Cari Blog Ini

Bidvertiser

Senin, 13 Maret 2017

TAJUK RENCANA: Ketegasan Kepala Negara (Kompas)

Kasus korupsi KTP elektronik sungguh mencemaskan. Akankah negeri ini menjadi negeri yang bersih atau justru terus dibajak oleh para koruptor?

Namun, pernyataan tegas Presiden Joko Widodo paling tidak memberikan harapan di tengah keprihatinan mendalam. Presiden Jokowi meminta Komisi Pemberantasan Korupsi agar membongkar tuntas megakorupsi ini.

Dengan nada kesal, saat ditanya pers, Presiden bahkan melontarkan pernyataan yang keras bahwa korupsi ini mengacaukan sistem kependudukan yang akan dibangun.

"Sekarang jadi bubrah semua gara-gara anggaran dikorupsi. Habis hampir Rp 6 triliun, jadinya KTP yang dulu kertas, sekarang jadi plastik. Hanya itu saja. Sistemnya juga belum benar," ujar Jokowi. Kata "bubrah" yang dipilih Jokowi tentu bukan tanpa maksud. Bubrahdalam bahasa Jawa mengandung arti kerusakan yang mendasar, parah.

Pernyataan tegas Presiden ini menjadi penting mengingat, dari dakwaan yang dibacakan di persidangan, pekan lalu, kasus KTP-el diduga melibatkan banyak pihak, mulai dari pejabat eksekutif, legislatif, badan usaha milik negara, hingga swasta. Setidaknya, ada 25 anggota DPR dari sembilan partai politik yang disebut namanya. Dari mereka itu, saat ini, ada yang menjabat sebagai menteri, gubernur, bahkan unsur pimpinan DPR.

content
TOTO S

Pengalaman selama ini, setiap kasus korupsi besar dibongkar, perlawanan biasanya gencar dilancarkan. Apabila itu terjadi, bukan tidak mungkin, pengungkapan kasus korupsi ini tidak akan tuntas sampai ke akar-akarnya.

Padahal, kasus megakorupsi ini sungguh mencederai rasa keadilan. Uang rakyat yang sedemikian besar "dirampok" oleh segelintir orang. Kerugian negara yang ditimbulkan dari kasus KTP-el ini mencapai Rp 2,31 triliun. Ini setara dengan harga 1,43 juta ton beras sejahtera untuk 7,98 juta rumah tangga sasaran keluarga miskin.

Pembiaran kasus ini akan membuat kesabaran rakyat habis dan bisa menggunakan cara-caranya sendiri. Rakyat sebagai pemberi mandat tidak akan lagi memercayai orang-orang yang mereka pilih mengurus negeri ini.

Daoed Joesoef dalam tulisannya,Membangun Budaya Bangsa dan Nilai Keindonesiaan demi Masa Depan Bangsa, mengingatkan, bangsa ini dapat hancur bukan karena gagal menjadikannya demokratis, bukan karena kehabisan sumber-sumber alami untuk kehidupan rakyatnya, melainkan karena salah arah penggunaan sumber itu dan penyalahgunaan kekuasaan oleh elite politikus penguasa.

Di sini Jokowi sebagai kepala negara harus mengambil peran. Tidak cukup membuat pernyataan, tetapi juga memimpin rakyatnya untuk memberantas korupsi hingga ke akar-akarnya dengan menjalankan segala undang-undang dan peraturan selurus-lurusnya, sesuai sumpahnya.

Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 13 Maret 2017, di halaman 6 dengan judul "Ketegasan Kepala Negara".

Sent from my BlackBerry 10 smartphone on the Telkomsel network.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Powered By Blogger