Cari Blog Ini

Bidvertiser

Senin, 05 Desember 2016

TAJUK RENCANA: Korupsi dan Politik Dinasti (Kompas)

Operasi tangkap tangan yang dilakukan KPK dan Operasi Saber Pungli yang dicanangkan Presiden Joko Widodo ternyata belum memunculkan efek jera.

Korupsi, suap, masih saja terjadi! Seperti diberitakan harian ini, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menangkap Wali Kota (non-aktif) Cimahi Atty Suharti sebagai tersangka kasus korupsi proyek Pasar Atas Baru senilai Rp 57 miliar. Yang memprihatinkan, mengutip pernyataan Ketua KPK Agus Rahardjo, Atty dikendalikan suaminya, M Itoch Tochija, Wali Kota Cimahi 2002-2012.

Ironis memang! Atty yang sedang cuti kampanye dalam pemilihan wali kota Cimahi tahun 2017 ditangkap KPK. Atty ditangkap bersama suaminya dan dua pengusaha pemberi suap. Mereka ditangkap setelah diketahui ada transfer dana Rp 500 juta ke rekening Itoch, suami Atty.

Budaya korupsi masih belum bisa dienyahkan. Penangkapan keluarga, suami dan istri, atau anak pejabat dalam kasus korupsi bukan kali ini saja. Sebelumnya, KPK menangkap Yan Antonio Ferdian, putra Bupati Banyuasin 2003-2013.

Korupsi sudah menjadi hal biasa dan menjadi bagian dari praktik keseharian. Jika kondisi itu benar, Indonesia akan berada di ambang kehancuran. Sejarah Indonesia kontemporer menunjukkan suami-istri dan anak ikut terlibat untuk menyerahkan uang suap, menerima transfer dana ilegal sebagai praktik korupsi. Ada cerita soal Wali Kota Palembang Romi Herton dan istrinya, Bupati Karawang Ade Swara dan istrinya, dan Muhammad Nazaruddin dan istrinya.

Dalam konteks Pilkada, masuk akal peringatan Ketua KPK agar masyarakat hati-hati memilih pemimpin daerah, apalagi terkait dengan politik dinasti. Politik dinasti, istri menggantikan suami, anak menggantikan ayah, atau famili menggantikan famili lain untuk tetap menjabat, berpotensi melanggengkan budaya atau kebiasaan korupsi. Ini sejalan dengan pepatah Tiongkok kuno, "Segala kebaikan dan keburukan berasal dari rumah".

Pelaku politik dinasti sepertinya menjadikan pengelolaan keuangan daerah seperti keuangan keluarga. Pemerintah dan DPR sebenarnya sudah memotong politik dinasti dalam UU Pemilihan Kepala Daerah. Namun, Mahkamah Konstitusi, dengan semata-mata mempertimbangkan hak asasi orang untuk ikut dalam pemilihan, membatalkan aturan soal politik dinasti.

Berbarengan dengan momentum 101 pilkada pada 15 Februari 2017, kita mendorong kandidat pemimpin daerah mencari terobosan untuk mengurangi korupsi dari negeri ini. Gagasan segar sekaligus radikal dari calon pemimpin daerah diperlukan ketika korupsi justru telah memasuki masa berbahaya, yakni melibatkan keluarga dan famili.

Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 5 Desember 2016, di halaman 6 dengan judul "Korupsi dan Politik Dinasti".


Sent from my BlackBerry 10 smartphone on the Telkomsel network.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Powered By Blogger