Cari Blog Ini

Bidvertiser

Rabu, 04 Januari 2017

Ancaman Represi Digital (JOHANES EKA PRIYATMA)

Dalam wujudnya yang paling mutakhir, internet sebagai salah satu bentuk pemanfaatan teknologi digital telah membebaskan kita dari kungkungan ruang dan waktu. Kita dapat melakukan banyak kegiatan di mana pun dan kapan pun sejauh ada koneksi internet.
DIDIE SW

Teknologi digital telah menjadikan kita seperti makhluk halus yang dapat berada di mana- mana meski tak ke mana pun. Kita memperoleh banyak manfaat, terutama meningkatnya efisiensi dan produktivitas. Namun, karena kehebatannya sebagai alat kendali jarak jauh, teknologi digital justru bisa menjadi sarana represi oleh pihak yang punya kekuatan atau kekuasaan.

Represi itu berupa tertindasnya masyarakat oleh sistem berbasis teknologi informasi karena kuatnya sistem itu mengatur, mengendalikan, menetapkan syarat, dan mendefinisikan konsekuensinya. Sementara masyarakat hanya punya pilihan terbatas untuk menegosiasikan posisi dan keadaannya. Represi digital seperti ini kian marak. Jutaan rakyat sulit mendapate-KTP. Ribuan guru tak menerima tunjangan sertifikasi karena kesulitan memperbarui data.

Puluhan siswa SMA gagal diterima di universitas ternama karena kesalahan sistem. Pengelolaan Pangkalan Data Pendidikan Tinggi (PDPT) yang tak disertai hak dan tanggung jawab yang jelas dari pihak yang terlibat sering memunculkan kebingungan ketika terjadi kesalahan perekaman data.

Pelaku represi

Setidaknya ada tiga pihak, yakni pemerintah, pemilik modal, dan pemilik pengetahuan atau pemegang otoritas kebenaran, yang berpotensi melakukan represi digital. Pemerintah punya kekuasaan, pemilik modal memiliki kekuatan menguasai infrastruktur teknologi dan informasi, serta pemilik pengetahuan punya kapasitas atau otoritas mengendalikan kebenaran informasi. Maraknya perang ujaran digital dalam berbagai bentuk akhir-akhir ini hanya dapat berakhir damai jika ketiga pihak ini mengambil tanggung jawab menyelamatkan kepentingan umum, tidak justru memanfaatkannya demi keuntungan finansial atau kekuasaan.

Dari ketiga pihak tersebut, pemerintah adalah pihak paling bertanggung jawab meminimalkan terjadinya represi digital. Sayangnya, kemampuan pemerintah terbatas dalam membangun dan mengelola sistem berbasis teknologi digital ini. Keterbatasan itu mencakup dua hal; (1) ketakmampuan mengelola sistem dengan baik dan (2) kesalahan dalam memahami serta menempatkan esensi sistem informasi digital untuk melayani masyarakat.

Ketidakmampuan pemerintah mengelola sistem informasi digital disebabkan banyak faktor, mulai dari kualitas sumber daya manusia (SDM), kecukupan dana, kesiapan masyarakat, sampai dengan ketersediaan perundang- undangan yang sesuai. Dari banyak faktor tersebut, kualitas SDM menjadi yang paling penting dan menentukan. Karena keterbatasan ini, pemerintah cenderung melakukan pengembangan sistem informasi secara jalan pintas dengan cara "membeli" tanpa terlebih dulu membicarakannya dengan pengguna.

Cara yang ditempuh ini tidak salah, tetapi acapkali menimbulkan masalah karena kesalahan pemerintah memahami esensi sebuah sistem informasi digital. Kesalahan itu adalah memandang sistem informasi sebagai sebuah produk jadi selayaknya alat perkantoran ataupun bangunan. Padahal, keberhasilan sebuah sistem informasi tidak terletak pada ketersediaan teknologi dan perangkat lunaknya semata, tetapi dalam keberhasilan kita menata ulang peran, hak dan tanggung jawab semua pihak yang terlibat.

Penataan ini membutuhkan komitmen, kerja keras, dankomunikasi intensif, serta konsistensi langkah. Dengan kata lain, pemanfaatan teknologi digital yang baik menuntut keseriusan dan komitmen jangka panjang.

Itulah mengapa banyak sekali kegagalan pemerintah di negara berkembang dalam mengembangkan sistem informasi digital yang secara umum disebut e-government. Heek (2004) menemukan bahwa 85 persen proyek e-governmentgagal di negara berkembang. Kegagalan ini harus disesali karena senyatanya rakyat sering lebih membutuhkan breaddaripada bandwidth.

Kegagalan yang sering terjadi berupa pemaksaan penggunaan sistem informasi digital yang tidak disiapkan pemerintah dengan baik. Masyarakat terpaksa mengikuti paksaan tersebut karena posisinya lemah akibat tidak punya pilihan lain serta tidak dapat menghindar. Salah satu sistem yang pernah dipaksakan pemerintah tiga tahun lalu adalah Sistem Informasi Pengevaluasian Kinerja Dosen (SIPKD).

Sistem berbasis internet ini difungsikan untuk merekam seluruh kegiatan tridarma dosen Indonesia secara digital. Sistem ini telah mengharu biru seluruh dosen seantero negeri karena terkait dengan pemberian tunjangan sertifikasi dosen. Karena sistem bermutu sangat rendah, akhirnya macet dan sekarang sudah menjadi "almarhum". Saya tidak tahu berapa juta rupiah telah dihabiskan pemerintah untuk merepresi dosen dan akhirnya mubazir.

Mentalitas melayani

Sistem sejenis sampai saat ini masih mengharu biru semua perguruan tinggi (PT) Indonesia. PDPT adalah sistem berbasis internet untuk merekam semua data PT, mulai dari nama ibu mahasiswa sampai dengan gelar dan pangkat akademik dosen. Sayangnya, sistem ini diluncurkan tanpa kejelasan hak, kewajiban, dan tanggung jawab semua pihak yang terkait. Sistem yang terus berubah dan sering menimbulkan kekacauan data ini terpaksa diikuti secara tak berdaya oleh semua PT Indonesia.

Semua PT tertekan karena data yang terekam dipakai pemerintah untuk mengendalikan PT dalam banyak aspek, mulai dari pemeringkatan hingga pemenuhanstandar, seperti jumlah minimal dosen dan rasio dosen-mahasiswa setiap program studi.

Sebenarnya PT tidak keberatan dengan pemakaian PDPT asalkan sistem itu bermutu baik dan menempatkan PT bukan hanya sebagai pihak yang melayani kepentingan pemerintah, melainkan sebaliknya, sebagai pihak yang dilayani pemerintah. Sistem PDPT sepenuhnya menempatkan PT sebagai pihak yang harus melayani pemerintah. Oleh karena itu, tidak ada kontrak yang mengatur bagaimana data PT itu akan digunakan pemerintah.

Sementara data yang terekam oleh PDPT tak semuanya bersifat publik. PT tidak mempunyai pegangan apa pun apabila ada pihak tertentu menyalahgunakan data. Sebagai prinsip, data nilai mahasiswa bersifat privat dan tidak boleh diketahui pihak lain kecuali atas persetujuan pemilik data.

Situasi sebaliknya terjadi di lingkungan bisnis yang memanfaatkan teknologi digital untuk meningkatkan produktivitas, efisiensi, efektivitas, dan kualitas komunikasi dengan pelanggan. Sistem yang mereka buat berkualitas dan memberikan nilai tambah kepada pelanggan. Lagi pula, pelanggan punya kebebasan dalam menggunakannya. Lembaga bisnis akan merugi karena ditinggalkan pelanggan apabila sistem digital yang digunakan tak bermutu.

Karena pemerintah tak mungkin memakai prinsip demi memperoleh keuntungan finansial dalam menerapkan sistem informasi digital bagi rakyatnya, maka hanya tersedia dua pilihan skenario. Pertama, pemerintah harus mengembangkan mentalitas melayani masyarakat ketimbang mengaturnya.

Pemanfaatan teknologi digital yang luar biasa hebat ini hanya akan memperbaiki keadaan jika pemerintah mendudukkan dirinya lebih sebagai pamong praja ketimbang sebagai pangreh praja. Mentalitaspamong praja akhirnya akan menjadi kunci revolusi mental dalam reformasi birokrasi yang menjadi agenda Presiden Joko Widodo. Masalahnya, bagaimana mengembangkan mentalitas pamong praja ini?

Kedua, rakyat yang baik harus kian memiliki kesadaran dan keberanian mengambil sikap sebagai sumber kekuasaan yang harus dilayani pemerintah. Untuk itu, rakyat harus terus meningkatkan posisi tawarnya terhadap pemerintah. Rakyat minimal harus terus bersuara terhadap ancaman terjadinya represi digital. Tulisan ini saya buat dalam rangka menjadi rakyat yang baik itu.

JOHANES EKA PRIYATMA, DOSEN INFORMATIKA DAN REKTOR UNIVERSITAS SANATA DHARMA YOGYAKARTA

Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 4 Januari 2017, di halaman 7 dengan judul "Ancaman Represi Digital".

Sent from my BlackBerry 10 smartphone on the Telkomsel network.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Powered By Blogger