Cari Blog Ini

Bidvertiser

Senin, 10 Oktober 2016

Repotnya Otonomi Daerah (DJOHERMANSYAH DJOHAN)

Tak terasa, pada 2 Oktober, UU No 23/2014 tentang Pemerintahan Daerah telah berusia 2 tahun. Jalannya UU yang sering disebut juga sebagai UU Otonomi Daerah ini tak seperti dibayangkan dulu waktu menyusunnya: "...akan diterima luas, lancar eksekusinya, dan memudahkan pemerintahan Presiden Joko Widodo dalam menangani desentralisasi". Ini karena UU ini dibuat untuk memperbaiki sejumlah kekurangan dan kelemahan otonomi daerah selama satu dasawarsa terakhir di bawah pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono.

Ternyata implementasi UU No 23/2014 yang sangat tebal—terdiri dari 27 bab dan 411 pasal—ini tidaklah mudah, tersendat- sendat dan jalan di tempat. Dari 30 rancangan peraturan pemerintah (RPP) yang harus dibuat pemerintah pusat paling lambat tanggal 2 Oktober 2016, baru satu PP tentang Organisasi Perangkat Daerah (PP No 18/2016) yang jadi.

Walaupun usianya masih muda sekali, UU ini telah dua kali direvisi. Pertama, dengan Perppu No 2/2014 terkait tugas dan wewenang DPRD. Kedua, dengan UU No 9/2015 soal tugas kepala daerah dan wakil kepala daerah. Bahkan, saat ini tengah berlangsung judicial review oleh bupati dan wali kota terhadap UU Otonomi Daerah ini di MK menyangkut urusan pemerintahan bidang pendidikan, kehutanan, kelautan, dan ESDM. Padahal, sejatinya kebijakan desentralisasi yang baik adalah kebijakan yang bagus formulasinya dan mulus implementasinya.

Banyak masalah

Memang, sejak reformasi digulirkan di Indonesia hingga saat ini, kebijakan desentralisasi kita masih belum menemukan format yang tepat. Terlalu sentralistik, daerah "lemah". Sebaliknya, terlalu desentralistik, "pusat kehilangan kontrol".

Pemerintahan era Reformasi melalui UU No 22/1999 (dibuat pada era Presiden BJ Habibie) dan UU No 32/2004 (dibuat pada era Presiden Megawati) nyatanya belum memberikan pengaruh signifikan terhadap peningkatan kesejahteraan masyarakat. Malah sebaliknya, menimbulkan sejumlah permasalahan, baik dari sisi formulasi maupun implementasinya.

Pada masa UU No 22/1999, belum genap setahun UU Pemda itu dijalankan, terjadi pergantian presiden, menteri, pejabat dan institusi yang menangani otonomi daerah. Di sisi lain, karena kuatnya euforia demokrasi, baik di pusat maupun daerah, otonomi daerah dijalankan seperti di negara federal. Daerah-daerah "sesuka hati" melaksanakan kewenangan yang diberikan pusat sehingga melahirkan "raja-raja kecil". Pada masa itu, otonomi luas berada di kabupaten/kota, sementara provinsi memiliki otonomi terbatas. Akibatnya, relasi pemerintah pusat, provinsi, dan kabupaten/kota tidak serasi.

Lahirnya UU Pemda No 32/2004 dimaksudkan untuk memperbaiki kekurangan-kekurangan pada UU sebelumnya, di mana dilakukan penataan pemerintahan daerah dengan mempertemukan semangat local democracy model dengan efficiency model (Benyamin Hossein dalam Muluk, 2007).

Transfer kewenangan diubah menjadi pembagian urusan pemerintahan berdasarkan kriteria eksternalitas, akuntabilitas, dan efisiensi. Otonomi di provinsi tidak lagi terbatas, tetapi jadi otonomi luas dan titik berat otonomi tak lagi di kabupaten/kota. Meskipun UU ini telah mengalami dua kali revisi—revisi pertama dengan UU No 8/2005 dan revisi kedua dengan UU No 12/2008—masalah pemerintahan daerah tidak juga berkurang.

Beberapa masalah krusial

Beberapa masalah krusial ditemukan. Pertama, pemekaran daerah yang tidak terkendali, dalam tempo 10 tahun (1999-2009) lahir 205 daerah otonom baru. Pemekaran daerah lebih pada permainan kekuasaan dibandingkan teknis pemerintahan.

Kedua, dalam hal urusan pemerintahan, pembagiannya diatur dengan PP sehingga urusan tersebut mudah ditarik ke pusat. Selain itu, tidak ada pola atau model yang jelas yang digunakan pada setiap kementerian/lembaga (K/L) dan sering terjadi tumpang tindih kewenangan antar- tingkatan pemerintahan. Di sisi lain, beban urusan pemerintahan provinsi dan kabupaten/kota tidak seimbang.

Ketiga, tidak ada pemetaan urusan untuk membentuk perangkat daerah. Ukuran perangkat daerah diseragamkan di seluruh Indonesia sehingga terjadi ketidakseimbangan beban kerja antar-perangkat daerah.

Dalam formulasi UU No 23/2014 yang dibuat pada era Presiden Yudhoyono, beberapa perbaikan dilakukan. Pertama, pemekaran daerah tidak diharamkan, tetapi dikendalikan dengan ketat. Pembentukannya hanya melalui "pintu" pemerintah dan cukup dengan PP saja. Daerah tidak langsung berstatus daerah otonom, tetapi lebih dahulu menjadi daerah persiapan atau daerah administratif selama tiga tahun. Sesudah itu dievaluasi, apabila memenuhi syarat, baru ditetapkan dengan UU sebagai daerah otonom baru.

Kedua, pembagian urusan pemerintahan daerah antara pusat, provinsi, dan kabupaten/kota ditata ulang. Misalnya, urusan pendidikan menengah yang semula dipegang kabupaten/kota dialihkan ke provinsi. Kabupaten/kota sekarang hanya mengelola urusan pendidikan dasar. Sementara pemerintah pusat menangani urusan pendidikan tinggi. Urusan yang punya dampak ekologis (kehutanan, kelautan, dan pertambangan) ditarik dari kabupaten/kota ke tingkat provinsi sehingga lebih mudah diawasi pusat. Pembagian urusan pemerintahan yangclear cut ini diatur dalam UU bukan PP.

Ketiga, pembentukan perangkat daerah berdasarkan pemetaan urusan. Dengan demikian, tertutup peluang penyeragaman organisasi.

Keempat, jalinan hierarki pusat dan daerah yang selama ini putus di tingkat kabupaten/kota—sehingga menimbulkan ketidakpatuhan bupati/wali kota kepada gubernur—disambungkan kembali. Kabupaten/kota, sebagaimana provinsi selain berstatus sebagai daerah otonom juga ditetapkan menjadi wilayah administratif yang bertugas menyelenggarakan urusan pemerintahan umum, sehingga terjalin kembali relasi gubernur-bupati/wali kota.

Namun, dalam implementasi UU No 23/2014 tersebut, terdapat beberapa kendala. Pemerintah kabupaten/kota merasakan ada inkonsistensi semangat otonomi daerah. Sistem pemerintahan dituding cenderung kembali ke sistem sentralistik dengan penarikan beberapa urusan pemerintahan ke provinsi sehingga bisa melemahkan semangat pemda menjalankan otonomi daerah. Selain itu, di pusat terjadi pergantian presiden dan jajarannya (sejak Oktober 2014); perubahan nomenklatur lembaga yang menangani otonomi daerah, khususnya di Kementerian Dalam Negeri; serta kesulitan dan pemotongan anggaran memengaruhi kecepatan penyelesaian PP dan penyesuaian UU sektoral dengan UU Pemda. Padahal, ditargetkan UU No 23/2014 ini efektif pelaksanaannya pada 1 Januari 2017.

Tanpa PP, tanpa penyesuaian UU sektoral, tanpa kejelasan kapan putusan MK keluar, serta tanpa semangat kepala daerah dan petinggi pemerintah pusat, kita akan kesulitan menjalankan otonomi daerah. Perbaikan yang dicita-citakan, kerepotanlah yang tiba. Oh, repotnya otda!

DJOHERMANSYAH DJOHAN, DIRJEN OTDA 2010-2014, PENDIRI INSTITUT OTONOMI DAERAH (I-OTDA)

Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 10 Oktober 2016, di halaman 6 dengan judul "Repotnya Otonomi Daerah".

Sent from my BlackBerry 10 smartphone on the Telkomsel network.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Powered By Blogger