Cari Blog Ini

Bidvertiser

Sabtu, 08 April 2017

TAJUK RENCANA: Lonceng Peringatan (Kompas)

Kisruh di Dewan Perwakilan Daerah menyadarkan kita bahwa bangsa ini sedang mengalami masalah dalam legitimasi institusi.

Publik menyaksikan bagaimana anggota DPD mempertontonkan sebuah orkestrasi pergantian kepemimpinan di DPD yang tidak dilandasi hukum dan moralitas. Oesman Sapta Odang, Nono Sampono, dan Darmayanti Lubis de factoterpilih sebagai pimpinan DPD meskipunde jure bisa dipersoalkan. Legitimasi kekuasaannya pun bisa jadi persoalan.

Mahkamah Agung (MA) juga ikut terlibat dalam pusaran krisis kelembagaan. Diawali dengan amar putusan MA soal uji materi yang membatalkan Peraturan DPD No 1/2016 yang disebutnya "salah ketik" . Sayangnya, putusan tidak profesional hakim MA itu membuat putusan MA tersebut tak bisa dieksekusi karena tercetak DPRD, bukan DPD. Celah itulah yang dimanfaatkan anggota DPD untuk mengganti kepemimpinan dan pergantian pemimpin itu dihadiri Wakil Ketua MA Suwardi, mewakili Ketua MA Hatta Ali yang tidak berada di Jakarta. MA berdalih hadir karena mendapat undangan dari Sekjen DPD. Putusan yang dibuat hakim MA lainnya tak jadi konsideran sehingga Wakil Ketua MA Suwardi tetap hadir.

Krisis pun sedang terjadi di DPR menyusul sejumlah nama unsur pimpinan DPR dan anggota DPR terseret dalam pusaran korupsi KTP elektronik. Beberapa anggota DPR dipanggil ke persidangan pengadilan korupsi, termasuk Ketua DPR Setya Novanto yang juga Ketua Umum Partai Golkar. Inilah potret wajah buruk parlemen kita.

Kondisi serupa terjadi di Mahkamah Konstitusi. Setelah hakim konstitusi Patrialis Akbar ditangkap KPK dan belum ada yang menggantikan, pencurian berkas perkara pilkada pun terjadi di lembaga tempat negarawan bertugas. Terakhir, putusan MK yang membatalkan kewenangan pemerintah pusat membatalkan perda bermasalah dan dialihkan ke Mahkamah Agung akan menjadikan pemerintah daerah bebas membuat perda apa pun, sebelum dimintakan pembatalan ke MA yang memakan waktu.

Kecenderungan terjadi krisis kelembagaan dan hilangnya kewibawaan harus segera ditangani. Presiden Joko Widodo dalam kapasitasnya sebagai kepala negara dengan kewibawaan yang dimilikinya harus mempertimbangkan dan mengambil langkah mengelola situasi demikian sebelum berkembang kian parah dan dimanfaatkan kelompok anti demokrasi.

Ideologi Pancasila dan konstitusi haruslah jadi penjuru dalam pengelolaan bangsa. Presiden Joko Widodo sebagai kepala negara harus memastikan negara ini dikelola profesional dengan basis pijakan Pancasila dan UUD 1945 karena Indonesia bukanlah negara kekuasaan belaka.

Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 8 April 2017, di halaman 6 dengan judul "Lonceng Peringatan".


Sent from my BlackBerry 10 smartphone on the Telkomsel network.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Powered By Blogger