Cari Blog Ini

Bidvertiser

Rabu, 12 Oktober 2016

Viral Kebencian di Media Sosial (FATHORRAHMAN HASBUL)

Barangkali tak ada pertunjukan menarik selain pentas politik di DKI Jakarta hari ini. Proses politik di DKI begitu memesona dan memikat sejumlah kalangan, bahkan dari berbagai penjuru di luar Jakarta sekalipun.

Meskipun mereka tidak ber-KTP DKI, perbincangan dan keberpihakannya kepada salah satu kandidat melebihi perbincangan politik mana pun. Bahkan, dalam satu momentum persoalan-persoalan politik di DKI begitu keras, tak jarang menerabas batas-batas.

Kasus surat Al-Maidah, dinasti politik, sampai persoalan perbedaan dalam sikap masa lalu menjadi titik balik bagaimana manuver isu politik berdiaspora secara cepat, membentur akal sehat, kebenaran, bahkan mengubur nurani di dasar paling dalam ruang pragmatisme politik. Di ruang media sosial, orang begitu mudah diprovokasi  dengan mengabaikan substansi, sukar mencari kebenaran yang hakiki. Media sosial ada akhirnya riuh oleh kebencian yang diadu tak hanya oleh haters, tetapi tidak sedikit dari deretan para intelektual dan ilmuwan.

Media sosial kemudian tidak lagi mendudukkan proses dialog yang sehat, adu konsep, dan strategi secara kreatif, tetapi sebaliknya menjadi arena benturan kepentingan politik yang dikemas melalui aroma agama, politik dinasti, dan kebencian. Politik sebagai sebuah seni meraih kekuasaan yang seharusnya terlihat indah justru di media sosial menjelma menjadi rawa belukar permainan kepentingan yang gersang dari nilai-nilai kepatutan. Tak ada keteduhan, yang ada hanyalah saling sikut, intimidasi, dan fitnah yang tidak mencerminkan apa yang disebut sebagai politik akhlakul karimah.

Perlu dicatat bahwa DKI Jakarta yang selama ini dilihat sebagai kiblat dalam penyelenggaraan pemilihan umum, sesungguhnya tidaklah benar-benar demikian adanya. Jika ukurannya adalah demokrasi prosedural, di mana tidak ada masalah teknis dalam penyelenggaraan pemilu, yang demikian adalah selemah- lemahnya pandangan tentang sistem berdemokrasi.

Sebab, demokrasi yang sejati adalah demokrasi di mana dalam setiap proses yang berlangsung selalu mengedepankan sikap-sikap santun dan saling menghormati serta menghargai antara satu dengan yang lain. Jika kemudian ada persaingan dalam setiap prosesnya, hal ini merupakan bentuk kewajaran selama persaingan tersebut dijalankan secara manusiawi dan didasarkan pada sikap kritis dengan basis data yang akurat.

Wacana kepiting

Dalam perspektif Viscount Bolingbroke (1742), perbedaan dalam politik sesungguhnya dapat menjaga keseimbangan-keseimbangan dan menumbuhkan kekuatan-kekuatan politik baru, dan suasana yang rukun merupakan pintu masuk hadirnya harapan bagi kebebasan, kemakmuran, dan hak-hak warga secara menyeluruh. Artinya, standar kehidupan politik secara demokratis adalah suasana yang menjunjung kekeluargaan, keadilan, dan keadaban, bukan justru sebaliknya.

Gelombang media sosial yang kini terus mewarnai meja catur proses politik di DKI benar-benar menjadi sarana yang efektif dalam menaikkan bahkan menggulingkan citra para calon gubernur. Wacana yang berkembang di media sosial terkait Pilgub DKI 2017 bergerak secara ofensif, yang salah satunya dapat diidentifikasi sebagai wacana kepiting. Istilah ini muncul dalam sejarah kewartawanan Indonesia pada  tahun 1974 dalam tragedi Malari sebagaicrab journalism.

Kini aktivitas tersebut telah bermetamorfosis dalam transformasi media sosial di Indonesia. Wacana kepiting menunjukkan bahwa wacana yang dikeluarkan tidak lain untuk menggigit sedikit-sedikit, tetapi jika diburu lari kembali bersembunyi di balik batu. Hal ini persis terjadi pada beberapa akademisi yang melakukan penggiringan opini di media sosial tetapi memiliki keberpihakan kepada kandidat.  

Dalam kajian komunikasi, model wacana dalam media sosial terkait pilkada DKI juga dapat ditafsirkan sebagai modelostensive inferential, di mana pencetus ide-ide kebencian lihai memainkan asumsi-asumsi. Wacana yang dicetuskan hanyalah asumsi yang seolah-olah nyata untuk menunjukkan makna yang jauh lebih besar dalam rangka menghadirkan timbal balik keuntungan. Semisal dalam kasus surat Al-Maidah, banyak kritik terkait kesalahan dalam memaknai surat tersebut, padahal pesan sesungguhnya ingin menunjukkan adanya irisan-irisan perbedaan agama yang ingin disampaikan kepada khalayak luas.

Begitupun dengan politik dinasti, di mana pesan luasnya adalah ingin menunjukkan bahwa kualitas personal kandidat tersebut sesungguhnya bukanlah kualitas dirinya, melainkan orangtua dan sejenisnya.  Begitu pula dalam kasus provokasi kebencian atas kandidat yang lain.

Fragmentasi wacana yang terus berkembang di media sosial saat ini di satu sisi merupakan reaksi yang luar biasa karena ternyata masyarakat Indonesia merasa memiliki Jakarta sebagai ibu kota negara. Namun, di sisi yang lain, saling serang isu, baik olehhaters, akademisi, politisi, maupun mahasiswa, menjadi sesobek demokrasi  yang tidak bermartabat.

Mungkin kita tidak dapat menjustifikasi masalah tersebut sebagai kegagalan berdemokrasi. Namun, paling tidak keterbukaan informasi melalui media sosial menggiring kita pada pemahaman bersama; demokrasi ternyata rewel dan masih berjalan setengah hati.

Partisipasi politik

Gurevitch dan JG Blumler (2003) menegaskan bahwa new media  yang hari ini populer dengan istilah media sosial, sejatinya menempatkan demokrasi sebagai lingkungan sosial politik yang memberikan ruang atas semakin meningkatnya kesejahteraan sebuah komunitas masyarakat sekaligus menjadi platform dalam rangka menciptakan diseminasi gagasan secara rasional dan menyejukkan. Dengan begitu, kehadiran media sosial benar- benar menjadi alat untuk menumbuhkan potensi masyarakat agar peduli terhadap lingkungan politiknya. Minimal dapat meningkatkan partisipasi politik secara tulus.

Media sosial dapat menjadi pintu masuk untuk merangsang dan menggiring masyarakat memahami secara utuh pandangan, program, dan target pembangunan di DKI Jakarta dari para calon. Dengan demikian, diharapkan mampu melahirkan pemilih yang rasional, bukan taklid buta tanpa pertimbangan. Oleh sebab itu, sudah saatnya kita berpuasa dari viral-viral kebencian dalam ruang publik media sosial.

Mungkin Nelson Mandela (1995) dalam buku Long Walk to Freedom-nya  benar bahwa tidak ada yang lahir untuk membenci orang lain karena warna kulitnya, latar belakangnya, atau agamanya. Orang harus belajar, dan jika mereka dapat belajar untuk membenci, mereka dapat diajarkan untuk mencintai. Sebab, cinta datang lebih alami ke jantung manusia daripada kebalikannya.

FATHORRAHMAN HASBUL

ALUMNUS ILMU KOMUNIKASI UIN SUNAN KALIJAGA, BEKERJA SEBAGAI PENELITI PADA SINERGI PARTNERSHIP YOGYAKARTA

Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 12 Oktober 2016, di halaman 6 dengan judul "Viral Kebencian di Media Sosial".


Sent from my BlackBerry 10 smartphone on the Telkomsel network.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Powered By Blogger