Cari Blog Ini

Bidvertiser

Rabu, 08 Februari 2017

TAJUK RENCANA: Tak Selesai dengan Relokasi (Kompas)

Keluar mulut harimau, masuk mulut buaya. Mungkin itulah nasib pengungsi Rohingya setelah Pemerintah Banglades berencana merelokasi mereka.

Menteri Luar Negeri Abul Hassan Mahmood Ali di depan para diplomat di Dhaka meminta dukungan internasional terkait rencana relokasi pengungsi ke Pulau Thengar Char itu. Menurut Ali, memukimkan para pengungsi di pulau terpisah akan memudahkan pengungsi untuk menerima bantuan kemanusiaan.

Saat ini terdapat lebih dari 232.000 warga Rohingya dari Myanmar di Banglades. Lebih dari 65.000 orang mengungsi akhir tahun lalu, menghindari operasi keamanan di Maungdaw, Myanmar. Militer menggelar operasi setelah sembilan polisi tewas saat tiga pos polisi perbatasan diserang kelompok yang diduga warga radikal Rohingya.

Para pengungsi hidup dalam kondisi memprihatinkan di dua kamp di Cox Bazar, wilayah resor di dekat perbatasan Banglades-Myanmar. Namun, memindahkan mereka ke Thengar Char saat ini hanya menimbulkan masalah baru.

Thengar Char adalah daratan berlumpur yang terbentuk delapan tahun lalu, satu dari banyak pulau hasil sedimentasi di muara Sungai Meghna di Teluk Benggala. Luasnya sekitar 25 kilometer persegi, yang selalu tergenang saat pasang dan dilanda banjir pada musim hujan.

Pemerintah telah menanami sekitar sepertiga luasan pulau dengan bakau untuk menahan erosi. Namun, pulau tersebut dinilai tetap tidak layak huni. Sekitar 2 kilometer persegi area pesisir hilang tergerus gelombang dalam dua tahun terakhir. Seorang pejabat Distrik Noakhali, kepada harian The Guardian, mengakui, mustahil bagi para pengungsi mendirikan tempat tinggal.

Ali memang mengatakan relokasi dilakukan setelah semua infrastruktur pendukung tersedia dengan bantuan internasional. Namun, melihat kondisi pulau itu, perlu sedikitnya satu dekade lagi sebelum pulau itu dapat layak huni. Selama itu pula, nasib para pengungsi Rohingya berada dalam ketidakpastian.

Relokasi pun bukan tujuan akhir karena Banglades menginginkan para pengungsi akhirnya direpatriasi ke Myanmar. Namun, Pemerintah Myanmar sejak 1982 tidak lagi mengakui Rohingya sebagai warga negara. Aktivitas mereka dibatasi, termasuk pernikahan, pendidikan, dan kebebasan menjalankan ibadah. Tak heran warga Rohingya disebut sebagai bangsa paling teraniaya di dunia.

Operasi militer akhir tahun lalu, yang menurut laporan Perserikatan Bangsa-Bangsa diiringi pemukulan, pemerkosaan, dan pembunuhan warga Rohingya, mempertegas pelanggaran hak asasi manusia dan krisis kemanusiaan atas warga Rohingya di Myanmar. Dunia internasional perlu menekan militer Myanmar untuk bertanggung jawab sambil mengupayakan solusi agar warga Rohingya dapat hidup layak sesuai martabat kemanusiaan.

Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 8 Februari 2017, di halaman 6 dengan judul "Tak Selesai dengan Relokasi".

Sent from my BlackBerry 10 smartphone on the Telkomsel network.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Powered By Blogger