Cari Blog Ini

Bidvertiser

Sabtu, 25 Februari 2017

TAJUK RENCANA: Menyoal Kembali Ketimpangan (Kompas)

Laporan lembaga non- pemerintah bahwa ketimpangan masih lebar di tengah berbagai upaya menurunkan menunjukkan adanya masalah struktural.

Laporan ketimpangan Indonesia oleh International NGO Forum on Indonesian Development (INFID) dan Oxfam menegaskan kembali, sulit mengatasi ketimpangan kemakmuran jika masalah mendasar tak disentuh.

Laporan itu menegaskan kembali perekonomian Indonesia terlalu didikte pasar setelah krisis keuangan dan ekonomi tahun 1997. Bantuan Dana Moneter Internasional (IMF) dan Bank Dunia saat itu mensyaratkan penyesuaian struktural dalam kemasan penyehatan ekonomi. Terjadi liberalisasi dalam bentuk swastanisasi layanan publik, liberalisasi sektor keuangan dan perbankan, serta penghapusan subsidi komoditas mendasar, termasuk penghapusan perlindungan efektif budidaya beras dan gula.

Dalam perkembangan kemudian, terutama setelah lepas dari IMF, pemerintah terus membangun jaring pengaman sosial, seperti pendidikan gratis, asuransi semesta kesehatan, serta bantuan kredit usaha kecil dan menengah. Kelompok buruh dilindungi melalui undang-undang ketenagakerjaan yang oleh penganut ekonomi pasar dianggap tidak fleksibel dan mengurangi daya saing Indonesia.

Meski demikian, mulai 2009, indeks rasio gini naik yang berarti ketimpangan memburuk. Dari sebelumnya 0,35 menjadi 0,37 dan sejak 2011 menjadi 0,41 yang bertahan hingga 2015, tertinggi sejak Indonesia merdeka. Upaya pemerintahan Presiden Joko Widodo menurunkan ketimpangan menghasilkan rasio gini 0,394 pada 2016.

Laporan INFID dan Oxfam mengidentifikasi dominannya kepentingan politik kelompok atau orang, politik upah buruh murah, dan sistem perpajakan belum berhasil mendistribusi kemakmuran. Reformasi 1998 belum berhasil membangun kelembagaan politik menghapus praktik korupsi, kolusi, dan nepotisme. Kelindan kepentingan politik dan ekonomi pasar semakin kasatmata, elite mampu mengubah aturan untuk kepentingan sendiri.

Ketimpangan menjadi masalah banyak negara dan menimbulkan keresahan sosial. Negara yang berusaha mengekang ekonomi pasar dan swastanisasi akan berhadapan dengan perangkat internasional, seperti General Agreement on Trade in Services, General Agreement on Tariffs and Trade, dan Trade in Intellectual Property Rights.

Pada sisi lain, kesadaran ketimpangan menghambat perekonomian juga mendorong sejumlah pihak mencari konsep pembangunan yang menghargai hak kolektif komunitas di masyarakat, perempuan, dan warga miskin.

Kita juga tidak menginginkan perlindungan berlebihan pada sektor usaha sehingga menyebabkan ketidakefisienan. Mencari keseimbangan antara ekonomi pasar dan menjamin kemakmuran adil dan beradab, seperti diamanatkan konstitusi kita, jelas memerlukan kejernihan pikiran, hati nurani, dan keberanian untuk berubah.

Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 25 Februari 2017, di halaman 6 dengan judul "Menyoal Kembali Ketimpangan".


Sent from my BlackBerry 10 smartphone on the Telkomsel network.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Powered By Blogger