Cari Blog Ini

Bidvertiser

Sabtu, 03 Desember 2016

TAJUK RENCANA: Pertaruhan Nama Baik Suu Kyi (Kompas)

Kalau berita yang beredar beberapa hari terakhir ini benar, inilah noda hitam bagi tidak hanya negara, tetapi juga bangsa Myan-mar. Inilah tragedi kemanusiaan.


Menurut berita yang beredar, selama beberapa pekan terakhir, ratusan orang Rohingnya tewas dibunuh di Kyet Yoe Pyin dan Wa Peik, wilayah Rakhine, Myanmar. Kedua desa itu terletak tidak jauh dari perbatasan Myanmar-Banglades. Karena itu, banyak orang yang melintasi perbatasan masuk Banglades, tetapi dipaksa keluar lagi meninggalkan negara itu.

Selain korban tewas, lebih dari 30.000 orang tercerai-berai mencari selamat. Rumah-rumah mereka dihancurkan polisi dan tentara Myanmar. Ratusan perempuan diperkosa dan banyak orang yang ditahan tanpa melalui proses hukum. Kelompok hak-hak asasi manusia mengungkapkan adanya pemerkosaan dan pembunuhan terhadap anak-anak. Sementara, bantuan tidak bisa masuk ke wilayah yang dilanda tragedi kemanusiaan itu.

Tragedi itu bermula setelah terjadi penyerangan pos polisi di perbatasan Myanmar-Banglades pada 9 Oktober silam. Serangan orang-orang bersenjata itu menewaskan sembilan polisi. Militer Myanmar menuding kelompok Rohingnya-lah yang menyerang dan membunuh itu. Berangkat dari asumsi tersebut, militer segera melancarkan operasi besar-besaran, termasuk membakar, membumihanguskan desa.

Jika tragedi tersebut benar sebagaimana diberitakan oleh berbagai media massa, baik cetak maupun elektronik, ini sungguh sebuah tragedi: tragedi kemanusiaan tak terkira. Kita ingat akan tragedi serupa yang terjadi di Bosnia, Darfur, Kosovo, dan juga Rwanda.

Kita berani mengatakan bahwa tragedi tersebut tidak hanya sebuah tamparan, tetapi pukulan sangat keras dan dahsyat terhadap tokoh demokrasi Myanmar, yang juga peraih Hadiah Nobel Perdamaian Aung San Suu Kyi pada tahun 1991. Sangat besar harapan dari dunia dan masyarakat internasional terhadap Suu Kyi, bahwa setelah dia berkuasa akan mampu mengubah wajah Myanmar: menjadi lebih manusiawi, lebih demokratis, lebih toleran.

Akan tetapi, harapan itu sepertinya tinggal harapan. Suu Kyi, yang bersama partai Liga Nasional untuk Demokrasi memenangi pemilu tahun lalu, masih jauh dari harapan dan belum mampu membawa keluar Myanmar dari stigma lama, yakni sebagai negara yang kurang toleran terhadap kaum minoritas. Memang, harus diakui masih ada hambatan, yakni masih kuatnya militer. Menurut Konstitusi Myanmar, menteri dalam negeri, menteri urusan perbatasan, dan menteri pertahanan harus orang militer.

Terlepas dari hambatan itu, Suu Kyi dituntut untuk lebih berani bertindak, berani melangkah untuk menyelamatkan negara dan bangsanya. Nama besar Suu Kyi sebagai peraih Nobel Perdamaian adalah taruhannya.

Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 3 Desember 2016, di halaman 6 dengan judul "Pertaruhan Nama Baik Suu Kyi".

Sent from my BlackBerry 10 smartphone on the Telkomsel network.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Powered By Blogger