Cari Blog Ini

Bidvertiser

Senin, 08 Mei 2017

ANALISIS EKONOMI A PRASETYANTOKO: ”Big Data” dan Paradoks Produktivitas

Kemajuan teknologi informasi secara radikal dalam beberapa tahun terakhir memang mencengangkan. Salah satunya, fenomena big data, kumpulan data yang jumlahnya amat besar, yang berkembang sedemikian cepat (detik demi detik), dalam beragam format. Data ini bersifat mentah, belum terstruktur sebagaimana data sekunder yang kita kenal dari lembaga formal sehingga memerlukan upaya lanjutan agar bisa "layak saji". Sepintas, data besar ini hanya kumpulan angka dan informasi. Namun, pihak lain bisa menjadikannya sebagai basis untuk berbisnis.

Sebenarnya, secara prinsip hal itu sudah terjadi di masa lalu. Misalnya, data nomor telepon seluler dan alamat surat elektronik nasabah kartu kredit bisa dipakai untuk mempromosikan produk baru bank. Namun, akhir-akhir ini penambahan data lebih cepat lagi. Data tidak hanya berasal dari nasabah bank, tetapi juga dari beraneka transaksi perdagangan dalam jaringan (daring), termasuk penumpang taksi dan ojek daring. Data ini terus tumbuh.

Fenomena big data memantik diskursus: apakah kehadirannya akan membawa manfaat besar berupa kenaikan produktivitas, atau tidak? Aliran utama tentu saja berpendapat, big data bisa dimanfaatkan untuk memperbesar volume dan mempercepat transaksi. Logikanya, lebih mudah mengakses pelanggan sehingga peluang untuk menaikkan transaksi kian besar.

Itulah sebabnya, kini muncul banyak situs perdagangan elektronik (e-dagang). Ketika baru-baru ini bisnis ritel mulai terlihat tanda stagnan, bahkan melambat pada triwulan I-2017, banyak analisis yang mengaitkan dengan fenomena transaksi daring. Kini, kian banyak orang yang bertransaksi kebutuhan sehari-hari secara daring, menggantikan aktivitas mengunjungi toko dan mal. Namun, kita tidak bisa buru-buru menyimpulkan transaksi daring bakal segera menggantikan transaksi konvensional di toko/mal. Jalan masih panjang untuk membuktikannya.

Namun, ada pula yang skeptis, termasuk ekonom peraih Nobel, Paul Krugman. Krugman mengatakan, sabar saja dulu. Masih perlu waktu untuk membuktikan itu. Big data tidak serta-merta akan membawa pengaruh yang besar pada perekonomian, tidak seperti dulu ketika ditemukan listrik ("The Dynamo and Big Data", The New York Times, 18/8/2013).

Belakangan, Krugman memperkaya analisisnya ("The Big Meh", The New York Times, 25/5/2015). Dia mempertanyakan, apakah kemajuan teknologi secara pesat otomatis menaikkan produktivitas? Tampaknya tidak. Buktinya, dalam beberapa tahun terakhir, perekonomian global malah menunjukkan gejala lesu. Padahal, kita kini hidup pada zaman yang disebutnya secara jenaka sebagai era "iPhones, iPad, dan iDontKnows"….

Lalu, kenapa terjadi paradoks produktivitas, perekonomian tidak melesat cepat seiring dahsyatnya kemajuan teknologi? Krugman mengajukan tesisnya, kemajuan teknologi hanya menyenang-nyenangkan dirinya untuk bisa menonton konser musisi favoritnya melalui live streaming, tetapi tidak berpengaruh terhadap produk domestik bruto (PDB). Kemungkinan lain, sebenarnya kita mendambakan mobil yang bisa terbang untuk mengatasi kemacetan, tetapi yang ditemukan adalah teknologi "mengetik 140 karakter" alias Twitter!

Saya mengamati fenomena menarik industri bioskop. Pada 1990-an, mayoritas bioskop di Indonesia gulung tikar. Penyebabnya, ditemukan teknologi video cakram (VCD, laser disc, DVD, danblu ray ) yang bisa diputar di rumah setiap saat. Orang tak perlu pergi ke bioskop dan video bisa diputar ulang semaunya. Lalu, matikah bisnis bioskop kita?

Ternyata tidak. Seiring pertumbuhan mal, bioskop tidak lagi berdiri sendiri, tetapi menyatu dengan mal. Sensasi menonton bioskop di gedung tidak bisa sepenuhnya disubstitusi dengan menonton video cakram. Kota-kota yang semula bioskopnya mati kini hidup lagi, sepanjang kota itu memiliki mal. Jadi, tidak benar juga jika dikatakan munculnya teknologi baru akan otomatis mematikan cara transaksi konvensional.

Akan tetapi, bagaimana dengan fenomena kinerja bisnis ritel yang mulai stagnan karena maraknya transaksi daring? Itu belum bisa dianggap kejadian permanen. Transaksi daring merupakan "sebuah pukulan yang agak mengganggu transaksi konvensional", saya rasa pernyataan itu benar. Namun, tidak berarti transaksi konvensional "habis".

Soal paradoks produktivitas, saya meyakini hal itu dalam jangka panjang tidak ada. Temuan teknologi baru dan big data mungkin belum berdampak langsung terhadap PDB dalam jangka pendek. Bisa pula karena PDB global pada hari-hari ini masih lebih dipengaruhi variabel lain, misalnya ketidakpastian kebijakan ekonomi Amerika Serikat, harga komoditas yang susah ditebak arahnya, konflik dan tekanan politik, kondisi demografi (membesarnya jumlah penduduk lanjut usia di negara maju), dan banyak lagi. Perkembangan PDB global pun dipengaruhi banyak faktor, bukan cuma faktor teknologi dan big data.

Menyikapi fenomena big data akhir-akhir ini, itu sebuah keniscayaan. Arus besar ini tak mungkin kita hindari. Contohnya, penggunaan bitcoin juga sebuah keniscayaan. Namun, kondisi sektor finansial dan perekonomian Indonesia secara keseluruhan belum memungkinkan kita terlibat terlalu jauh. Kita tidak mungkin menjadi pionir. Dengan PDB per kapita 3.600 dollar AS, kita tidak bisa berada di garis terdepan, seperti negara yang PDB per kapitanya di atas 50.000 dollar AS, misalnya AS. Semua ada masanya dan berproses. Oleh karena itu, kita nikmati tahap-tahap itu dengan mengedepankan kehati-hatian dan kecermatan.

A TONY PRASETIANTONO, KEPALA PUSAT STUDI EKONOMI DAN KEBIJAKAN PUBLIK UGM; DAN FACULTY MEMBER BI INSTITUTE

Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 8 Mei 2017, di halaman 15 dengan judul ""Big Data" dan Paradoks Produktivitas".

Sent from my BlackBerry 10 smartphone on the Telkomsel network.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Powered By Blogger