Cari Blog Ini

Bidvertiser

Selasa, 21 Februari 2017

Rasionalitas Pemilih Jakarta (BURHANUDDIN MUHTADI)

Tak lama setelah lembaga-lembaga hitung cepat menahbiskan kemenangan pasangan Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) dan Djarot Saiful Hidayat pada 15 Februari lalu, banyak analis yang mengklaim bahwa warga Jakarta sangat rasional. Meski Ahok dihantam isu-isu primordial, warga Jakarta tetap memilihnya karena menilai kinerja calon petahana ini di atas rata-rata.

Ibarat gelas setengah penuh atau setengah kosong, kemenangan Ahok-Djarot dalam putaran pertama ini bisa dibaca dalam dua perspektif yang berbeda. Di tengah tekanan kuat pasca kontroversi Al Maidah dan status Ahok sebagai terdakwa dalam kasus dugaan penodaan agama, perolehan suara pada kisaran 43 persen dan tampil sebagai pemenang di putaran pertama tentu tidak buruk. Artinya, klaim bahwa warga Jakarta rasional menemukan justifikasi empirisnya.

Namun, kemenangan tipis tersebut bisa juga dibaca sebaliknya. Menurut data longitudinal Indikator Politik Indonesia, rata-rata kepuasan publik terhadap Ahok mencapai 73,4 persen. Masih banyak proporsi pemilih yang puas atas kinerja Ahok, tetapi tidak sudi memilihnya. Jika benar warga Jakarta rasional, seharusnya Ahok minimal mengantongi suara 70 persen sesuai dengan proporsi warga yang puas terhadap kinerjanya. Dengan kata lain, perolehan suara ketiga pasangan calon di Jakarta tidak bisa dijelaskan semata-mata oleh faktor rasionalitas.

Kepala dan hati terbelah

Inilah anomali politik elektoral. Pada umumnya terdapat korelasi yang sangat konsisten dan kuat antara kinerja petahana dengan tingkat ke-dipilih-an. Secara rasional, warga mengakui kinerja Ahok dalam mengatasi banjir dan masalah sampah, meningkatkan pelayanan di kantor-kantor pemerintahan, dan lain-lain. Meski masih belum puas dalam mengatasi kemacetan, warga juga melihat usaha konkret pemerintah provinsi dalam membangun sarana transportasi massal.

Namun, tingginya approval rating Ahok tidak otomatis mengangkat elektabilitasnya. Hal ini menjadi bukti bahwa "kepala" dan "hati" sebagian warga Jakarta terbelah. Mereka mengakui kinerja petahana baik, tetapi hati mereka sulit menerima Ahok. Inilah yang disebut George Orwell sebagai gejala doublethinkyang dalam konteks ini dipahami sebagai "kemampuan seseorang untuk memercayai dua hal yang bertolak belakang secara bersamaan tanpa merasa bersalah atau tidak nyaman (disonansi kognitif)" (Alifia, 2016).

Hasil exit poll (hasil survei yang dilakukan dengan cara bertanya langsung kepada para pemilih seusai mencoblos di tempat pemungutan suara) Indikator Politik Indonesia pada 15 Februari 2017 menemukan gejala doublethink yang terutama banyak dialami oleh pemilih Muslim, berasal dari suku Betawi dan Sunda, berpendidikan SLTA, berpendapatan Rp 2 juta hingga Rp 4 juta per bulan, serta mayoritas tinggal di Jakarta Selatan dan Jakarta Timur. Mereka puas terhadap kinerja Ahok, tetapi enggan memilihnya, dan karakteristik mereka ini sangat berbeda sekali dengan sosio-demografi pemilih Ahok pada umumnya.

Ini konsisten dengan survei-survei pra pilkada yang dilakukan oleh Indikator Politik Indonesia yang menemukan pola menarik. Basis dukungan Ahok sangat kuat pada aspek rasional, tetapi lemah pada dimensi emosional. Analisis regresi logistik multinomial berdasarkan temuan survei pada November 2016, Desember 2016, hingga Januari 2017, menunjukkan evaluasi pemilih terhadap kinerja petahana dan ucapan Ahok tentang Al Maidah berpengaruh signifikan terhadap keputusan memilih pasangan calon gubernur-calon wakil gubernur.

Faktor rasional (evaluasi atas kinerja petahana) dan faktor emosional (Al Maidah) secara bersama-sama kuat dan signifikan pengaruhnya terhadap pilihan, terlepas dari bagaimanapun kondisi faktor-faktor lainnya (evaluasi atas kondisi ekonomi, kedekatan dengan partai, dan faktor-faktor sosiologis: jender, umur, pendidikan, suku bangsa, dan agama).

Apabila kinerja petahana memuaskan, pemilih cenderung akan memilih petahana dan demikian juga sebaliknya. Dan, jika Ahok dinilai melakukan penodaan agama pada kasus Al Maidah, pemilih cenderung memilih Anies Baswedan-Sandiaga Uno atau Agus Harimurti Yudhoyono-Sylviana Murni. Begitu juga sebaliknya.

Dalam studi perilaku pemilih, evaluasi atas kinerja petahana adalah salah satu ukuran seberapa jauh model pilihan rasional bekerja. Kepuasan terhadap kinerja petahana menjadi dasar reward and punishment (Downs, 1957; Fiorina, 1981). Ukuran lainnya adalah retrospeksi egosentrik dan sosiotropik. Namun, apa pun ukurannya, variabel-variabel rasional yang digunakan dalam studi Indikator selalu berujung pada evaluasi yang positif terhadap kinerja petahana.

Kekuatan Ahok-Djarot dalam aspek rasional juga diperkuat oleh performa mereka yang selalu dinilai terbaik dalam debat calon gubernur-calon wakil gubernur menurut persepsi publik. Pada survei Indikator 2-8 Februari 2017, pada kelompok yang menonton acara debat calon gubernur-calon wakil gubernur, dukungan Ahok-Djarot signifikan lebih tinggi dibandingkan pada kelompok pemilih yang tidak menonton acara debat.

Sebaliknya, dukungan terhadap Agus-Sylvi signifikan lebih rendah pada kelompok yang menonton acara debat dibandingkan dengan yang tidak menonton.

Sementara itu, dukungan Anies-Sandi sedikit lebih tinggi di kelompok yang menonton. Artinya, Anies-Sandi juga mendapat sedikit insentif elektoral dari acara debat. Temuan survei pra pilkada ini konsisten dengan hasil exit pollIndikator Politik Indonesia yang menemukan 84,5 persen warga DKI Jakarta pernah menonton debat dengan 46,1 persen di antaranya menahbiskan Ahok-Djarot sebagai pemenang, disusul Anies-Sandi (37,9 persen) dan Agus-Sylvi (11,3 persen).

Jelaslah bahwa secara rasional Ahok mendapat banyak durian runtuh. Mereka yang memilih Ahok-Djarot sebagian besar karena faktor "sudah ada bukti hasil kerjanya" (42 persen) dan "berpengalaman di pemerintahan" (25 persen). Anies-Sandi terutama karena dinilai "pintar" (18 persen), "kesamaan agama" (16 persen), dan "ramah" (12 persen). Sementara Agus-Sylvi didukung terutama karena dinilai "tegas atau berwibawa" (32 persen).

Namun, titik lemah Ahok terutama pada aspek emosional. Pada survei 2-8 Februari 2017, proporsi pemilih yang mengatakan Ahok melakukan dugaan penodaan agama dalam kasus Al Maidah meningkat menjadi 57 persen dibandingkan pada Januari yang "hanya" 47 persen. Polemik dengan KH Ma'ruf Amin dalam persidangan turut meningkatkan kembali ketersinggungan pemilih Muslim.

Vonis "menodai agama" memiliki konsekuensi elektoral yang sangat negatif bagi Ahok-Djarot. Di kalangan yang menilai ucapan Ahok off-side dalam kasus Al Maidah, mayoritas memilih Anies-Sandi (51,4 persen) dan Agus-Sylvi (27,1 persen). Sebaliknya, di kelompok pemilih yang menilai ucapan Ahok tidak menodai agama, 83,2 persen solid memilih Ahok-Djarot.

Yang menarik, dalam analisis regresi logistik multinomial berdasarkan hasil survei terakhir jelang pilkada, variabel kinerja petahana tidak lagi signifikan untuk menjelaskan elektabilitas ketiga pasangan setelah dikontrol dengan variabel-variabel lain. Artinya, kepuasan atau ketidakpuasan terhadap kinerja Ahok tak lagi menjadi faktor determinan yang memengaruhi pilihan. Warga bisa saja puas terhadap kinerja Ahok, tetapi tak mau memilihnya. Yang konsisten menjadi prediktor elektabilitas calon adalah debat dan ucapan Ahok tentang Al Maidah.

Menariknya, dalam regresi logistik multinomial tersebut, variabel agama per se tidak signifikan, tetapi isu atau opini agama dalam kasus Al Maidah sangat signifikan. Adanya unsur mobilisasi Islamis yang membuat isu Al Maidah menjadi prediktor dan itu terkait lebih dari sekadar masalah agama.

Putaran kedua

Kekuatan serta kelemahan Ahok dan Anies sudah berhasil kita petakan jelang putaran kedua. Untuk meraih kemenangan, Ahok tak bisa sekadar mengandalkan rekam jejak dan bukti nyata kerjanya tanpa membenahi komunikasi dan pendekatan emosional yang menyentuh hati pemilih. Ini, misalnya, dengan tidak mengulangi blunder terkait dengan Al Maidah. Tangis haru Ahok dalam pembukaan sidang kasus dugaan penodaan agama terbukti lebih memikat hati pemilih ketimbang sikap yang dinilai tak sopan ketika KH Ma'ruf Amin menjadi saksi.

Hasil putaran pertama ini, sekali lagi, menunjukkan bahwa aspek rasionalitas tak seluruhnya bisa menjelaskan perilaku pemilih. Perlu kiat-kiat khusus mendekati pemilih yang masih terluka atas pernyataan Ahok dalam kasus Al Maidah. Kiat ini terutama diarahkan kepada warga yang sudah puas terhadap kinerja Ahok, tetapi belum menerjemahkan dalam bentuk dukungan elektoral.

Sebaliknya, jika ingin menang, Anies tidak bisa hanya mengandalkan sentimen agama. Harus diingat, Anies menjadi pilihan utama kelompok anti petahana karena dia punya keunggulan komparatif dibandingkan Agus. Meski sama-sama menawarkan kenyamanan psikologis-emosional pada pemilih yang mempertimbangkan aspek primordial, Anies-Sandi dinilai lebih unggul pada aspek rasional dibandingkan Agus-Sylvi.

Inilah yang perlu dieksplorasi lebih dalam jelang putaran kedua. Terlebih lagi, pada debat-debat sebelumnya, menurut pemilih, Anies selalu tertinggal dibanding Ahok dalam hal program kerja dan penguasaan masalah yang diperdebatkan.

Tentu naif berharap putaran kedua nanti sepi dari isu-isu abad pertengahan. Namun, jangan lupa, warga Jakarta memiliki modal rasionalitas yang lebih baik ketimbang wilayah lain dilihat dari tingkat pendidikan dan pendapatan serta akses terhadap informasi. Inilah sumber rasionalitas pemilih yang seharusnya menjadi insentif bagi kedua pasangan calon yang lolos di putaran final agar mampu menawarkan program yang lebih baik serta pendekatan rasional yang lebih meyakinkan bagi pemilih.

BURHANUDDIN MUHTADI

Pengajar Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Islam Negeri (FISIP-UIN) Jakarta dan Direktur Eksekutif Indikator Politik Indonesia

Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 21 Februari 2017, di halaman 6 dengan judul "Rasionalitas Pemilih Jakarta"

Sent from my BlackBerry 10 smartphone on the Telkomsel network.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Powered By Blogger