Cari Blog Ini

Bidvertiser

Kamis, 13 Oktober 2016

Voucer Pangan dan Raskin (M HUSEIN SAWIT)

Mulai 2017 pemerintah akan menerapkan voucer pangan di wilayah perkotaan, tahun berikutnya ke perdesaan, menggantikan program raskin.  Pemerintah sedang menguji coba program VP di 11 kabupaten/kota.

Melalui voucer pangan (VP), pemerintah akan menyuntikkan dana buat rumah tangga miskin sejumlah Rp 110.000 per bulan per rumah tangga. Mereka hanya boleh menukar kupon dengan pangan, di antaranya beras, telur, susu, dan daging. Mereka bebas memilih waktu dan jumlah/kualitas pangan itu pada tingkat harga pasar di toko/warung yang ditunjuk pemerintah. Direncanakan juga dipakai kartu elektronik sehingga hanya dapat dilayani oleh warung/toko yang punya fasilitas penukarannya.   

VP mirip program kupon pangan (food stamps) yang diterapkan di Amerika Serikat sejak 1960. Kupon pangan adalah program bantuan buat keluarga miskin/pengangguran untuk membeli pangan,  dengan mempertimbangkan jumlah keluarga dan pendapatan bersih bulanan. Mereka dapat menukarkan kupon di toko yang ditunjuk, tak boleh mencairkannya, beli alkohol, rokok, atau di luar ketentuan yang ditetapkan.

Secara teoretis, program VP lebih unggul daripada program beras untuk rakyat miskin (raskin), apalagi kalau didukung toko penyalur yang punya infrastruktur penukarannya. Program VP tidak mendistorsi pasar pangan tertentu, rumah tangga miskin dapat membeli pangan dalam jumlah/kualitas yang diinginkan, tercukupi karbohidrat dan protein, tidak perlu menyediakan uang kas untuk menebus.

Program raskin

Saat dirancang pada 1998, program bantuan beras diberi nama operasi pasar khusus (OPK), sebagai respons pemerintah terhadap krisis moneter. Kalau menilik pada namanya,  OPK tak jelas keperuntukannya. Karena itu, pada 2002 nama program diubah menjadi raskin. Dengan nama program yang jelas, diharapkan program ini langsung tertuju ke tujuannya, yaitu rumah tangga miskin, tidak diperebutkan. Namun, setelah nama program ini disingkat menjadi raskin, maknanya hilang.  Masyarakat hanya mengenal raskin sebagai program beras murah pemerintah sehingga masyarakat umum berhak mendapatkannya.

Sebuah penelitian menaksir sekitar 40 persen penduduk yang status sosial ekonomi teratas dan 12,5 persen penduduk kaya menerima raskin. Akibatnya, rata- rata penduduk miskin menerima beras 4-5 kilogram, seharusnya 15 kg. Pengaruh program raskin sebagai mekanisme perlindungan sosial/penanggulangan kemiskinan menjadi rendah. Demikian juga kebutuhan gizi makro rumah tangga miskin jauh dari mencukupi. Padahal, pemerintah telah mengucurkan APBN untuk program ini lebih dari Rp 20 triliun per tahun.

Beban Bulog berat, tak hanya manajemen program di   pusat dan daerah, juga pengadaan dan logistiknya. Saat volume raskin dirancang besar (lebih dari 2 juta ton) per tahun yang harus disalurkan kepada 15,5 juta rumah tangga miskin, Bulog kewalahan dalam pengadaan dan terpaksa ditutupi dari impor. Kalau "dipaksa" harus berasal dari dalam negeri, kualitas beras sering menjadi taruhan, yaitu lebih rendah daripada standar kualitas beras medium. Itu menimbulkan efek berantai: biaya reprosesing naik, komplain kualitas tinggi, efektivitas operasi pasar rendah, salah urus program jadi tinggi.

Pemerintah sangat mengandalkan raskin daripada cadangan beras pemerintah untuk meredam instabilitas harga beras, terutama musim puncak paceklik, November-Januari, dengan menggandakan volume raskin. Demikian juga, harga raskin sangat murah-sekitar 15 persen dari harga pasar-membuat konsumsi beras per kapita sulit ditekan, juga diversifikasi pangan jalan di tempat.

Risiko implementasi

Banyak penulis risau dengan keakuratan data rumah tangga miskin dan tempat penukaran VP, tetapi masih ada sejumlah aspek belum dianalisis. Pertama, harga pangan tinggi, terutama di luar Jawa yang infrastrukturnya relatif buruk dan bukan penghasil pangan. Maka, penerima VP di sana akan memperoleh jumlah pangan yang lebih sedikit sehingga tidak berpengaruh besar pada perbaikan gizi seperti yang dirancang dalam program ini.

Kedua, apabila di toko yang ditunjuk tidak menjual pangan seperti yang diinginkan, misalnya hanya tersedia beras kualitas bagus dengan harga tinggi, atau stok pangan kosong, warga pasti kecewa, harus mencari ke toko lain, terpaksa harus mengeluarkan ongkos tambahan. Bayangkan kalau hal itu kerap terjadi, jangan-jangan toko tersebut akan dirusak massa.

Ketiga, siapa yang mengontrol kalau kepala rumah tangga miskin setelah menebus VP pangan, lalu ditukar dengan rokok/pulsa kepada penadah yang berada di sekitar toko tersebut.

Keempat, kalau nilai VP sama besarnya tanpa memperhitungkan jumlah keluarga, jumlah keluarga kecil akan lebih berdampak pada perbaikan gizi. Sebaliknya, pada jumlah keluarga banyak, misalnya 5 orang atau lebih, disarankan agar nilai VP mempertimbangkan jumlah keluarga.

Keenam, pada saat raskin tidak ada, tugas stabilisasi harga beras sepenuhnya bergantung pada "kekuatan" cadangan beras pemerintah. Kekuatan itu sangat bergantung pada volume dan kualitas cadangan. Dianjurkan volumenya ditingkatkan dengan beras kualitas premium agar lebih ampuh untuk operasi pasar. Penggunaan cadangan beras pemerintah haruslah diperluas, termasuk food for work di wilayah infrastruktur buruk dan disalurkan pada musim puncak paceklik, serta mengelolanya jika kelebihan stok akhir.

M HUSEIN SAWIT

Analis Kebijakan pada Center for Agriculture and People Support (CAPS), Salah Seorang Pendiri House of Rice

Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 13 Oktober 2016, di halaman 6 dengan judul "Voucer Pangan dan Raskin".


Sent from my BlackBerry 10 smartphone on the Telkomsel network.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Powered By Blogger