Cari Blog Ini

Bidvertiser

Selasa, 14 Maret 2017

TAJUK RENCANA: Krisis Hubungan Belanda-Turki (Kompas)

Akankah memburuknya hubungan diplomatik antara Belanda dan Turki berujung pada pemutusan hubungan kedua negara?

Tidak mudah menjawab pertanyaan yang mengawali ulasan pendek ini. Akan tetapi, melihat memburuknya hubungan di antara kedua negara, pada saat ini, melihat kemarahan tiap-tiap pihak, adalah tidak berlebihan kalau pertanyaan tersebut kita ajukan. Meskipun untuk sampai pada kesimpulan pemutusan hubungan tiap-tiap pihak memerlukan pertimbangan yang masak, mendalam, dan lengkap, harus ditimbang pula untung dan ruginya.

Apalagi hubungan kedua negara sudah berjalan lebih dari 400 tahun! Suatu masa hubungan yang demikian lama dan mendalam. Hubungan diplomatik dimulai sejak tahun 1612 ketika utusan pertama Belanda, Cornelis Haga, tiba di Istanbul, menandai awal hubungan diplomatik mereka.

Ketika Republik Turki lahir, 1923, Belanda menandatangani perjanjian persahabatan dengan Turki. Oleh karena itu, apakah masa hubungan yang demikian panjang itu akan dikorbankan untuk kepentingan politik dalam negeri masing-masing.

Krisis hubungan diplomatik terjadi setelah Belanda melarang dan mengusir Menteri Luar Negeri Turki Mevlut Cavusoglu serta Menteri Keluarga Fatma Betul Sayan Kaya. Keduanya dilarang masuk Belanda untuk kampanye referendum konstitusi kepada orang-orang Turki yang tinggal di Belanda. Di Belanda tinggal sekitar 500.000 imigran Turki. Sebagian besar dari mereka saat ini masih memiliki kewarganegaraan ganda sehingga mempunyai hak suara dalam referendum yang akan dilaksanakan 16 April mendatang. Konstitusi baru akan memberikan kekuasaan lebih besar kepada presiden yang sekarang dijabat Recep Tayyip Erdogan dibandingkan dengan saat ini.

Dalam konteks seperti itu, bisa jadi kemarahan Erdogan—yang menyebut Belanda sebagai sisa Nazi dan fasis—karena kepentingannya untuk memperoleh dukungan dari imigran Turki di Belanda tidak kesampaian. Jadi, kepentingan Erdogan lebih dominan ketimbang kepentingan nasional, dalam hal ini.

Sebaliknya, PM Belanda Mark Rutte sekarang juga sedang bersiap bertarung dalam pemilu yang akan dilaksanakan tanggal 15 Maret ini. Rutte harus menghadapi pesaing beratnya, Geert Wilders dari Partai Kemerdekaan yang sangat anti imigran. Karena itu, bisa jadi, Rutte juga memainkan isu domestik dengan melarang kedua menteri Turki masuk ke Belanda.

Terlepas dari semua itu, sikap Ankara telah mendorong munculnya solidaritas sesama negara Eropa kepada Belanda. Tentu, kalau hal itu berlarut-larut, Turki-lah—meski masih punya senjata pengungsi Suriah—yang lebih dirugikan. Karena itu, setelah referendum dan pemilu, krisis hubungan itu kemungkinan akan segera berakhir.

Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 14 Maret 2017, di halaman 6 dengan judul "Krisis Hubungan Belanda-Turki".

Sent from my BlackBerry 10 smartphone on the Telkomsel network.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Powered By Blogger