Cari Blog Ini

Bidvertiser

Sabtu, 15 April 2017

Pemimpin Teladan Bangsa//Kutipan dan Interpretasi yang Tidak Tepat (Surat Pembaca Kompas)

Pemimpin Teladan Bangsa

Kita tidak membutuhkan sama sekali kerumunan pemimpin berwajah dasamuka, pemburu citra, dan hanya cakap mengobral kata-kata yang dianggit dari kitab partisan yang sarat kepentingan kelompok. Pemimpin harus memastikan kehadirannya dengan bekerja. Bekerja benar, ikhlas dan jujur, rasional, dan tidak korup. Setelah itu, tanpa diminta, warga akan memberikan dukungan sepenuh jiwa.

Begitulah alinea penutup tulisan Asep Salahudin yang berjudul "Pemimpin keteladanan", dimuat di Kompas, 31 Maret 2017. Saya sungguh mengamini tulisan itu.

Jika semua pemimpin kita selama ini bekerja profesional untuk menyejahterakan rakyat, hidup sederhana, jujur, dan tidak korup seperti sosok Mohammad Hatta—selama hidup dan saat menjabat Wakil Presiden Republik Indonesia (1945-1956)—mungkin rakyat kita telah menjadi sehat, tenteram, dan hidup sejahtera.

M Hatta, karena perjuangannya menentang penjajah, dibuang ke Boven Digoel, Papua, setelah itu dibuang lagi ke Kepulauan Banda. Demikian pula Soekarno, proklamator dan Presiden I Republik Indonesia. Ia gigih menentang Belanda sejak masih mahasiswa di Bandung, hingga akhirnya masuk penjara di Sukamiskin lebih dari dua tahun.

Ironisnya, Sukamiskin saat ini menjadi lembaga pemasyarakatan koruptor kelas kakap, para mantan pemimpin bangsa. Setelah 72 tahun merdeka, masih banyak rakyat yang miskin. Bahkan, dalam Laporan Kebahagiaan Dunia (World Happiness Report) yang dikeluarkan Sustainable Development Solutions Network, 20 Maret 2017, Indonesia masih menempati peringkat ke-81 dari 155 negara. Peringkat pertama ditempati Norwegia.

Faktanya, sila ke-5 Pancasila, "Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia", tidak kunjung tercapai karena secara sadar dan disengaja telah dihalangi dan disabotase oleh sebagian besar pemimpin dan elite politik kita sendiri.

ARIFIN PASARIBU, KOMPLEKS PT HII, KELAPA GADING TIMUR, JAKARTA UTARA 14240

Kutipan dan Interpretasi yang Tidak Tepat

Merujuk pada tulisan di harian Kompasdengan judul "RI dan ASEAN Tampak Memudar", pada 13 April 2017, kami sampaikan bahwa kutipan dan interpretasi tidak utuh terhadap pokok-pokok pikiran yang kami sampaikan.

Hal itu memberikan kesan bahwa kami menyampaikan pandangan di mana Indonesia dan ASEAN (Association of Southeast Asian Nations) tidak punya arah.

Agar pembaca mendapatkan gambaran yang utuh, pokok-pokok pikiran yang kami sampaikan antara lain sebagai berikut.

1. Dalam tatanan geopolitik saat ini, ASEAN akan semakin memainkan peranan penting di kawasan, termasuk dalam berhubungan dengan mitra-mitra dialognya (termasuk Amerika Serikat). Karena itu, kebijakan luar negeri Indonesia sangat fokus dan akan terus memberikan prioritas pada ASEAN dan memimpin ASEAN dengan gagasan-gagasan.

2. PECC umumnya berkontribusi positif pada proses pembahasan isu-isu strategis di APEC. Karena itu, PECC Indonesia dapat terus menjalankan peran tersebut di masa mendatang.

3. Dalam mengelola hubungan luar negeri Indonesia, memperjuangkan kepentingan nasional adalah yang utama (Indonesia's national interest first).

Jadi, kita tidak perlu terlalu khawatir dengan "America first", dan semaksimal mungkin memanfaatkan kerja sama regional seperti ASEAN untuk memperjuangkan kepentingan nasional.

Selain itu, mengingat bahwa diskusi terbatas tersebut menganut prinsip "Chatham House Rule", kurang elok rasanya jika nama narasumber diungkap di media.

Demikian dan atas perhatian Saudara, kami ucapkan terima kasih. Salam hormat.

DJAUHARI ORATMANGUN, STAF KHUSUS MENLU RI UNTUK ISU-ISU STRATEGIS

Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 15 April 2017, di halaman 7 dengan judul "Surat Kepada Redaksi".

Sent from my BlackBerry 10 smartphone on the Telkomsel network.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Powered By Blogger