Cari Blog Ini

Bidvertiser

Rabu, 31 Mei 2017

TAJUK RENCANA: Saya Indonesia, Saya Pancasila. (Kompas)

Di tengah gejala menguatnya politik identitas, politik kebencian, tergerusnya persatuan dan kebinekaan, pemerintah me- ngampanyekan Pekan Pancasila.

Acara yang berlangsung 29 Mei-4 Juni itu diselenggarakan bersamaan dengan peringatan Hari Lahir Pancasila, 1 Juni. Peringatan kelahiran Pancasila berdasarkan pidato Ir Soekarno dalam Sidang BPUPKI pada 1 Juni 1945 yang membawa pesan futuristik dan imperatif. Pancasila merupakan titik temu kebinekaan Indonesia dengan nilai-nilai yang digali dari bumi pertiwi.

Dalam sejarah kehadirannya, Pancasila berkali-kali mengalami turbulensi. Puluhan tahun dipolitisasi untuk kepentingan kekuasaan, setelah reformasi sayup-sayup terdengar dalam lingkaran perbincangan publik, bahkan nyaris dilupakan. Beberapa tahun kemudian, mulai disadari betapa Pancasila kaya dan sarat makna.

Kehadiran berbagai lembaga pengkajian Pancasila, dan terbitnya buku-buku tentang Pancasila, menunjukkan masih ada gairah terus menghidupkan Pancasila. Dari sisi rumusan kata-kata dan kalimat, Pancasila dengan kelima silanya, sudah selesai. Namun, sebagai ideologi yang terbuka, Pancasila menuntut pemaknaan baru yang aktual dan practicable.

Jajak pendapat Litbang Kompas, 24-26 Mei 2017, menunjukkan 43,6 persen responden menjawab Pancasila adalah faktor perekat atau penyatu bangsa. Karena itu, nilai yang terkandung dalam kelima sila tidak cukup dirumuskan (norma normata), tetapi harus dikembangkan menjadi norma normans(norma yang hidup dan menjadi pola pikir).

Kelima sila itu perlu menjadi etos kerja hidup berpemerintahan dan bernegara. Pancasila adalah fakta historis yang harus dihidupi. Dalam keadaan sehari-hari, eksistensi Pancasila kurang dijadikan perekat. Pancasila hanya dijadikan jargon politik, tidak menyatu dengan napas kehidupan berbangsa dan bernegara.

Pancasila belum menjadi ideologi yang bekerja. Dalam kondisi demikian, dengan mudah masuk ideologi yang berseberangan. Dan ketika semua serba terbuka dan mengglobal, berbagai ideologi menawarkan diri (dipaksakan) jadi rujukan, tanpa sengaja eksistensi ideologis Pancasila terancam.

Pekan Pancasila perlu ditindaklanjuti dengan berbagai langkah strategis dan konkret. Tampilkan tata cara berpolitik yang jauh dari sekadar berburu kekuasaan yang menghalalkan segala cara. Jangan biarkan generasi penerus terbiasa menyaksikan kehidupan tanpa keteladanan pejabat publik dan elite politik.

Kampanye "Saya Indonesia, Saya Pancasila" tanpa tindak lanjut berpotensi jadi jargon politik. Proses inisiasi nilai Pancasila pun menjadi mubazir.

Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 31 Mei 2017, di halaman 6 dengan judul "Saya Indonesia, Saya Pancasila".

Sent from my BlackBerry 10 smartphone on the Telkomsel network.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Powered By Blogger