Cari Blog Ini

Bidvertiser

Senin, 15 Mei 2017

TAJUK RENCANA: Mengingat Jiwa Reformasi (Kompas)

Memasuki bulan Mei, publik akan mengingat kembali gerakan reformasi 1998 yang mengakhiri Orde Baru yang berkuasa 32 tahun.

Salah satu dari sekian jiwa gerakan reformasi adalah semangat antikorupsi terhadap penyelenggara negara. Publik gerah terhadap korupsi yang merajalela pada era Orde Baru. Melalui perjuangan mahasiswa dan rakyat, Sidang Umum MPR melahirkan Ketetapan MPR Nomor XI/MPR/1998 tentang Penyelenggara Negara yang Bersih dan Bebas Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme.

Tap MPR ini menjadi fondasi kelahiran Komisi Pemeriksa Kekayaan Penyelenggara Negara (KPKPN) dan juga Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Isu korupsi pasca-Orde Baru tetaplah relevan. Semangat antikorupsi harus tetap digelorakan. Korupsi juga masih ada sampai sekarang.

KPK termasuk komisi antikorupsi yang berhasil bertahan lebih dari satu dasawarsa. Komisi sejenis pada era sebelumnya hanya berumur paling lama satu tahun. KPK bertahan karena dukungan rakyat yang luar biasa.

Isu korupsi tetaplah relevan dengan situasi kekinian. Tap MPR menegaskan bukan hanya korupsi, melainkan juga kolusi dan nepotisme. Ini jarang diperhatikan. Baik kolusi maupun nepotisme adalah juga tindak pidana. Bahkan, dalam Pasal 4 Tap MPR No XI/MPR/1998 disebutkan, "Upaya pemberantasan korupsi, kolusi, dan nepotisme harus dilakukan secara tegas terhadap siapa pun juga, baik pejabat negara, mantan pejabat negara, keluarga dan kroninya, pihak swasta, maupun konglomerat, termasuk mantan Presiden Soeharto dengan tetap memperhatikan prinsip asas praduga tak bersalah dan hak asasi manusia."

Tap MPR masih kontekstual. Konsentrasi publik lebih banyak pada korupsi. Padahal, kolusi dan nepotisme juga harus mendapat perhatian. Dalam UU No 28/1999 tentang Penyelenggara Negara yang Bersih dan Bebas Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme-sebagai turunan dari Tap MPR No XI/1998-ditulis pengertian soal nepotisme. Nepotisme didefinisikan sebagai "setiap perbuatan penyelenggara negara secara melawan hukum yang menguntungkan kepentingan keluarganya dan atau kroninya di atas kepentingan masyarakat, bangsa, dan negara".

Selain upaya harus membentengi KPK melalui berbagai manuver melemahkan KPK, Presiden Joko Widodo perlu menaruhkan perhatian pada aspek nepotisme. Kecenderungan penyelenggara negara mengajak keluarga, famili, dan kelompoknya mendapat kue pembangunan infrastruktur atau proyek pembangunan haruslah menjadi perhatian. Apalagi jika nepotisme dilakukan secara melawan hukum, melangkahi kepentingan yang lebih besar, yakni masyarakat, bangsa, dan negara. Praktik nepotisme mengingkari semangat reformasi.

Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 15 Mei 2017, di halaman 6 dengan judul "Mengingat Jiwa Reformasi".

Sent from my BlackBerry 10 smartphone on the Telkomsel network.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Powered By Blogger