Cari Blog Ini

Bidvertiser

Minggu, 12 Maret 2017

Membumikan Deradikalisasi (SUHARDI ALIUS)

Terorisme bukan berada dalam ruang hampa. Ia hidup dan berkembang dalam kehidupan masyarakat. Bahkan, Said Aqil Siroj dalam tulisannya, "Mitos Deradikalisasi" (Kompas, 8/3/2017), menegaskan bahwa tak ada yang berangkat dari ruang hampa. Dunia sosial kita sudah dipenuhi berbagai daya jerat dan daya pikat yang kerap mengaburkan kebenaran.

Said Aqil, baik sebagai ulama maupun kapasitasnya sebagai ketua umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama, banyak memberikan masukan bermanfaat dalam membenahi upaya penanggulangan terorisme yang dilakukan Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT).

Melirik kemunculan terorisme, ada proses panjang yang menyebabkan radikalisme dan terorisme lahir dan berkembang. Paham radikal tak muncul tiba-tiba. Kedinamisan terorisme meletakkan teori-teori tak lagi menegaskan faktor tunggal munculnya terorisme, melainkan multifaktor. Suatu waktu akan tampak satu metode menjadi usang untuk satu kasus terorisme dan efektif untuk penanggulangan kasus terorisme di tempat yang lain atau pada waktu yang berbeda.

Apabila memandang deradikalisasi berisikan suatu program yang paten, maka akan tampak penanganan terorisme tak beranjak, berputar pada metode, dan cenderung monoton. Disadari bahwa penanggulangan terorisme tak cukup dengan upaya penanggulangan sesaat. Perlu strategi berkesinambungan dengan pola dan metode yang dinamis pula seiring perkembangan permasalahan yang menjadi faktor langsung maupun tidak langsung terhadap kemunculan terorisme.

Memang mengukur tingkat keberhasilan program deradikalisasi BNPT tidak hanya didasarkan pada kuantitatif saja, tetapi juga mencakup kualitasnya. Masukan dari berbagai pihak menjadi kajian bagi BNPT guna penyempurnaan maupun perumusan pendekatan baru dalam penanggulangan terorisme.

Deradikalisasi yang dilakukan BNPT mencakup berbagai upaya pembinaan terhadap mereka yang terpapar terorisme. Sekalipun pada banyak aksi teroris disebut "gerakan Jihad Islam", bukan berarti deradikalisasi sebagai upaya mendangkalkan akidah atau program asing agar umat Islam mengalami kekeringan dari semangat juang (jihad). Justru program-program deradikalisasi yang dilakukan BNPT melibatkan para ulama dan tokoh agama dalam membina mereka yang terpapar terorisme, mantan narapidana teroris, keluarga, dan jaringannya. Bahkan, pada tingkat tertentu memakai para mantan teroris yang sudah tobat untuk berdialog dan melakukan deradikalisasi terhadap mereka yang terpapar terorisme.

Menyasar keluarga napi teroris

BNPT sudah mengurai permasalahan terorisme. Dari peta permasalahan tersebut kemudian BNPT mengombinasikan langkah-langkah penanggulangan terorisme dengan "bermain" lebih proaktif di hulu-hilir. Meski demikian, BNPT dengan kelompok ahli BNPT dari berbagai disiplin ilmu terus mengevaluasi program-program yang berjalan dan memformulasikan pendekatan-pendekatan baru dalam penanggulangan terorisme dari hulu ke hilir.

Para pelaku teroris menyisakan keluarga termasuk anak-anak mereka. Kondisi itu menjadi kekhawatiran akan munculnya bibit-bibit baru radikalisme dan terorisme. Bukan tak mungkin, keluarga yang ditinggalkan tersentuh radikalisme. Meski bukan karena kepemahaman yang sama akan radikalisme-terorisme, kondisi keluarga dan anak-anak mereka yang dikucilkan dari lingkungan, kondisi ekonomi yang sudah susah, ditambah tuntutan bakti anak kepada ayah mereka yang telah tewas menjadi faktor-faktor yang dapat memunculkan generasi baru terorisme.

content
TOTO S

Apa yang terjadi dengan anak Imam Samudra (pelaku Bom Bali II) yang mengikuti jejak ayahnya merupakan contoh bagaimana anak dengan mudah dapat mengikuti jejak ayahnya. Anak Imam Samudra bergabung dengan Negara Islam di Irak dan Suriah (NIIS) di Suriah dan tewas pada 2015 lalu di sana. Bayangkan apabila ada satu orang teroris punya tiga anak. Jika negara tak hadir dalam pembinaan terhadap keluarga para teroris yang telah tewas maupun yang mantan napi teroris, maka sama halnya menumpas seorang teroris memunculkan tiga orang bibit baru teroris. Apabila ada 250-an napi teroris yang berada dalam LP dan rumah tahanan, maka asumsinya lebih dari 700 anak berpotensi menjadi bibit terorisme.

Oleh karena itu, salah satu fokus deradikalisasi sasarannya adalah napi terorisme, keluarganya, termasuk anak-anak mantan atau terpidana terorisme. Kegiatan deradikalisasi anak-anak napi dan mantan napi terorisme ini meliputi terapi di bidang pendidikan. BNPT juga memberikan bantuan untuk pengembangan perekonomian para napi teroris itu. Program ini dilakukan bersama Kementerian Sosial. Contohnya, memberikan keterampilan sehingga mantan napi yang sudah keluar bisa mencari nafkah dan melupakan ideologi yang dipegang selama ini untuk hidup bersama masyarakat.

Pesantren sebagai panutan

Mengukur kualitas hasil program deradikalisasi BNPT tentu upaya yang memakan waktu tak singkat. Meski demikian, upaya deradikalisasi akan terus dilakukan. Salah satu langkah deradikalisasi yang dilakukan BNPT dalam menyasar keluarga dan jaringan terorisme adalah pembinaan pesantren Al-Hidayah di Sumatera Utara. Pembangunan rumah ibadah dan ruang-ruang belajar di lokasi pesantren itu sudah diresmikan pada Februari 2017.

Pesantren itu terutama bagi mereka yang pernah terpapar terorisme, mantan napi terorisme, keluarga, dan jaringannya. Keberadaan pesantren Al-Hidayah menjadi komitmen BNPT dengan warga sekitar pondok pesantren dalam mendukung program nasional pemerintah sekaligus sebagai kepentingan BNPT dalam melakukan pembinaan, pencegahan, sekaligus waspada terhadap bahaya radikalisme dan terorisme. Sebab, di pesantrenlah anak-anak baik dari tingkat dasar hingga pendidikan tinggi mendapat ilmu pendidikan agama dan nasional yang komprehensif, termasuk dalam hal menanggulangi paham radikal.

Pesantren ini akan dijadikan role modelbagi proses pendekatan baru dalam deradikalisasi. Harapannya di beberapa daerah akan dibangun pesantren sama yang dapat membina anak dan keluarga mantan teroris sehingga dapat mereduksi penyebaran paham radikal terorisme. Tahap awal, beberapa daerah rawan terpapar radikalisme, seperti di Lamongan, Jawa Timur, sudah dikunjungi BNPT guna rencana pembinaan para keluarga teroris dan masyarakat sekitarnya melalui role model pesantren. Pesantren bukanlah tempat persemaian ajaran terorisme. Justru sejarah membuktikan bahwa model pendidikan khas Indonesia itu terbukti mampu melahirkan ulama dan para cendekia mengisi bangsa ini. Pesantren memiliki peran yang cukup strategis sebagai tulang punggung dalam pembangunan bangsa.

SUHARDI ALIUS

Kepala BNPT

Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 11 Maret 2017, di halaman 6 dengan judul "Membumikan Deradikalisasi".

Sent from my BlackBerry 10 smartphone on the Telkomsel network.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Powered By Blogger