Cari Blog Ini

Bidvertiser

Senin, 27 Maret 2017

TAJUK RENCANA: UE di Zaman yang Berubah (Kompas)

Hari Sabtu lalu, Uni Eropa genap berusia 60 tahun. Saat perayaan ulang tahun itu, mereka menyatakan tekadnya untuk terus bertahan, bersatu.

Tekad untuk terus bersatu—mempertahankan persatuan Uni Eropa—itu dinyatakan dalam bentuk deklarasi dan ditandatangani oleh 27 pemimpin negara anggota. Penandatanganan deklarasi tersebut terasa sangat bermakna setelah satu negara anggota, Inggris, menyatakan mundur dari UE, berdasarkan referendum yang dilaksanakan pada 23 Juni 2016.

Uni Eropa adalah sebuah kemitraan politik dan ekonomi yang merepresentasikan sebuah bentuk kerja sama unik di antara negara-negara berdaulat. Lahir dan pembentukan UE dilatari oleh kegelisahan, kecemasan para pemimpin negara Eropa setelah PD II, akan masa depan Eropa. Mereka menginginkan sebuah Eropa yang damai, stabil, dan mampu menciptakan lingkungan yang subur bagi tumbuhnya perekonomian setelah PD II.

Adalah enam negara—Belgia, Jerman, Perancis, Italia, Luksemburg, dan Belanda—yang membentuk Komunitas Baja dan Batubara Eropa (ECSC). Komunitas inilah yang bisa dikatakan sebagai cikal bakal UE yang kemudian berkembang beranggotakan 28 negara—termasuk negara-negara bekas Eropa Timur yang pada masa Perang Dingin ada di bawah kubu Uni Soviet—sebelum Inggris memilih keluar. Bergabungnya bekas negara-negara Eropa Timur menjadi, paling tidak, bukti bahwa UE dirasakan manfaatnya atau memberikan manfaat positif.

Cita-cita untuk menciptakan Eropa yang makmur, aman, dan damai dapat dikatakan tercapai, sampai beberapa tahun terakhir. Jerman dan Perancis, misalnya, menjadi soko guru kekuatan ekonomi UE. Eropa menikmati zaman kemakmuran dan ketenteraman.

Akan tetapi, krisis global 2008-2009, dan krisis utang sejumlah negara Eropa, berakibat nyata bagi perekonomian Eropa karena menurunnya pertumbuhan dan meningkatnya pengangguran di sejumlah negara anggota. Sejumlah negara terpaksa memberlakukan kebijakan tidak populer, pengetatan ikat pinggang, dalam usaha untuk mengendalikan anggaran dan utang publik.

Dari sinilah kemudian muncul partai-partai politik anti-UE, pemimpin-pemimpin politik yang meneriakkan lagi nasionalisme. Situasi itu bertambah rumit karena membanjirnya imigran dari Afrika dan Timur Tengah, serta rentannya keamanan Eropa, setelah terjadi beberapa kali serangan terorisme. Gerakan itulah yang sekarang menjadi tantangan besar bagi UE. Mampukah mereka menghadapi dan mengatasinya di tengah zaman yang terus berubah dengan tuntutan yang berubah pula ini.

Pada akhirnya masa depan UE sangat bergantung pada dukungan politik masyarakat Eropa, yang menginginkan Eropa yang makmur, sejahtera, aman, dan damai.

Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 27 Maret 2017, di halaman 6 dengan judul "UE di Zaman yang Berubah".

Sent from my BlackBerry 10 smartphone on the Telkomsel network.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Powered By Blogger