Cari Blog Ini

Bidvertiser

Rabu, 15 Februari 2017

Air dan Sumber Daya Air (GUNAWAN)

Rancangan UU Sumber Daya Air diagendakan masuk program legislasi nasional. Meski naskah akademiknya disusun oleh pemerintah, RUU ini akan menjadi inisiatif DPR (Kompas, 31/1).

RUU Sumber Daya Air disusun setelah Mahkamah Konstitusi memutuskan Undang-Undang No 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air bertentangan dengan UUD 1945. Guna mencegah kekosongan hukum, MK memutuskan berlakunya kembali UU No 11/1974 tentang Pengairan.

Di satu sisi upaya pemerintah untuk segera menyusun produk hukum baru sudah tepat karena UU Pengairan tidak mengatur tentang penghormatan, perlindungan dan pemenuhan hak rakyat atas air, serta tidak mengatur prinsip pembatasan pengusahaan air.  Namun, di sisi lain, apakah tepat mempergunakan lagi istilah sumber daya air sebagai nama UU? Hal ini mengingat air tidak hanya persoalan sumber daya yang diperebutkan sehingga perlu diatur, untuk kemudian justru membuka peluang terjadinya privatisasi dan komersialisasi air sebagaimana yang sudah terjadi.  

Semesta air

UUD 1945 ataupun UU No 5/1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria memilih kata air, yang dirangkai dengan frasa penguasaan negara dan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat. Hal tersebut menunjukkan bahwa penguasaan negara atas air adalah untuk melindungi tujuan "untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat".

Penguasaan negara atas bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya, oleh MK dalam beberapa putusan pengujian UU terhadap UUD 1945-di antaranya UU No 20/2002 tentang Ketenagalistrikan, UU No 22/2001 tentang Minyak dan Gas, serta UU No 25/2007 tentang Penanaman Modal-dinyatakan: (1) sebagai kepemilikan publik oleh rakyat secara kolektif; (2) sebagai mandat rakyat secara kolektif kepada negara; dan (3) untuk melindungi kemakmuran rakyat.

Hukum HAM juga memilih menggunakan kata air. Memang di dalam Kovenan Internasional Hak-hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya secara tersurat tidak muncul kata air. Yang ada adalah frasa reforming agrarian system sebagai cara pemenuhan hak atas kehidupan yang layak dan hak untuk terbebas dari kelaparan.

Namun, hal itu dapat dijelaskan dengan, pertama, bahan pangan dan membebaskan manusia dari kelaparan pasti terkait dengan air minum dan pengairan. Kedua, frasa pembaruan sistem agraria (reforming agrarian system) juga tidak bisa hanya dimengerti sebagai pertanahan (permukaan bumi), melainkan pembaruan struktur penguasaan dan penggunaan sumber-sumber agraria, yaitu tanah, air, dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya.

Baru di dalam General Comment (Komentar Umum), yang merupakan penjelasan otoritatif atas kovenan tersebut,  kata air muncul. Di dalamKomentar Umum No 14: Hak atas Standar Kesehatan Tertinggi yang dapat Dijangkau menyebutkan bahwa pemenuhan hak kesehatan terkait dengan akses terhadap air minum yang sehat.

Merujuk pada Kovenan Internasional Hak-hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya beserta Komentar Umum, maka hak atas air meliputi: hak atas standar kehidupan yang layak; hak untuk bebas dari kelaparan; hak atas peningkatan produksi pangan; hak atas konservasi pangan, pembaruan agraria; hak atas kesehatan; hak atas air minum yang sehat; hak atas sanitasi yang sehat; hak atas kondisi kerja yang sehat; dan hak atas lingkungan hidup yang sehat.

Di luar aspek yuridis, penggunaan frasa sumber daya air mempersempit makna air itu sendiri karena menitikberatkan hanya pada persoalan sumber dayanya yang membuka peluang komersialisasi air. Padahal, dalam kenyataannya, selain air, ada sumber-sumber air, kekayaan alam yang terkandung di dalam air, siklus air, perairan, pengairan, air minum, air bersih, sanitasi, kedaulatan rakyat atas air, hak warga negara atas air (air sebagai HAM) dan hak menguasai negara atas air guna sebesar-besar kemakmuran rakyat.

Artinya, semesta air ini harus menjadi perhatian dalam rencana pembangunan, rencana tata ruang/wilayah, rencana-rencana peruntukan sumber-sumber agraria, dan upaya-upaya menjaga kelestarian lingkungan hidup.

Harus jelas bagaimana menghitung kebutuhan air minum dan pengairan pertanian rakyat. Harus tegas bagaimana melindungi akses langsung rakyat pada air dan bagaimana melindungi hak warga negara yang tidak bisa mengakses langsung air sehingga memerlukan pembangunan jaringan oleh negara serta pembatasan terhadap pengusahaan air dalam rangka bisnis.

Dan, tentu saja, harus berkeadilan sosial dalam membagi peran antara komunitas masyarakat, koperasi, badan usaha milik desa (BUMDes), BUMD, BUMN, dan badan usaha swasta dalam pengelolaan air.

Pembahasan

Dalam pembahasannya, DPR tentu saja tidak bisa hanya menunggu pemerintah menyusun RUU. Memang DPR senantiasa menyelenggarakan rapat dengar pendapat umum (RDPU) dengan berbagai pemangku kepentingan dalam membahas sebuah RUU. Namun, harus jelas substansi apa yang perlu DPR peroleh.

Pertama, memastikan bahwa tidak bertentangan dengan putusan MK dalam pengujian UU No 7/2004 tentang Sumber Daya Air. Kedua, DPR harus mendapatkan informasi apa pelanggaran hak atas air rakyat Indonesia akibat pelaksanaan UU No 7/2004 tentang Sumber Daya Air dan aturan turunannya. Ketiga, DPR harus mendapatkan informasi apa sesungguhnya permasalahan air di Indonesia, penyebab, dan solusinya.

Dan, tak kalah pentingnya adalah bagaimana permasalahan air dilihat dari visi negara maritim. Sebagai bangsa maritim, seharusnya Indonesia adalah bangsa yang memiliki penghidupan dan kehidupan dari air. Bukan malah air sebagai sumber bencana.

Sebagai negara maritim yang berupa kepulauan dan berciri nusantara, sudah seharusnya ada keselarasan antara rakyat, tanah, dan air sebagai kesatuan yang telah membentuk negara dan bangsa Indonesia.

GUNAWAN

PENASIHAT SENIOR DI INDONESIAN HUMAN RIGHTS COMMITTEE FOR SOCIAL JUSTICE  (IHCS) DAN ANGGOTA KELOMPOK KERJA KHUSUS DEWAN KETAHANAN PANGAN

Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 15 Februari 2017, di halaman 7 dengan judul "Air dan Sumber Daya Air".

Sent from my BlackBerry 10 smartphone on the Telkomsel network.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Powered By Blogger