Cari Blog Ini

Bidvertiser

Jumat, 05 Mei 2017

TAJUK RENCANA: Pers Bebas untuk Kemajuan Bangsa (Kompas)

Wacana yang sudah sering kita kemukakan, yaitu "pers bebas untuk apa?", kemarin bergaung lagi dalam komunitas pers dunia.

Gaung itu terjadi saat komunitas pers memperingati Hari Kebebasan Pers Dunia (World Press Freedom Day/WPFD) yang tahun ini berlangsung di Jakarta.

Sebelum "bebas untuk apa" (freedom for), wacana ini didahului oleh "bebas dari (apa)" (freedom from). Frase di atas bagi Indonesia masih relevan pada era sekarang ini.

Setelah Reformasi, pers nasional sudah bebas dari (free from) "beredel" tangan besi Orde Baru. Lalu muncul pertanyaan, untuk apa kebebasan yang sudah diperoleh (freedom for)?

Semangat pertanyaan ini disampaikan kembali oleh Presiden Joko Widodo dan Wakil Presiden Jusuf Kalla dalam kesempatan berbeda saat pembukaan WPFD, Rabu (3/5). Dari pernyataan Presiden dan Wapres, kita dapat menangkap sejumlah pesan.

Pertama, pemerintah mendukung kebebasan pers, yang dengan itu akan bisa dihadirkan informasi yang obyektif dan kritis. Di sini acap timbul masalah. Didorong oleh impuls kecepatan, persaingan politik, dan kurangnya kompetensi, sebagian juga oleh hasrat sensasi, kritik sering jadi tidak obyektif, minimal tidak proporsional.

Dalam konteks ini, tidak jarang kita mendengar kebebasan pers dinilai telah kebablasan. Boleh jadi, seperti disinggung Presiden, hal itu karena dipicu oleh dinamisme yang sangat tinggi di kalangan pers. Wajar jika Wapres pun lalu berpesan agar kebebasan pers perlu dijaga.

Pers juga perlu mawas diri. Harus diakui, sumber daya pers Indonesia masih belum memadai. Dari 70.000- 100.000 wartawan Indonesia—melonjak dibandingkan dengan 6.000 wartawan yang ada selama era Orde Baru—baru 10 persen yang sudah uji kompetensi atau tersertifikasi.

Ketika kompetensi menjadi tuntutan, relevansinya surut digerus oleh meredupnya industri media. Untuk apa uji kompetensi kalau setelah lulus tak ada kenaikan gaji?

Di WPFD 2017, dua isu yang patut kita garis bawahi adalah tentang keselamatan wartawan saat bertugas dan merebaknya berita bohong (hoaks). Untuk wartawan yang menjadi korban kekerasan, Direktur Jenderal UNESCO Irina Bokova mencatat masih banyak impunitas, yakni pelaku kekerasan lolos dari jeratan hukum.

Untuk hoaks, banyak pandangan yang menyebut bahwa media arus utama harus bisa jadi rujukan.

Kita sepandangan dengan pimpinan nasional bahwa kebebasan pers adalah untuk kemajuan bangsa. Di sisi lain kita juga menyadari bahwa untuk mendayagunakan kebebasan pers bagi tujuan di atas, insan-insan pers harus lebih kompeten terlebih dahulu selain lingkungan juga lebih kondusif.

Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 5 Mei 2017, di halaman 6 dengan judul "Pers Bebas untuk Kemajuan Bangsa".

Sent from my BlackBerry 10 smartphone on the Telkomsel network.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Powered By Blogger