Seharusnya print, electronic, dan digital saling melengkapi, tetapi kenyataannya tidak. Di Indonesia, juga di dunia, dihibur cetak tak akan mati. Kenyataannya, cetak menurun drastis. Informasi tidak lagi hanya diperoleh lewat cetak, tetapi juga elektronik (televisi dan radio) serta digital (portal, media sosial, dan lainnya). Seharusnya ketiganya sama dalam menyampaikan konten. Ternyata saling memangsa.
Cetak dalam hal ini buku. Peringatan Hari Buku Nasional berdasar peresmian Perpustakaan Nasional pada 17 Mei 1980. Tujuannya, untuk meningkatkan minat dan kegemaran membaca serta industri perbukuan. Konteks itu tidak hanya buku dalam bentuk cetak (print-book), tetapi juga buku elektronik (e-book).
Diandaikan keduanya saling melengkapi, mengembangkan minat baca dan ilmu pengetahuan, melestarikan budaya baca, serta sekaligus meningkatkan literasi warga.
Rendahnya jumlah penerbit, judul, dan eksemplar buku yang diterbitkan menjadi ukuran kemajuan suatu bangsa. Dulu rendahnya tiga faktor industri buku itu dijelaskan dengan rendahnya ilmu pengetahuan yang dihasilkan. Kini kondisinya diperparah, selain gencarnya buku noncetak, juga kecenderungan menurunnya keseriusan dan kedalaman. Pada tahun 2015, Indonesia memiliki lebih dari 1.200 penerbit anggota Ikatan Penerbit Indonesia (Ikapi). Sekitar 30.000 judul buku terbit setiap tahun.
Pada tahun yang sama, di negeri ini terdapat lebih dari 70 juta pengguna internet atau 28,3 persen dari penduduk Indonesia. Pengguna Facebook lebih dari 50 juta orang. Ini gejala global. Survei UNESCO tahun 2011 menunjukkan hanya satu dari 1.000 penduduk Indonesia memiliki minat serius membaca. Maret 2016, sebuah survei internasional menunjukkan Indonesia duduk di urutan ke-60 dari 61 negara yang disurvei, persis di atas Botswana.
Sudah banyak upaya Pemerintah Indonesia untuk meningkatkan literasi dan industri buku, tetapi tidak mengatasi faktor krusial industri buku. Undang-Undang Sistem Perbukuan yang April lalu disahkan masih menerapkan pungutan 10 persen untuk masing-masing pajak pertambahan nilai penjualan, cetak, dan kertas. Pajak itu sudah ditiadakan untuk buku pendidikan dan kitab suci. Padahal, buku ilmu pengetahuan tak kalah berjasa dalam meningkatkan kecerdasan warga.
Artinya, semangat mewujudkan buku murah, bermutu, dan merata melalui UU Sistem Perbukuan wacana politik saja. Dalam kondisi seperti ini, pengurangan pajak menjadi harapan bagi kalangan industri buku, sebab buku adalah industri pencerdasan bangsa. "Buku itu jendela dunia".
Tidak ada komentar:
Posting Komentar