Cari Blog Ini

Bidvertiser

Selasa, 07 Februari 2017

Intoleransi dan Kebinekaan Jelang Pilkada (ZULY QODIR)

Krisis terjadi ketika orang beragama semakin egoistis dan sektarian. Egoistis membuat orang beragama enggan menghargai liyan. Sektarian membutakan orang beragama melihat kebajikan di tempat lain. Jika hal ini terjadi bersamaan, kehancuran kehidupan beragama telah di depan mata.

Pertanyaannya, akankah negeri ini dibawa pada jurang kehancuran karena orang beragama semakin egoistis dan sektarian? Jika kita tidak segera siuman, bukan tidak mungkin kekerasan dan pembunuhan seperti di Suriah akan menular ke Indonesia. Tapak-tapak publik tentang rahmatan lil alamin dari agama-agama akan menjadi puing-puing arkaik tak bermakna.

Sungguh kondisi semacam itu mengerikan. Oleh sebab itu, hal tersebut tak boleh terjadi. Indonesia harus kita jaga menjadi negeri yang saling menjaga, menghargai, dan memajukan semua umat beragama, apa pun agamanya. Hal ini sesuai dengan amanat undang-undang bahwa kebebasan untuk menganut keyakinan, agama, dan kepercayaan dilindungi secara sah oleh konstitusi kita.

Mengapa dalam realitas sosial keagamaan kita ada sekelompok orang beragama yang tampak enggan menyebarkan dan mempraktikkan sikap menghargai, menghormati, serta memanusiakan liyan yang berbeda agama, keyakinan, dan kepercayaan? Bukankah ini bertentangan dengan konstitusi kita?

Benih intoleransi

Benih-benih intoleransi disinyalir karena masuk dan bercampurnya kepentingan politik melalui ruang privat agama-agama. Agama yang mengajarkan kemuliaan, keramahan, kerja sama, saling menghargai, saling menghormati, karena dirasuki kepentingan politik kelompok yang sifatnya sering jangka pendek, alhasil menjadikan orang beragama-beriman menjadi "buta" akan kebajikan dari agama-agama.

Agama seakan makin bermanfaat jika mampu digiring untuk menghina orang yang berbeda keyakinan. Seakan jika kita beragama, akan semakin mantap ketika dengan mudah menghukum orang lain yang berbeda paham dengan kita dengan sebutan peyoratif seperti kafir, sesat, atau ungkapan peyoratif lainnya.

Politik yang pada mulanya merupakan aktivitas manusia, hubungannya dengan manusia lain, bermasyarakat, bernegara, menegosiasikan kepentingan, mengelola keragaman, serta mengelola kepentingan untuk kepentingan bersama kemudian menjadi ajang saling "membunuh" satu sama lain karena perbedaan kepentingan sesaat.

Gejala itulah yang paling kelihatan dalam setahun terakhir di negeri multisuku, agama, ras, dan antargolongan (SARA). SARA tidak lagi dilihat sebagai kekuatan bersama membangun negeri. SARA tak lagi dipandang sebagai kekayaan bangsa. SARA kini cenderung dilihat sebagai bagian dari akar kekerasan dan kebencian.

Oleh sebab itu, agaknya perlu secara dewasa, arif, dan mendalam kita dialogkan kembali apa sebenarnya dan untuk apa SARA itu perlu dihargai di negeri ini. Ditambah lagi ketika peristiwa politik segera digelar, yakni pemilihan kepala daerah (pilkada) serentak 2017, situasi tentang kebencian SARA tampak di depan mata tanpa tedeng aling-aling.

Politik SARA tampaknya perlu menjadi perhatian banyak pihak karena ada kelompok yang memaknai SARA adalah sarangnya kekacauan dan sentimen kebencian. Hal ini tidak boleh terjadi berlarut-berkelindan dengan kepentingan politik sesaat. Energi kita akan habis ketika SARA sebagai kekuatan bangsa ini kemudian hanya dijadikan sandera kepentingan politik sesaat. Jika terus terjadi, keragaman SARA akan berubah seperti pada era Orde Baru di bawah kekuasaan yang otoriter dan birokratik. Sungguh kita kembali pada masa yang paling tidak menyenangkan tentang SARA sebagai bagian dari sejarah bangsa ini.

Menjaga kebinekaan

Ibu kandung kita Indonesia adalah keragaman SARA. Oleh sebab itu, kewajiban kita semua untuk menjaga keragamannya. Kita tidak bisa mengaku menjaga keberlangsungan keragaman SARA, tetapi perilaku politik kita, perilaku keagamaan kita, terus- menerus menebarkan kebencian kepada orang yang berbeda dengan kita. Kita tidak bisa menjadikan SARA sebagai bagian dari denyut nadi Indonesia ketika menganggap yang berbeda adalah liyan yang posisinya berada di bawah kita.

Di beberapa negara seperti Suriah, Sudan, Maroko, Aljazair, Irlandia Utara, bahkan India dan Pakistan, konflik kekerasan terus terjadi karena orang yang berbeda terus dianggap sebagai liyan. Orang yang berbeda keyakinan, pandangan politik, serta suku dianggap kurang memiliki hak untuk hidup di sana. Hal yang terjadi kemudian adalah penundukan, perlakuan diskriminatif, pengusiran, bahkan pembunuhan antarwarga negara.

Indonesia jelas bukan negara yang saya sebutkan tersebut. Namun, belakangan, semarak meniru kondisi di negara lain semakin menguat, sekalipun masih pada media sosial, tetapi jika kita teliti dari media sosial, kita akan miris memperhatikannya. Jika tidak sabar dan mampu mengontrol kekuatan akal sehat dan nurani, bukan tidak mungkin akan memengaruhi pikiran dan perilaku kita kelak di kemudian hari.

Menjaga kebinekaan, oleh sebab itu, harus menjadi tanggung jawab kita bersama. Para pemimpin agama, politisi, aktivis demokrasi, pejuang HAM, ulama, pendeta, pastor, jurnalis, serta aktivis sosial lainnya harus bersama-sama memiliki komitmen untuk menjaga kebinekaan kita.

Media sosial memang penting diperhatikan menjadi bagian dari realitas sosial kita saat ini sebab sebagian dari kita hidupnya dikelilingi setiap detik oleh media sosial. Kita hampir dipastikan tidak bisa menghindarkan diri dari media sosial yang tampak semakin liar. Kita selalu mendapatkan informasi yang sangat bervariasi, provokatif, menebar kebencian, menghardik orang lain serta semangat ketidakpercayaan kepada negara dan aparatnya.

Oleh sebab itu, semangat menjaga kebersamaan sebagai satu bangsa yang beragam SARA harus menjadi komitmen bersama antaranak bangsa. Tidak bisa hanya diserahkan kepada ormas keagamaan seperti Muhammadiyah dan NU saja, kalau ormas keagamaan dan politisi setiap hari bekerja untuk memprovokasi agar tidak memercayai negara dan kebajikan orang lain.

Jika kita ingin tetap melihat Indonesia dalam 20-25 tahun mendatang, maka menghargai keragaman SARA harus terus menjadi bagian dari kehidupan umat beragama di sini. Tentu saja bahwa keadilan hukum, kesetaraan ekonomi, keadilan sosial, serta tindakan nondiskriminatif harus dilahirkan dari rahim para penegak hukum, agamawan, politikus, jurnalis, aktivis hak asasi manusia (HAM), aktivis demokrasi, serta aktivis sosial.

Kita tidak bisa hanya menyampaikan kritik keras kepada pihak negara dan orang lain, tetapi perilaku kita "buta dan egoistis" sehingga menganggap pihak negara dan orang lain yang selalu salah dan tidak menghargai kita. Kita harus sama-sama duduk berbicara dengan tenang, penuh kebajikan untuk bersama membangun kemajuan berdasarkan kemajemukan SARA yang menjadi rahim Ibu Pertiwi.

Pilkada serentak biarlah tetap berjalan dengan baik, jujur dan bebas dan tanpa politik uang. Sentimen rasialisme sudah tidak seharusnya menjadi komoditas politik pilkada mengingat UU kita memang membolehkan orang beragam SARA menjadi kandidat kepala daerah.

Biarlah pilkada serentak tahun 2017 tidak ternodai oleh kebencian karena agama dan etnis. Kita boleh membenci Pilkada 2017 dan seterusnya jika penuh dengan manipulasi data daftar pemilih tetap, politik uang, dan teror dari para politikus yang hendak bertarung di sana.

Semoga bangsa ini bisa selamat dari kebencian dan egoisme karena urusan politik sesaat pilkada.

ZULY QODIR, SOSIOLOG UMY, PENELITI SENIOR MAARIF INSTITUTE JAKARTA

Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 7 Februari 2017, di halaman 6 dengan judul "Intoleransi dan Kebinekaan Jelang Pilkada".

Sent from my BlackBerry 10 smartphone on the Telkomsel network.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Powered By Blogger