Cari Blog Ini

Bidvertiser

Sabtu, 10 Desember 2016

TAJUK RENCANA: Pluralisme, Menghargai Perbedaan (Kompas)

Pernyataan mantan Sekjen PBB Kofi Annan di Forum Demo- krasi Bali tentang pluralisme terasa sangat bermakna, sung- guh-sungguh berarti di saat ini.

Kofi Annan mengatakan, pluralisme adalah sebuah konsep yang tidak saja menghormati perbedaan, tetapi juga menilai dan merayakan perbedaan itu karena hal itu memberi aneka nilai lebih bagi masyarakat secara umum.

Mengapa demikian? Karena arti dasar kata pluralisme sendiri mengandaikan keragaman dan perbedaan. Menghargai perbedaan, bukan memaksakan kesamaan menjadi satu hal yang sangat penting tidak hanya untuk dipahami, tetapi lebih-lebih dilakukan, dihayati sepenuh hati.

Oleh karena pluralisme dalam dirinya terkandung keragaman dan perbedaan, konsep pluralisme adalah sebuah taruhan menghadapi kemungkinan konflik-konflik yang tak terhindarkan. Namun, dengan pluralisme itulah kita tertantang menjadikannya potensi kreatif, bukan serta-merta menghindar, apalagi melenyapkannya dengan alasan ancaman bagi kesatuan.

Bagi kita bangsa Indonesia, pluralisme adalah bagian yang tidak terpisahkan dari eksistensi bangsa ini. Sejak dari semula kita plural, kita heterogen dalam banyak hal. Kita tidak bisa memungkiri kenyataan itu. Hanya saja, ini harus kita akui, anugerah Sang Pencipta yang sungguh indah itu terkadang kita lupakan, bahkan tidak kita syukuri.

Dalam konteks demokrasi, keragaman tak hanya berhenti menjadi fakta pluralitas. Akan tetapi, fakta pluralitas itu ditingkatkan atau barangkali lebih tepatnya dipermuliakan menjadi pluralisme, yakni kesadaran menerima perbedaan, mengakui keragaman secara sadar untuk mencapai tataran kebersamaan lebih baik. Dengan demikian, demokrasi pun memberi tekanan bagi penghargaan pada perbedaan untuk mewujudkan kebersamaan.

Hal tersebut harus terus dipupuk, ditumbuhkembangkan, dan dipelihara. Sebab, kalau tidak, yang akan muncul adalah fanatisme kelompok, golongan, etnis, ras, dan agama. Dan, hasilnya adalah konflik dan kehancuran. Fanatisme merupakan bentuk penolakan terhadap yang berbeda. Hal itu akan menjadi lahan subur bagi para pelaku kekerasan yang tidak merasa bersalah.

Di sini pentingnya etika timbal balik: berbuatlah kepada orang lain sebagaimana Anda ingin orang lain perbuat untuk Anda. Jangan berbuat kepada orang lain yang Anda tak ingin orang lain perbuat kepada Anda.

Etika timbal balik ini amat penting bagi negeri yang plural seperti Indonesia demi kelanggengan bangsa-negara. Banyak negara terjerumus dalam perang saudara, kekerasan, menjadi ladang tumbuh suburnya fanatisme dan radikalisme karena mengabaikan etika timbal balik itu. Maka, muncul tragedi kemanusiaan, seperti di Suriah. Libya, Irak, Nigeria, atau Myanmar. Suatu hal yang sangat tidak kita kehendaki bersama.

Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 10 Desember 2016, di halaman 6 dengan judul "Pluralisme, Menghargai Perbedaan".


Sent from my BlackBerry 10 smartphone on the Telkomsel network.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Powered By Blogger