Cari Blog Ini

Bidvertiser

Senin, 09 Januari 2017

TAJUK RENCANA: Manajemen Komunikasi (Kompas)

Sudah 27 bulan Presiden Joko Widodo dan Wakil Presiden Jusuf Kalla menjadi Kepala Pemerintahan dan Kepala Negara Republik Indonesia.

Presiden Jokowi juga telah menggunakan kuasanya untuk merombak Kabinet Kerja. Dua kali Kabinet Kerja dirombak. Namun sayangnya, perombakan kabinet belum otomatis memperbaiki koordinasi dan manajemen komunikasi antarmenteri. Proses pengambilan kebijakan publik kadang bermasalah. Akibatnya, masyarakat bingung atau dibuat bingung. Jika kondisi ini terus terjadi, bisa mengganggu kewibawaan pemerintah dan Presiden.

Contoh terbaru adalah buruknya komunikasi soal Peraturan Pemerintah Nomor 60 Tahun 2016 tentang Jenis dan Tarif Penerimaan Negara Bukan Pajak. Setelah menimbulkan kegaduhan di media sosial ataupun media utama, para menteri justru memberikan keterangan berbeda, tidak menjelaskan duduk persoalan. Presiden Jokowi meminta agar kenaikan biaya STNK tak terlalu memberatkan rakyat. Polemik itu sedikit mereda setelah Wapres Jusuf Kalla mengatakan, "Begitu sudah ditandatangani, ya berlaku. Tidak berarti harus ditarik lagi," kata Kalla.

PP No 60/2016 adalah produk hukum. Produk hukum adalah teks. Masalahnya, pemerintah membiarkan teks itu ditafsirkan penafsir sesuai dengan kepentingannya. Kenaikan biaya perpanjangan STNK ditafsirkan sebagai kenaikan pajak. Muncul penafsiran, karena yang naik adalah pajak, maka harus izin DPR. Gaduhlah media sosial. Kewibawaan pemerintah tergerus.

Di sinilah kelemahan manajemen komunikasi pemerintahan Presiden Jokowi-Wapres Jusuf Kalla. Pertama, deliberasi antarmenteri soal proses pengambilan kebijakan publik. Manajemen risiko sepertinya diabaikan. Kedua, bagaimana kebijakan publik itu dikomunikasikan lengkap dengan konteksnya. Pemerintah abai dalam memberikan konteks atas suatu rencana kebijakan pemerintah, termasuk soal PP No 60/2016. Pemerintah perlu pemahaman di era demokrasi bicara (talking democracy) dengan senjata utama media sosial, jangan pernah pemerintah melepaskan teks tanpa konteks. Jangan pernah membiarkan teks ditafsirkan penafsir yang punya kepentingan politik berbeda dengan pemerintah.

Berangkat dari kenyataan itu, saatnya Presiden Jokowi menunjuk juru bicara pemerintah yang otoritatif, yang kredibel, yang mampu menjelaskan semua kebijakan publik pemerintah secara runtut, jelas, dan tetap dalam konteksnya. Namun, di sisi lain, pemerintah dan juga Presiden Jokowi jangan terlalu sering memproduksi gagasan yang belum matang, yang hanya menimbulkan kegaduhan di masyarakat. Perjalanan pemerintahan masih panjang dan kelemahan itu harus segera dibenahi.

Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 9 Januari 2017, di halaman 6 dengan judul "Manajemen Komunikasi".

Sent from my BlackBerry 10 smartphone on the Telkomsel network.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Powered By Blogger