Cari Blog Ini

Bidvertiser

Kamis, 20 Oktober 2016

TAJUK RENCANA: Kebijakan Satu Harga BBM (Kompas)

Sebagai upaya mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia, Presiden Joko Widodo mencanangkan kebijakan satu harga bahan bakar minyak.

Dimulai dari Papua (18/10), harga BBM yang seragam di seluruh Indonesia ditargetkan terealisasi pada 2017. Dengan kebijakan satu harga BBM ini, warga Papua yang sebelumnya harus membayar 7-14 kali lipat harga di Jawa kini bisa menikmati harga BBM sama seperti di Jawa.

Kebijakan satu harga BBM ini suatu terobosan penting untuk mengatasi kesenjangan tinggi harga barang di Papua dengan wilayah lain di Indonesia, mengingat besarnya kontribusi harga BBM dalam menekan harga barang kebutuhan pokok dan barang lain.

Kebijakan harga BBM seragam di seluruh Indonesia—pertama sejak merdeka—sudah jelas bukan suatu program yang murah. Ada biaya logistik, distribusi, dan pengadaan infrastruktur yang sangat besar, yang harus ditanggung PT Pertamina. BUMN ini diperkirakan akan merugi Rp 800 miliar hanya untuk program ini.

Kerugian Pertamina ini harus ditutup dengan subsidi silang dari bisnis lain dan subsidi pemerintah sehingga memunculkan tambahan beban keuangan negara dan konsekuensi anggaran yang tak kecil. Beban anggaran ini kian membengkak jika nanti harga BBM seragam diberlakukan di seluruh Indonesia, termasuk wilayah perbatasan, wilayah terluar, dan wilayah terpencil yang masih dihadapkan pada persoalan disparitas harga BBM yang sama akibat keterisolasian dan problem transportasi.

Terlepas dari risiko beban keuangan jangka panjang yang harus ditanggung pemerintah, langkah ini bentuk soft diplomacy serta wujud kehadiran negara dalam menciptakan keadilan sosial dan meningkatkan kesejahteraan rakyat di wilayah terpencil dan perbatasan yang selama ini belum sepenuhnya tersentuh roda pembangunan. Tetap terisolasi setelah 71 tahun Indonesia merdeka.

Kondisi geografis, keterbatasan infrastruktur, dan kendala transportasi menyebabkan Papua tetap pada urutan pertama daerah tertinggal di Indonesia. Disparitas harga dan tingginya inflasi menyumbang pada tingginya angka kemiskinan. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik 2005, kemiskinan Papua mencapai 80 persen dan tetap tinggi 28,54 persen pada Maret 2016, jauh di atas angka kemiskinan nasional sebesar 10,86 persen. Sekitar 50 persen Papua juga belum teraliri listrik.

Berbagai upaya yang dilakukan untuk meningkatkan interkoneksi antarwilayah, termasuk lewat pembangunan tol laut, bandara baru, dan jalan Trans-Papua, sejauh ini belum sepenuhnya mampu menekan biaya logistik. Hal itu disebabkan belum optimalnya tol laut itu sendiri.

Berbagai terobosan baru tetap diperlukan untuk menekan disparitas harga. Dalam jangka lebih panjang, pengembangan energi alternatif dan terbarukan, dengan basis sumber energi lokal, barangkali jawaban yang lebih masuk akal ketimbang program harga BBM seragam di seluruh Indonesia yang sulit diharapkan keberlanjutannya dan sangat mahal secara ekonomi.

Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 20 Oktober 2016, di halaman 6 dengan judul "Kebijakan Satu Harga BBM".

Sent from my BlackBerry 10 smartphone on the Telkomsel network.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Powered By Blogger