Cari Blog Ini

Bidvertiser

Selasa, 10 Januari 2017

Pemerataan Pendidikan Bermutu (ELIN DRIANA)

Keunggulan (excellence) dan pemerataan (equity) kerap dipandang sebagai dua hal yang bertentangan, tetapi tidak mustahil untuk diraih secara bersamaan. Laporan-laporan siklus tiga tahunan Programme in International Student Assessment atau PISA secara konsisten menegaskan bahwa sistem pendidikan di dunia dengan capaian terbaik adalah yang dapat memberikan kesempatan yang adil bagi semua siswa tanpa memandang jenis kelamin, latar belakang keluarga, ataupun status sosial ekonomi untuk mendapatkan pendidikan yang bermutu tinggi.  

Laporan PISA 2015  bertema "Excellence and Equity in Education" yang telah dirilis pada 6 Desember 2016 menunjukkan bahwa keunggulan dan pemerataan dapat diperjuangkan secara bersamaan seperti dicontohkan oleh Denmark, Kanada, Estonia, Hongkong, dan Makao. Hasil PISA 2015 memang menggambarkan peningkatan capaian siswa Indonesia usia 15 tahun yang cukup berarti dalam sains dan matematika dibandingkan tahun 2012. Skor rata-rata siswa Indonesia pada PISA 2015 untuk sains, membaca, dan matematika berturut-turut adalah 403, 397, dan 386.

Adapun skor rata-rata untuk sains, membaca, dan matematika pada 2012 berturut-turut adalah 382, 396, dan 375. Meskipun demikian, skor rata-rata tersebut masih di bawah negara-negara ASEAN yang berpartisipasi dalam PISA, yaitu Singapura, Vietnam, dan Thailand, serta masih berada di kelompok terbawah.

Kesenjangan berdasarkan faktor sosial ekonomi

Meskipun capaian siswa Indonesia dalam sains dan matematika berdasarkan hasil PISA 2015 menunjukkan peningkatan dibandingkan PISA 2012, ternyata faktor sosial ekonomi masih menjadi salah satu penghambat siswa untuk mencapai potensi maksimal mereka, bahkan cenderung menguat.

Sebagai contoh, untuk sains, skor rata-rata siswa yang berasal dari kuartil status sosial ekonomi terendah hingga tertinggi berturut-turut 378, 393, 403, dan 438. Perbedaan antara skor rata-rata antara siswa dari kelompok dengan status sosial ekonomi terendah dan tertinggi mencapai 60 poin. Meskipun terdapat perkecualian-perkecualian, secara umum, skor rata-rata siswa dari keluarga yang lebih berada cenderung lebih tinggi dibandingkan skor rata-rata siswa dari keluarga yang kurang beruntung.

Adapun siswa yang tidak mencapai Level 2 berdasarkan status sosial ekonomi terendah hingga tertinggi berturut-turut 71,1 persen, 61,9 persen, 54,4 persen, dan 36,2 persen. Persentase siswa dari kelompok status sosial ekonomi terendah yang tidak mencapai Level 2 dua kali lipat dibandingkan siswa dari kelompok status sosial ekonomi tertinggi. 

Level 2 ini dipandang sebagai kemampuan dasar dalam mengaplikasikan pengetahuan dan kecakapan yang dimiliki siswa usia 15 tahun dalam sains, membaca, ataupun matematika untuk menyelesaikan masalah-masalah keseharian. Dengan demikian, semakin rendah status sosial ekonomi, semakin tinggi peluang siswa tak mencapai level kecakapan dasar tersebut.

Temuan PISA 2015 ternyata sejalan dengan hasil analisis yang dilakukan Anindito Aditomo dan Ide Bagus Siaputra (2016), peneliti dari Universitas Surabaya, terhadap hasil ujian nasional (UN) siswa SMA dan SMK tahun 2016 yang mengonfirmasi keterkaitan antara capaian siswa dan status sosial ekonomi siswa yang diwakili oleh tingkat pendidikan orangtua dan jenis pekerjaan orangtua.

Secara umum, semakin tinggi tingkat pendidikan dan pekerjaan orangtua, rata-rata nilai UN yang diperoleh siswa cenderung semakin tinggi. Perbedaan nilai rata-rata UN berdasarkan tingkat pendidikan dan pekerjaan orangtua tampak semakin lebar pada  mata pelajaran Matematika dan Bahasa Inggris. Sebagai contoh, perbedaan nilai Matematika siswa  yang ibunya tidak bersekolah/tidak tamat SD dan yang ibunya lulus sarjana atau pascasarjana mencapai 17 poin.

Para peneliti di bidang pendidikan telah mengemukakan beragam teori untuk menjelaskan kesenjangan capaian siswa yang terkait dengan status sosial ekonomi mereka. Linda Darling-Hammond (2010), misalnya, menyatakan bahwa kesenjangan capaian akademis terkait dengan kesenjangan kesempatan (opportunity gap) yang kerap menghambat anak-anak dari keluarga kurang mampu untuk memaksimalkan potensi mereka.  

Siswa dari keluarga kurang mampu biasanya tak seberuntung siswa dari keluarga yang lebih berada dalam perolehan pengalaman-pengalaman belajar yang lebih kaya sejak usia dini, termasuk melalui beragam fasilitas pendidikan yang dimiliki dan dalam mengakses faktor-faktor pendukung lain, seperti pemenuhan gizi yang lebih baik sejak dalam kandungan. Sementara, T Anthony Walker (2016) mengungkapkan, kesenjangan capaian akademis berakar dari hal yang lebih mendasar, yaitu kesenjangan harapan (expectation gap). Kesenjangan harapan didefinisikan sebagai kesenjangan antara apa yang dibutuhkan individu atau kelompok demi tercapainya tujuan suatu kebijakan dan realisasi upaya-upaya memfasilitasi perubahan struktural yang dibutuhkan guna melakukan perbaikan-perbaikan.

Akuntabilitas pendidikan berdasarkan hasil-hasil tes dilandasasi oleh asumsi bahwa dengan menetapkan standar tertentu yang capaiannya diukur melalui tes terstandar akan memicu para pelaku di bidang pendidikan untuk meningkatkan kinerja mereka. Akan tetapi, kajian-kajian empiris menunjukkan bahwa pemenuhan unsur-unsur yang dibutuhkan untuk meningkatkan kinerja tersebut berjalan sangat lambat dibandingkan rutinitas pengukuran pendidikan.

Di Indonesia, ketertinggalan capaian siswa dari keluarga kurang mampu dibandingkan rekan mereka dari keluarga lebih mampu, baik dari hasil penilaian internasional, seperti PISA, maupun UN, mengindikasikan bahwa kebijakan-kebijakan yang diarahkan untuk mengatasi hambatan-hambatan terkait status sosial ekonomi siswa yang berpengaruh terhadap capaian siswa masih belum memadai. Satuan pendidikan sebenarnya berpotensi mengatasi hambatan-hambatan terkait latar belakang keluarga siswa.

Akan tetapi, mutu satuan pendidikan, termasuk mutu guru, mutu pembelajaran, dan berbagai fasilitas penunjang pembelajaran pun masih sangat beragam sehingga siswa dari keluarga yang kurang mampu ini belum tentu mendapatkan akses pendidikan yang bermutu.

Tindak lanjut

Sekurang-kurangnya, ada tiga hal mendasar yang sepatutnya segera dilakukan oleh pemerintah pusat dan daerah untuk pemerataan mutu pendidikan di Tanah Air. Pertama, mengevaluasi efektivitas kebijakan-kebijakan yang ditujukan pada kelompok masyarakat dan satuan pendidikan yang lebih membutuhkan agar kondisi sosial ekonomi siswa dan satuan pendidikan tidak lagi menjadi faktor dominan yang menghalangi peluang anak-anak dari kelompok ekonomi tersebut untuk memaksimalkan potensi mereka. Bantuan finansial yang diberikan pada satuan pendidikan selayaknya mempertimbangkan juga kondisi satuan pendidikan tersebut.

Kedua, meninjau sistem pendidikan nasional secara menyeluruh sebagaimana  perintah yang tercantum pada putusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat atas gugatan 58 warga negara terkait UN yang telah dikuatkan oleh penolakan Mahkamah Agung atas kasasi yang diajukan pemerintah. Hasil penilaian internasional yang telah diikuti siswa-siswa Indonesia dalam kurun waktu lebih dari satu dasawarsa ini secara umum menunjukkan bahwa siswa-siswa Indonesia masih lemah dalam penguasaan kecakapan berpikir tingkat tinggi yang amat dibutuhkan dalam menghadapi tantangan masa depan yang semakin kompleks.

Ketiga, dalam jangka pendek, pemerintah selayaknya melakukan moratorium UN untuk memberikan kesempatan pada upaya-upaya untuk membenahi masalah-masalah pendidikan yang sesungguhnya telah teridentifikasi melalui berbagai instrumen. Data yang diperoleh dari berbagai penilaian, seperti PISA dan UN, yang telah dikumpulkan dalam waktu lebih dari satu dasawarsa, sudah lebih dari cukup untuk menggambarkan kondisi pendidikan di Indonesia. Meskipun tidak ada UN, pemetaan mutu pendidikan tetap dapat dilakukan dengan menggunakan instrumen lain, seperti Indonesian National Assessment Program (INAP).

Kini saatnya menagih komitmen pemerintah pusat dan pemerintah daerah untuk memenuhi kewajiban mereka untuk "memberikan layanan dan kemudahan serta menjamin terselenggaranya pendidikan yang bermutu bagi setiap warga negara tanpa diskriminasi" sebagaimana  diamanahkan Pasal 11 Ayat (1) UU Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas) 2003.

ELIN DRIANA

Dosen Program Sekolah Pascasarjana Universitas Muhammadiyah Prof Dr Hamka, Jakarta

Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 10 Januari 2017, di halaman 6 dengan judul "Pemerataan Pendidikan Bermutu".


Sent from my BlackBerry 10 smartphone on the Telkomsel network.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Powered By Blogger