Cari Blog Ini

Bidvertiser

Jumat, 24 Februari 2017

TAJUK RENCANA: Mengeluhkan Demokrasi (Kompas)

Presiden Joko Widodo mengeluhkan demokrasi Indonesia yang dinilainya kebablasan atau telah melampaui batas.

Berkembangnya praktik politik yang cenderung ekstrem, seperti liberalisme, radikalisme, dan fundamentalisme, sebagai pertanda demokrasi Indonesia telah melampaui batas.

Tengarai soal demokrasi melampaui batas bukan hal baru dalam sejarah politik Indonesia. Dalam praktik keseharian, demokrasi kerap diartikan bebas sebebasnya. Orang bisa berbuat apa saja, berkata apa saja, atas nama demokrasi. Atas nama demokrasi, orang bisa meniadakan kebebasan sipil. Politik menjadi segalanya.

Konsep demokrasi berasal dari Barat. Demokrasi berasal dari kata demos('rakyat') dan cratein ('pemerintahan'). Dalam praktik politik, demokrasi sering dipahami sebagai government of the people, government by the people, government for the people. Meskipun dalam praktiknya, tidak seideal yang didefinisikan.

Indonesia menyebut negara demokrasi meski dalam konstitusi tak pernah disebutkan Indonesia adalah negara demokrasi. Dalam konstitusi disebutkan, Indonesia negara hukum. Dalam pasal lain disebutkan, kedaulatan di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar.

Dalam UUD 1945 yang sudah empat kali diubah hanya ditemukan satu kata demokrasi. Kata demokrasi muncul dalam kata sifat. Pasal 18 Ayat 4 berbunyi, "Gubernur, Bupati, Walikota masing-masing sebagai kepala pemerintah daerah provinsi, kabupaten dan kota dipilih secara demokratis." Kata demokrasi ditemukan dalam Pasal 33 UUD 1945 Ayat 4 yang berbunyi, "Perekonomian nasional diselenggarakan berdasar atas demokrasi ekonomi…."

Secara mudah, demokrasi diartikan pemilihan langsung oleh rakyat. Dalam sejarahnya, Indonesia mengadopsi berbagai demokrasi. Demokrasi parlementer (1945-1959), demokrasi terpimpin (1959-1965), dan Demokrasi Pancasila (1965-1998). Demokrasi pasca reformasi disebut Presiden Jokowi sebagai demokrasi yang kebablasan.

The Economist pernah menempatkan Indonesia sebagai negara flawed democracy (demokrasi cacat), bukan demokrasi penuh. Meski pemilu dilaksanakan bebas, tata kelola pemerintahan masih lemah dan budaya politik belum mendukung demokrasi. Itu demokrasi cacat.

Kita memandang daripada mengeluhkan demokrasi lebih penting bagaimana mengubah demokrasi prosedural menjadi demokrasi yang memberikan manfaat bagi rakyat dan mengurangi kesenjangan. Demokrasi yang melahirkan kesenjangan ekonomi yang masih menganga akan membuat rakyat frustrasi. Aksi afirmasi itu bisa dilakukan Presiden Jokowi.

Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 24 Februari 2017, di halaman 6 dengan judul "Mengeluhkan Demokrasi".

Sent from my BlackBerry 10 smartphone on the Telkomsel network.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Powered By Blogger