Cari Blog Ini

Bidvertiser

Jumat, 09 Desember 2016

Pengurangan Risiko Gempa (WAYAN SENGARA)

Kejadian gempa berulang di Aceh, menyusul gempa-gempa besar seperti Aceh tahun 2004, Nias tahun 2005, Yogyakarta tahun 2006, dan Padang tahun 2009. Perhatian kembali perlu ditujukan pada bagaimana mengurangi risiko bencana gempa di Indonesia.

Asosiasi Ahli Rekayasa Kegempaan Indonesia (AARGI) menyelenggarakan Konferensi Internasional Rekayasa dan Mitigasi Bencana Gempa ketiga di Bali awal Agustus 2016. Konferensi ini menghasilkan resolusi oleh perwakilan anggotanya, tentang beberapa pertimbangan untuk pengurangan risiko bencana gempa di Indonesia.

Indonesia terpapar oleh sumber bahaya gempa yang relatif padat. Kejadian dan bencana gempa terus berulang dan telah berlangsung sejak bertahun-tahun. Banyaknya korban jiwa ataupun keruntuhan/kerusakan bangunan/infrastruktur di Indonesia adalah akibat dari kerentanan bangunan/infrastruktur tersebut. Dengan kondisi kerentanan ini, ancaman bencana gempa di Indonesia akan tetap ada di masa depan dan beberapa generasi ke depan.

Penegakan aturan

Kejadian gempa dengan semua karakteristik alamiahnya perlu dipandang bukan sebagai penyebab bencana gempa, melainkan akibat dari elemen-elemen fisik bangunan yang rentan dan rusak/roboh saat getaran gempa yang selanjutnya menyebabkan korban jiwa dan harta.

Kondisi kerentanan ini terjadi akibat dari akumulasi risiko dari kondisi terdahulu sampai saat ini. Kondisi ini akan terus bertambah dengan berjalannya waktu dan pembangunan jikalau suatu rencana pengurangan risiko bencana yang sifatnya holistik, sistematik, dan terintegrasi serta melibatkan seluruh pemangku kepentingan tidak diprogramkan.

Salah satu penyebab akumulasi risiko bencana gempa adalah kurang ketat dan kurang konsistennya penegakan peraturan bangunan, antara lain dalam proses perizinan dan konstruksi bangunan/infrastruktur.

Dengan kondisi bahaya alam, gempa, dan kondisi kerentanan, baik fisik maupun nonfisik, secara umum diperlukan langkah-langkah yang tepat, strategis, dan sistematis di seluruh Indonesia. Hal ini dalam rangka mempertahankan rantai potensi bencana gempa jangan sampai terputus, yakni dari hulu berupa monitoring dan identifikasi sumber-sumber gempa bumi hingga hilir berupa penegakan peraturan untuk keamanan konstruksi bangunan. Semua itu perlu segera dan terus dilaksanakan.

Salah satu bentuk pelaksanaan langkah pengurangan risiko bencana yang utama adalah pengurangan kerentanan konstruksi bangunan/infrastruktur melalui kontrol perizinan sebagai salah satu bentuk perlindungan terhadap masyarakat.

Dari pengamatan terhadap kerusakan bangunan yang dilakukan para ahli teknik gempa pada setiap bencana gempa dalam kurun waktu 25 tahun terakhir, diketahui korban jiwa terjadi akibat runtuhan bangunan dan rumah tinggal yang rentan. Kerentanan disebabkan teknik rancangan dan konstruksi yang tidak memenuhi persyaratan teknis minimum bangunan tahan gempa. Oleh karena itu, kepatuhan terhadap peraturan bangunan tahan gempa untuk konstruksi pada setiap bangunan, termasuk rumah tinggal, seyogianya dikontrol dengan ketat.

Izin mendirikan bangunan (IMB) hanya bisa diberikan dengan kondisi bahwa ketentuan-ketentuan teknis ketahanan bangunan terhadap gempa dipenuhi, sesuai peraturan yang berlaku secara nasional. Dinas bangunan setempat harus secara ketat mengontrol. Tim ahli/penasihat atau pemeriksa bangunan, khususnya untuk gedung, perlu dibentuk oleh pemerintah daerah (provinsi, kota, dan kabupaten) sebagai salah satu komponen terintegrasi dalam proses perizinan bangunan, di seluruh Indonesia yang berpotensi terjadi bencana gempa.

Khusus untuk bangunan rumah tinggal, berbagai manual dan pedoman bangunan rumah tinggal tahan gempa yang sudah ada di Indonesia harus disebarkan kepada seluruh masyarakat Indonesia, pemilik rumah, tukang bangunan, pelaksana konstruksi, pengawas bangunan, dan sebagainya. Hal ini secara terus-menerus perlu dilakukan oleh semua pihak terkait-pemerintah, asosiasi profesi, akademisi, LSM, dan sebagainya-dengan cara yang mudah dipahami dan informasinya harus tersedia serta mudah diakses oleh masyarakat lewat sejumlah media.

Rekayasa kegempaan

Seluruh pemangku kepentingan, termasuk pemerintah, harus melakukan usaha dan tindak nyata lebih banyak terkait upaya-upaya pengurangan risiko bencana gempa. Ini dilakukan antara lain melalui penajaman kurikulum pendidikan rekayasa kegempaan, bangunan tahan gempa, dan manajemen bencana, termasuk pembaruan peta gempa dan peraturan-peraturan bangunan terkait.

Dalam kaitan ini, perlu dilakukan peningkatan pemahaman dan kapasitas pejabat/petugas pemerintah pusat ataupun daerah, termasuk para penentu kebijakan anggaran atas pentingnya upaya-upaya pengurangan risiko bencana, karena banyak kegiatan seperti ini harus dijalankan oleh profesional yang bekerja di pemerintah pusat/daerah, industri, dan pendidikan, atau untuk badan internasional/nasional.

Penyebarluasan pengetahuan rekayasa kegempaan dan mitigasi bencana perlu dilakukan di seluruh Indonesia yang rawan bencana gempa melalui konferensi, seminar, loka karya, kursus singkat, dan pelatihan.

Pendidikan tentang bahaya gempa dan cara-cara mengurangi risikonya perlu disampaikan kepada masyarakat melalui pendidikan kebencanaan di sekolah-sekolah formal sebagai bagian dari kurikulum ataupun melalui upaya pendidikan nonformal, termasuk penyebaran pengetahuan melalui media-media yang mudah dijangkau oleh publik, yaitu koran, radio, televisi, internet, jaringan media sosial, dan sebagainya. Hal ini agar kesadaran mengenai bahaya gempa dan cara-cara mengurangi risikonya terbangun di kalangan masyarakat luas.

Keselamatan bangunan rumah sakit, ibadah, dan pendidikan haruslah merupakan prioritas dan bangunan-bangunan ini harus tetap berfungsi pasca bencana. Khususnya untuk bangunan pendidikan, telah dirumuskan perlunya pendekatan multidisiplin dan kerja sama berkelanjutan dalam mendukung implementasi kerangka strategi keselamatan sekolah (Worldwide Initiative of Safe Schools).

Pengambil keputusan dan praktisi diharapkan saling memperkuat setiap pilar dari kerangka tersebut, terutama melalui kajian keselamatan sekolah yang ekstensif dan pengalokasian dana untuk memperbaiki fasilitas keselamatan sekolah, manajemen bencana di tingkat sekolah, dan pendidikan ketahanan bencana di sekolah tingkat nasional.

Dalam rangka mendukung beberapa resolusi pengurangan risiko bencana AARGI di atas, pemerintah, dunia usaha, dan organisasi terkait dipandang perlu mendanai pelaksanaan penelitian dan pengembangan bidang rekayasa gempa dan mitigasi bencana gempa pada semua pusat-pusat dan institusi penelitian serta perguruan tinggi yang sudah ada saat ini di seluruh Indonesia. Mari bersama mengurangi risiko bencana gempa di Indonesia.

WAYAN SENGARA

Ketua Asosiasi Ahli Rekayasa Kegempaan Indonesia (AARGI); Dewan Direksi International Association for Earthquake Engineering (IAEE); Dosen Teknik Sipil Institut Teknologi Bandung

Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 9 Desember 2016, di halaman 7 dengan judul "Pengurangan Risiko Gempa".


Sent from my BlackBerry 10 smartphone on the Telkomsel network.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Powered By Blogger