Cari Blog Ini

Bidvertiser

Selasa, 03 Januari 2017

TAJUK RENCANA: 2017 dan 100 Tahun ke Depan (Kompas)

Marilah kita menerawang masa depan mumpung kita belum terjebak rutinitas. Buku George Friedman, "The Next 100 Years" (2009), bisa menjadi rujukan.

Di sampulnya kita bisa melihat sejumlah ramalan, misalnya tentang retaknya Tiongkok tahun 2020, perang global antara Amerika Serikat, Turki, Polandia, dan Jepang lawan kuasa besar baru pada 2050, lalu munculnya energi yang dipancarkan dari ruang angkasa tahun 2080, serta munculnya tantangan Meksiko terhadap AS tahun 2100.

Kita bisa bilang tesis tokoh pendiri lembaga kajian Stratfor ini mengada-ada. Namun, kita garis bawahi komentarNewsweek: memang ada hal-hal yang tak diharapkan terjadi. Konon, Friedman bisa melihat (menerawang) tanpa (bantuan) bola kristal.

Pada awal tahun kita sengaja ingin mengajak pembaca terbang tinggi, keluar dari kesuntukan akibat rentetan peristiwa menjelang akhir tahun. Menurut James Canton, CEO dan Chairman Institute for Global Futures, masa depan yang ada adalah masa depan ekstrem. Masa itu tidak usah menunggu 100 tahun seperti ditulis Friedman, tetapi cukup 20 tahun. Di antara 10 tren yang diamati Canton yang baik kita catat: merebaknya ekonomi inovasi, munculnya iklim baru, benturan peradaban akibat globalisasi, perang tak terlihat, dan menguatnya energi baru.

Kurun 20 tahun ke depan, kita sendiri tengah menyongsong seabad Indonesia. Jika ada kearifan bahwa masa kini dibentuk oleh masa lalu, niscaya wajah Indonesia tahun 2045 juga dipahat oleh apa yang dilakukan bangsa Indonesia tahun-tahun sebelumnya, termasuk sekarang.

Dengan segala hormat dan penghargaan kepada para pemimpin, elite dan politikus, ekonom, serta rohaniwan, kita dihinggapi perasaan mendua saat menimbang klaim keberhasilan pembangunan negara ini. Mereka mungkin telah bekerja keras, kita bisa berkomentar, hasilnya belum mencukupi dibandingkan dengan tantangan yang ada.

Jika kita membaca buku Why Nations Fail(karya Acemoglu dan Robinson, 2012), hal itu bukan karena kita pesimistis, tetapi justru untuk belajar bagaimana memahami soal kekuasaan, kemakmuran, dan kemiskinan.

Banyak bangsa lain di kawasan yang sudah terbang tinggi, meninggalkan kita. Perbaikan taraf hidup rakyat, menyediakan lapangan kerja, memperbaiki perekonomian, memajukan ilmu pengetahuan dan teknologi, memperkuat pertahanan, serta meningkatkan harmoni kehidupan berbangsa harus terus-menerus kita prioritaskan.

Dalam kondisi banyak pekerjaan rumah inilah kita menatap masa depan. Kita tidak punya waktu untuk hal-hal kontraproduktif. Para pemimpin tidak boleh lengah untuk membiarkan isu nonprioritas menyeret kita pada kemandekan. Kelengahan hanya memperbesar peluang Indonesia menjadi negara yang kalau tidak gagal, tak kunjung maju.

Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 3 Januari 2017, di halaman 6 dengan judul "2017 dan 100 Tahun ke Depan".

Sent from my BlackBerry 10 smartphone on the Telkomsel network.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Powered By Blogger