Cari Blog Ini

Bidvertiser

Jumat, 12 Mei 2017

TAJUK RENCANA: Tetaplah di Jalur Konstitusi (Kompas)

Putusan Majelis Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Utara untuk terdakwa Basuki Tjahaja Purnama belum meredakan ketegangan sosial negeri ini.

Putusan ultra petita—melebihi tuntutan jaksa penuntut umum dan perintah segera ditahan—membangkitkan solidaritas dan keprihatinan untuk Basuki di Jakarta dan di daerah lain. Dunia internasional menaruh perhatian. Majelis memvonis Basuki dengan hukuman dua tahun dan memerintahkan segera ditahan.

Hakim menilai Basuki terbukti menodai agama, melanggar Pasal 156a KUHP. Sementara jaksa penuntut umum berpendapat, pasal penodaan agama tidak terbukti. Jaksa menilai Basuki melanggar Pasal 156 KUHP soal pengungkapan perasaan permusuhan terhadap golongan dan dituntut satu tahun dengan masa percobaan dua tahun.

Ada pro dan kontra terhadap putusan hakim. Kelompok massa yang sejak awal menuntut Basuki dipenjara mengapresiasi putusan itu. Keadilan telah diberikan. Sebaliknya, kelompok pendukung Basuki dan Basuki sendiri merasa diperlakukan tidak adil. Keadilan telah mati. Kontribusi Basuki untuk Jakarta seakan tak dipertimbangkan.

Putusan majelis yang diketuai Dwiarso Budi Santiarso memang mengejutkan. Setelah pidatonya di Pulau Seribu, 27 September 2016, gelombang unjuk rasa mendesak aparat menahan Basuki atas tuduhan menodai agama. Basuki kalah dalam pilkada putaran kedua, 19 April 2017. Itu merupakan "hukuman" politik. Hukuman kedua datang dari majelis yang memerintahkan Basuki ditahan. Menteri Dalam Negeri menunjuk Wagub Jakarta Djarot Saiful Hidayat sebagai Pelaksana Tugas Gubernur Jakarta.

Secara normatif, putusan hakim harus dihormati. Namun, putusan hakim tetap bisa saja dieksaminasi dan tidak diterima oleh Basuki dan penasihat hukumnya. Banding adalah upaya mencari keadilan. Upaya banding oleh kuasa hukum Basuki dan penangguhan penahanan yang dilakukan kuasa hukum haruslah juga dihormati. Upaya itu sah dalam sistem hukum Indonesia.

Vonis atas Basuki menjadi sorotan media internasional. The New York TimesThe Guardian, dan Asahi Shimbun menyoroti vonis atas diri Basuki dan kaitannya dengan isu toleransi. Kita berharap semuanya bergerak dalam koridor konstitusi. Ekspresi kelompok masyarakat yang setuju terhadap vonis ataupun yang tidak setuju harus diletakkan dalam konstitusi dan dilakukan terukur sesuai aturan.

Situasi terpolarisasi bisa dimanfaatkan kelompok yang terus ingin memelihara ketegangan di Indonesia. Presiden Joko Widodo sebagai kepala negara dan Wapres Jusuf Kalla perlu mengambil prakarsa meredakan ketegangan. Ini bukan hanya soal Basuki, melainkan masalah Indonesia yang majemuk dengan dasar Pancasila dan UUD 1945.

Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 12 Mei 2017, di halaman 6 dengan judul "Tetaplah di Jalur Konstitusi".

Sent from my BlackBerry 10 smartphone on the Telkomsel network.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Powered By Blogger