Cari Blog Ini

Bidvertiser

Selasa, 10 Januari 2017

TAJUK RENCANA: Perang Informasi dan Pengaruh (Kompas)

Sepuluh hari menjelang pelantikan presiden terpilih Donald Trump, media AS gencar mengabarkan campur tangan Rusia dalam pemilihan presiden.

Menurut laporan badan intelijen AS—dalam hal ini CIA, FBI, dan Badan Keamanan Nasional—bentuk intervensi Rusia dalam pemilihan presiden AS merupakan satu dari kampanye propaganda gaya lama Soviet. Hanya saja, menurut harian The New York Times(9/1), aksi itu menjadi jauh lebih kuat dengan dukungan teknologi era digital.

Dengan teknologi digital, surat elektronik pribadi bisa diserobot, lalu propaganda yang disalurkan melalui internet bisa menjangkau sebagian besar rumah warga AS. Pada sisi lain, media sosial bisa digunakan untuk menyampaikan hal-hal baru dan menjelek-jelekkan lawan.

Menurut laporan yang disiarkan Jumat pekan lalu, aksi-aksi tersebut merupakan bagian dari perang informasi yang melibatkan tidak hanya peretas tersembunyi, atau situs internet yang muncul tiba-tiba, tetapi juga melibatkan kantor berita yang lebih konvensional. Intervensi yang dilakukan untuk merusak citra Hillary Clinton dan mengangkat citra Donald Trump sudah disiapkan sejak lama.

Biarlah itu menjadi perdebatan panas antara AS dan Rusia yang sempat diwarnai dengan pengusiran 35 diplomat Rusia yang diduga terlibat dalam aktivitas intelijen. Kita angkat isu ini untuk menggarisbawahi maraknya perang informasi, atau lebih spesifik lagi perang siber, di era digital. Inilah tipe perang mutakhir yang muncul sebagai buah kemajuan teknologi informasi dan komunikasi.

Dengan internet dan gawai, masyarakat dunia dimudahkan dalam mendapatkan informasi dan menyelesaikan urusan lain, seperti perbankan dan komunikasi. Namun, seiring dengan kemudahan itu, terbuka kemungkinan melakukan pelbagai aksi kejahatan dan laku tak terpuji. Sudah sering kita mendengar berita penipuan, dan terakhir maraknya ujaran kebencian, yang disebarluaskan melalui kanal media baru ini.

Dampak perang informasi bisa sangat dahsyat. Bisa jadi tidak ada peluru yang ditembakkan, atau gedung yang hancur, tetapi ekonomi bisa lumpuh, misalnya kacaunya sistem keuangan, atau pasokan listrik terganggu. Rusia juga diberitakan pernah melakukan serangan siber terhadap Estonia pada tahun 2007 yang melumpuhkan beragam sektor dan fasilitas umum karena melanda perbankan, parlemen, kementerian, dan media.

Menghadapi era peperangan baru ini, kita juga mendengar Indonesia mulai membangun sistem pertahanan siber karena kita pun sudah mengalami sejumlah serangan saat terjadi perselisihan dengan negara lain.

Hari-hari ini, wacana kita melingkar di sekitar pemantauan situs berisi ujaran kebencian dan penyebaran radikalisme. Namun, kita jangan kendur membangun sistem pertahanan siber, sebagai bagian dari sistem pertahanan perang informasi dan perebutan pengaruh.

Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 10 Januari 2017, di halaman 6 dengan judul "Perang Informasi dan Pengaruh".

Sent from my BlackBerry 10 smartphone on the Telkomsel network.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Powered By Blogger