Cari Blog Ini

Bidvertiser

Selasa, 11 Oktober 2016

Reformasi Raskin (DENNI P PURBASARI)

Program beras miskin sudah berlangsung selama 18 tahun. Pada tahun 2014 Komisi Pemberantasan Korupsi telah menyarankan agar desain raskin diubah agar lebih tepat sasaran: tepat jumlah, tepat harga, tepat waktu, tepat kualitas, dan tepat administrasi.

Pemerintah berinisiatif secara bertahap mengubah mekanisme penyaluran raskin. Bukan lagi Bulog yang menerima subsidi dan mengantarkan raskin kepada masyarakat, melainkan pemerintah akan mentransfer langsung sejumlah uang tertentu per bulan ke rekening keluarga sasaran berkartu debit-yang nantinya menjadi satu-satunya kartu bantuan sosial.

Uang yang ditransfer ini hanya bisa dibelanjakan untuk beras (dan telur) di pedagang pasar/ warung/toko yang menjual beras (selanjutnya disebut "pengecer beras"), tidak bisa diambil tunai. Penjual beras banyak, beraneka ragam beras, dengan harga yang beragam pula. Jika tidak habis, sisa uang menjadi tabungan. Intinya, masyarakat miskin/rentan bisa memilih sendiri.

Untuk bisa bertransaksi demikian, tidak mudah. Pun, skema ini jelas tidak bisa diimplementasikan di semua daerah. Namun, bersikap gamang dan membiarkan praktik penyaluran raskin seperti sekarang juga bukan pilihan.

Uji coba 44 kota

Dalam Rencana Kerja Pemerintah (RKP) 2017 dan Rancangan Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN) 2017, pemerintah akan mengubah mekanisme penyaluran raskin di 44 kota. Sebanyak 1,5 juta keluarga miskin/ rentan (8,5 persen dari total penerima manfaat raskin) akan menerima transfer Rp110.000 per bulan. Data penerima diambil dari Pemutakhiran Basis Data Terpadu (PBDT) 2015.  

Dengan harga beras kualitas rendah di pasar saat ini sekitar Rp 8.200 per kilogram, keluarga miskin/rentan akan mendapatkan setidaknya 13 kg beras per bulan atau dua kali lipat dari raskin yang biasa diterima selama ini. Jumlah ini kurang dari setengah kebutuhan beras bulanan keluarga sasaran (Susenas, 2015). Jadi, masyarakat rentan/ miskin tetap perlu merogoh uang sendiri untuk memenuhi kekurangannya.

Meski kecil, dengan mengubah cara penyaluran seperti ini saja, kemiskinan di 44 kota tersebut diestimasi akan turun sekitar 0,32 poin persentase. Dana pendamping raskin dari APBD bahkan dapat dihapus dan direalokasikan untuk yang lain. Jadi fiskal menjadi lebih efektif.

Dibandingkan raskin sekarang, skema yang baru dapat meningkatkan ketepatan sasaran, waktu, dan administrasi. Kriteria ketepatan kualitas, harga, dan jumlah tidak lagi relevan karena masyarakat miskin/rentan dapat memilih berasnya.

Meski demikian, pemerintah akan hadir untuk memastikan kecukupan jumlah pengecer beras dan pasokan beras di pasar. Alasannya, dengan skema baru, pengadaan 252.000 ton beras raskin selama 2017 atau setara 21.000 ton per bulan di 44 kota akan "dilepas" dari Bulog kepada pengecer beras (pasar).

Terkait dengan hal itu, sebelum memasuki tahun 2017, cadangan beras pemerintah di Bulog akan diperkuat untuk meredam potensi lonjakan harga beras di 44 kota. Jadi, fungsi Bulog tak hilang. Negara-melalui Bulog-tetap hadir sebagai buffer stock dan stabilisator harga beras; selain sebagai penyangga harga gabah/beras petani apabila jatuh.

 Reformasi raskin seperti di atas dapat menjadi katalis dari inklusi keuangan sekaligus pemberdayaan pedagang kecil. Seperti umumnya UMKM, transaksi di pengecer beras biasanya bersifat tunai, dari kulakan sampai penjualan. Kredit yang pas dengan kebutuhan jarang ada. Kalau pun ada, dari penyedia jasa keuangan informal yang berbunga mahal.

Alasannya: transaction cost dancoordination failure. Artinya, biaya transaksi antara bank dan pelaku UMKM terlalu tinggi, atau mereka tidak terhubung satu sama lain-karena alasan apa pun. Akibatnya, transaksi yang terjadi antarbank dan UMKM terlalu kecil atau tidak terjadi sama sekali meski potensi volume transaksi di antara keduanya cukup besar karena saling membutuhkan.

Dukungan bank

Apabila reformasi raskin terjadi, bank-bank akan menyediakan alat pembaca kartu, seperti electronic data capture(EDC) di pengecer. Banklah yang memilih pengecer-bukan pemerintah- karena bank yang berinvestasi dalam alat. Alat ini bisa dipakai tidak hanya untuk kartu debit raskin, tetapi juga kartu debit mana pun, termasuk milik konsumen berekonomi mampu. Karena bank ingin investasinya kembali, mereka pasti akan cerewet soal fisik kios, display, keragaman, dan kualitas barang, serta servis. Ini semua menguntungkan konsumen.

Apabila ini terjadi, ibu-ibu yang biasanya berbelanja di pasar untuk produk segar, seperti sayur, buah, tahu, tempe, bumbu, ikan, daging, dan ayam, bisa berbelanja barang pabrikan, seperti minyak goreng, kecap, gula, margarin, dan shampoo, di los-los beras tertentu dengan kartu debit. Lewat EDC, bank pun jadi tahu omzet pengecer dan bisa menawarkan kredit yang pas dengan kebutuhan dan kemampuan bayar pengecer.

Inilah wujud pemberdayaan pedagang pasar. Tidak hanya fisik pasarnya yang direvitalisasi, tetapi juga aspek substansi usahanya juga diperkuat. Dengan demikian, usaha eceran rakyat- yang berdiri dengan kekuatan sendiri-mampu bersaing dengan toko swalayan.  

Inklusi keuangan untuk melayani segmen masyarakat terbawah ini (baik pengecernya maupun keluarga miskin/rentan) hanya bisa terjadi secara masif, nyata, dan berkesinambungan apabila: (1) "melibatkan" semua pelaku ekonomi atau inklusif- bukan eksklusif; (2) terbuka terhadap inovasi dalam alat pembayaran; dan (3) didasarkan atas insentif ekonomi-bukan subsidi atau belas kasihan.

Dalam konteks reformasi raskin di 44 kota di atas, dibutuhkan setidaknya 14.000 pengecer beras (bukan sekadar agen bank), lengkap dengan alat pembaca kartu, sebelum tahun 2017. Gotong royong dari semua bank, baik bank pemerintah, swasta, maupun BPD, sangat dibutuhkan untuk "mengakuisisi" pengecer sebanyak ini, apalagi nanti apabila diperluas ke daerah-daerah lain.

Untuk itu, sistem pembayaran yang andal, aman, teruji, terbuka, berbiaya rendah, dan tersedia sebelum 2017 dibutuhkan. Pemerintah akan hadir untuk memastikan agar biaya transaksi dari bantuan sosial ini lebih rendah daripada transaksi komersial to get the most bang for the buck.

Meski jalan terjal, ikhtiar perubahan harus dilakukan. Selangkah pun berarti karena kita tidak akan tahu bila tidak mencoba. Afrika Selatan, Nigeria, Mesir, Italia, Rusia, dan lainnya sudah mencoba. Kini "tinggal" implementasi. Dukungan kementerian dan lembaga, pemerintah daerah, DPR/DPRD, Bank Indonesia, Otoritas Jasa Keuangan, dunia usaha, tokoh masyarakat, dan media massa merupakan sebuah keniscayaan bagi suksesnya perubahan ini. Demi kesejahteraan masyarakat terbawah yang lebih baik.  

DENNI P PURBASARIDEPUTI III KEPALA STAF KEPRESIDENAN/DOSEN FEB UNIVERSITAS GADJAH MADA

Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 11 Oktober 2016, di halaman 7 dengan judul "Reformasi Raskin".

Sent from my BlackBerry 10 smartphone on the Telkomsel network.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Powered By Blogger