang tebusan, isian SPH juga akan menentukan kualitas basis data perpajakan, yang merupakan salah satu tujuan amnesti. Data dalam SPH akan masuk ke sistem administrasi perpajakan dan dapat dimanfaatkan untuk pengawasan kepatuhan pemenuhan kewajiban perpajakan di masa yang akan datang.

Jumlah harta berdasarkan SPH yang disampaikan per tanggal itu Rp 3.851 triliun, terbagi atas deklarasi harta dalam negeri Rp 2.726 triliun dan luar negeri Rp 982 triliun serta repatriasi Rp 143 triliun. Target jumlah harta pengampunan Rp 4.000 triliun diperkirakan dapat terlampaui sampai akhir tahun ini.

Di tengah euforia pencapaian amnesti pajak periode pertama yang diklaim sebagai program amnesti pajak tersukses di dunia, baik dari sisi deklarasi harta maupun uang tebusan, perlu ditelisik lebih lanjut apakah ada sebagian WP yang diperkirakan melaporkan harta yang lebih dari keadaan yang sebenarnya, yang tak sesuai dengan maksud UU Pengampunan Pajak. Berlainan dengan pengungkapan harta yang kurang dilaporkan, penggelembungan harta pengampunan lebih banyak disebabkan kesengajaan WP. Minimal ada dua kelompok WP pada kategori ini.

Ingin fasilitas amnesti

Kelompok pertama, WP yang sebenarnya sudah melaporkan seluruh hartanya dalam surat pemberitahuan pajak penghasilan (SPT PPh) terakhir (2015), tetapi menyatakan adanya harta tambahan dalam SPH. Alasan WP kelompok ini hanya satu, ingin memanfaatkan fasilitas yang diberikan kepada WP yang mengikuti amnesti pajak.

Fasilitas amnesti pajak memang luar biasa, antara lain tidak dilakukan pemeriksaan pajak, pemeriksaan bukti permulaan, dan penyidikan tindak pidana di bidang perpajakan, atas kewajiban perpajakan dalam masa pajak, bagian tahun pajak, dan tahun pajak, sampai dengan akhir tahun pajak terakhir. Fasilitas inilah yang utamanya ingin didapat oleh kelompok WP ini.

Obyek amnesti adalah harta tambahan bersih, yaitu selisih antara harta dan utang, yang belum atau belum seluruhnya dilaporkan dalam SPT PPh terakhir. Bagi WP yang tak punya atau tidak ada tambahan utang yang harus dilaporkan dalam amnesti pajak, untuk bisa mengikuti program amnesti harus ada harta tambahan yang belum atau belum seluruhnya dilaporkan dalam SPT PPh terakhir.

Dengan demikian, secara ketentuan, apabila WP sudah melaporkan seluruh hartanya dalam SPT PPh terakhir, WP tak dapat mengikuti PP. Kelompok WP ini menyadari bahwa meski seluruh hartanya telah dilaporkan dalam SPT PPh, mereka belum melaksanakan kewajiban perpajakan sebagaimana mestinya tahun 2015 dan sebelumnya.

Manuver WP seperti ini kemungkinan dapat terdeteksi dari tak signifikannya harta tambahan yang dilaporkan, umumnya berasal dari WP Badan yang menyelenggarakan pembukuan, bahkan mungkin dari WP yang laporan keuangannya telah diaudit akuntan publik. Kelompok ini umumnya menggelembungkan harta tambahan pada harta yang tak terdapat bukti pendukung atas harta tambahan ini, seperti uang tunai, yang dalam pengisian SPH WP memang cukup hanya melampirkan surat pengakuan kepemilikan harta.

Sayangnya, saat penelitian administrasi SPH, DJP tak dapat melakukan koreksi apa pun atas pelaporan WP seperti ini. Penelitian administrasi yang dilakukan memang mencakup kesesuaian antara harta yang dilaporkan dan informasi kepemilikian harta yang dilaporkan. Namun, apabila WP telah menyampaikan surat pengakuan kepemilikan harta atas harta tambahan yang tak memiliki bukti dokumen pendukung apa pun atas harta tambahan ini, berkas SPH yang disampaikan WP disimpulkan telah sesuai.

Kelompok kedua, WP yang secara ketentuan memang dapat mengikuti program amnesti tetapi dalam SPH menggelembungkan harta tambahan tertentu. Modusnya sama dengan WP kelompok pertama, tetapi dengan alasan berbeda. WP seperti ini mau membayar uang tebusan, yang tarifnya memang jauh lebih rendah dari tarif normal PPh. Mereka berpikiran bahwa apabila tahun 2016 dan seterusnya ada penambahan harta, nantinya akan menyampaikan alasan harta tambahan tersebut berasal dari perpindahan harta yang sudah dilaporkan dalam SPH.

Padahal, sebenarnya harta tambahan tersebut berasal dari penghasilan 2016 dan seterusnya yang tak dilaporkan WP dalam SPT PPh tahun diperolehnya penghasilan. Kepada WP yang seperti ini perlu diingatkan bahwa manuver ini akan merugikan WP sendiri. Dengan data dan/atau informasi serta kewenangan yang dimiliki, DJP diharapkan mampu membuktikan adanya penghasilan yang belum dilaporkan WP dalam SPT PPh tahun 2016 dan seterusnya.

Falsafah UU Pengampunan Pajak adalahself assessment yang memberikan kepercayaan sepenuhnya kepada WP untuk mengungkapkan harta, utang, dan nilainya. WP dituntut kejujurannya, baik saat menyampaikan SPH maupun setelah mendapatkan surat keterangan pengampunan. Mestinya, WP menyadari program PP merupakan momentum awal kejujuran WP dalam melaksanakan kewajiban perpajakannya, termasuk pengisian SPH. Masih ada waktu bagi WP untuk membetulkan isian SPH sehingga mencerminkan keadaan yang sesungguhnya.

DIDIK BUDI WALUYO, KONSULTAN PAJAK DAN PENGELOLA TRAINING PERPAJAKAN DBW TAX CENTER

Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 21 Oktober 2016, di halaman 6 dengan judul "Penggelembungan Harta Pengampunan".


Sent from my BlackBerry 10 smartphone on the Telkomsel network.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Powered By Blogger