Cari Blog Ini

Bidvertiser

Rabu, 15 Maret 2017

TAJUK RENCANA: Tak Ada Masa Depan di Suriah (Kompas)

Perang yang terus berlangsung di Suriah membuat generasi muda kehilangan harapan dan masa depan. Kita belum tahu kapan perang akan berhenti.

Seperti dilaporkan Badan PBB untuk Anak-anak (Unicef), anak-anak di Suriah terus menyaksikan dan bahkan mengalami kekerasan. Pada tahun 2016 saja Unicef menyebutkan sedikitnya 652 anak terbunuh. Unicef juga menemukan ada 850 anak yang dipaksa ikut perang. Jumlah itu dua kali lebih banyak dibandingkan dengan hasil survei pada tahun sebelumnya.

Bukan hanya kekerasan, akibat kondisi Suriah yang terus memburuk, kehidupan anak-anak dikacaukan oleh konsekuensi mengerikan dalam kehidupan, kemanusiaan, dan masa depan mereka. Penyakit ringan yang diderita anak dalam kondisi normal, mudah disembuhkan, di Suriah penyakit itu bisa jadi mematikan.

PBB menyebut sedikitnya 250.000 orang tewas sejak 2011 ketika perang saudara mulai berkobar hingga tahun lalu. Sebanyak 5 juta orang, sebagian besar perempuan dan anak-anak, telah mengungsi keluar dari Suriah. Sekitar 6,3 juta warga yang ada di Suriah kehilangan tempat tinggal dan 4,9 juta warga tinggal di daerah yang rawan kekerasan karena jadi arena pertempuran.

PBB memperkirakan 85 persen penduduk Suriah, dari total 23 juta orang, hidup dalam kemiskinan. Sekitar 12,8 juta warga Suriah membutuhkan bantuan kesehatan, lebih dari 7 juta warga terancam kekurangan pangan, serta 1,75 juta anak tidak sekolah. Hanya untuk memenuhi air, butuh 25 persen dari pendapatan rumah tangga.

Perang saudara di Suriah diawali oleh demo damai menentang kepemimpinan Bashar al-Assad enam tahun lalu di kota Deraa, selatan Suriah. Protes dilakukan karena tingginya pengangguran, korupsi yang meluas, kurangnya kebebasan politik, dan represi rezim Assad.

Berbagai upaya damai terus dilakukan, tetapi keterlibatan banyak negara dengan beragam kepentingan membuat upaya itu terus gagal. Dalam dua tahun terakhir, bersama sekutu utamanya, Rusia, Assad membombardir lokasi pemberontak. Sementara AS dan Arab Saudi, penyokong utama pemberontak, menghendaki Assad turun.

Dua kepentingan berbeda ini yang membuat upaya damai semakin pelik. Dalam sebuah wawancara, Assad menyatakan, terlalu dini bicara soal masa depan Suriah.

Upaya damai mutakhir akan dilakukan di Astana, ibu kota Kazakhstan, 14 Maret 2017, dan negosiasi yang disponsori PBB akan berlangsung di Geneva dan dijadwalkan pada 23 Maret. Tanpa menyentuh soal substansial terkait dengan posisi Assad, rasanya pembicaraan di Astana ataupun Geneva tak akan memuaskan AS, Arab Saudi, dan pemberontak. Artinya, penderitaan warga Suriah masih akan terus berkepanjangan.

Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 15 Maret 2017, di halaman 6 dengan judul "Tak Ada Masa Depan di Suriah".

Sent from my BlackBerry 10 smartphone on the Telkomsel network.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Powered By Blogger